Hari istimewa dan bersejarah bagi Gemi akhirnya tiba. Gemi yang biasanya selepas subuh berkutat di dapur kali ini tidak. Ia sudah bersolek rapi dan sudah sarapan pula. Hanya menunggu waktu yang tepat untuk berangkat ke tempat tujuan.
"Weleh ... weleh ... pagi-pagi udah dandan mau ke mana ini?" Nakula berdecak heran mendapati adiknya yang lain dari biasanya.
"Ih, bukan urusanmu!" saut Gemi acuh.
"Oalah ... gayanya selangit mentang-mentang sekarang mau kerja lagi. Emange (emangnya) Kamu mau kerja di mana, tho? Aku kok gak tahu Kamu ada melamar kerja. Perusahaan mana? Atau instansi mana?" cerocos Nakula sambil menumpukan sikutnya ke pintu kamar Gemi.
Gemi menengok gawainya, waktunya sudah bertepatan dengan jam perginya. "Rahasia, Mas gak perlu tahu!" katanya sambil berdiri. Ia mengalungkan tas selempangnya dan bergegas keluar kamar.
"Minggir, pejuang rupiah mau lewat!" Gemi menyingkirkan Nakula dari depan kamarnya dan menerobos keluar.
"Hoalah, kemethak e (gayanya)!" sorak Nakula sambil menjitak ubun-ubun adiknya.
Gemi hanya membalasnya dengan dengusan karena tak ingin memperlambat keberangkatannya.
"Pak, Buk, Aku berangkat dulu, assalamualaikum...!" pamitnya sambil lalu.
...
Gemi sampai di gedung kantor tempat ia akan mengadukan nasibnya. Ia berdiri di lobi menunggu Farhan dengan gelisah.
"Gem!" terdengar gaungan dari arah kanan tempat Gemi berdiri. Ia menoleh ke samping dan melihat batang hidung Farhan mendekatinya.
"Iya, Han!" balasnya sambil senyum kaku.
"Udah dari tadi datengnya?" tanya Farhan sekedar basa-basi seraya mengulurkan tangan untuk berjabatan.
Gemi mengangguk, lalu membalas uluran jabatan tangan Farhan. "Lumayan." ucapnya.
"Ayo, kalo gitu!" tanpa menunggu lama Farhan langsung membawa Gemi ke dalam.
"Aku kaget, lho, waktu Lisa bilang Kamu bersedia nerima kerjaan itu. Dengan pengalamanmu sebelumnya dan titelmu, Aku ragu Kamu mau." sambil jalan Farhan membuka obrolan ringan.
"Apa salahnya dengan kerjaan itu, Han? Aku, kan, gak nyuri apalagi, sampai korupsi. Selama masih pekerjaan bener dan halal, lupakan dulu soal latar belakang pendidikanku." papar Gemi berusaha mengimbangi obrolan.
Farhan mengangguk, "Iya, sih, bener juga. Masih mulia kerjaan ini ketimbang wakil rakyat yang kerjanya molor doang saat rapat dan paling ribut kalo tunjangan gak turun-turun. Memalukan."
"Mereka gak pantes dibilang manusia, menurutku." Gemi berpendapat.
"Bahkan lebih rendah dari hewan, Gem." Farhan menyautinya lagi.
Selama mengobrol tidak terasa mereka sampai di depan sebuah ruangan di lantai kedua. Farhan menyuruh Gemi untuk duduk dulu dan ia masuk menemui seseorang.
Gemi menghela napas panjang berulang kali, menenagkan grogi yang menyelimuti hatinya. Cukup lama menjauhi tempat kerumunan membuatnya kembali dirundung kecemasan. Gemi sudah berusaha keras menyingkirkan kecemasannya, namun yang namanya manusia pasti tetap mengalami hal semacam itu.
"Gem!" suara panggilan Farhan menyentakkan Gemi.
"Iya, Han?" ia sontak berdiri.
"Duduk aja dulu, nanti pegawai di dalem bakal manggil Kamu. Oh, ya..." Farhan menjeda ucapannya, lalu meraih sesuatu dari dalam tasnya. "Ini, titipan dari Lisa buat Kamu." Farhan menyerahkan tas kotak yang entah berisi apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SARANGHAE, MBAK! [TAMAT]
General FictionBagi Gemintang Soerjoprasojo, Mo Tae Goo adalah sosok pria idamannya setelah kisah asmaranya bersama Langit Djatmiko kandas dihantam gelombang restu. Tapi, bagaimana bila seorang bocah SMA yang terpaut 10 tahun lebih muda hadir dan menyukainya? Bag...