Gerimis sempat melanda begitu Jagat dan Gemi sampai di lokasi telaga. Meski begitu, tidak mengurangi kenikmatan kencan pertama mereka.
Gemi merapatkan jaket warisan Nakula, mendekap tangan sambil duduk menunggu Jagat yang tengah antre membeli pentol bakso.
"Gak pingin naikin wahana air, Mbak? Tuh, pada naik perahu." Jagat kembali, menyerahkan sebungkus pentol bakso berkuah sedikit sambil menunjuk ke arah para wisatawan yang berteriak-teriak menikmati wahana perahu cepat.
Gemi menerima pentol baksonya seraya menggeleng. "Aku takut tenggelam kayak di berita-berita." ungkapnya.
Jagat menyusul duduk di sanding Gemi, ia tertawa mendengar pengakuan Gemi. "Kan, itu di daerah lain. Lagian, mungkin memang takdir kecelakaan itu." balasnya.
Gemi tetap menggeleng, "Aku tetep takut, apalagi ngelihat luasnya genangan ini." timpalnya sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling telaga.
"Telaga ini belum seberapa, Mbak bakal takjub kalo lihat luasnya danau Toba. Berkali-kali lipat dari ini, seperti lautan di atas gunung." ujar Jagat seraya menusuk satu pentol bakso tanpa kuah ke mulutnya.
"Kamu pernah ke sana, tho?" tanya Gemi antusias.
"Pernah, pas liburan kelulusan SMP yang lalu." terang Jagat.
"Wahhh ... Aku jadi iri. Dulu Aku punya mimpi buat ke sana tapi belum kesampaian. Aku terlalu sibuk kerja mulu, sih." komentar Gemi sekalian curhat.
"Mungkin sebelum putus, kita bisa ke sana, Mbak. Menutup kisah di tempat wisata impianmu." balas Jagat membuat Gemi hampir tersedak kuah pentol baksonya.
"Kejauhan, Dek. Mosok arep pedot wae ndadak tekan kono (masak mau putus harus nyampai sana segala), ana-ana wae (ada-ada aja)." lontar Gemi.
"Gak masalah, kan biar lebih berkesan gitu. Kisah cinta pertamaku diakhiri di tempat yang keren. Pasti kesannya mendalam." Jagat berbicara dengan entengnya.
Gemi terkekeh, Jagat menurutnya terlalu mengada-ada. "Udahlah, kita putus cukup di sini saja dan dengan baik-baik. Gak usah neko-neko." putus Gemi.
Jagat hanya bisa tersenyum simpul, ia tinggal menerima saja keputusan Gemi. "Kalo naik kuda, Mbak mau?" ajakan Jagat kini beralih.
"Enggak, Aku kasian sama kudanya harus bawa orang gendut kayak Aku." alasan penolakan Gemi bikin Jagat antara ingin tertawa dan takut dosa.
"Kuda kan emang tugasnya mikul yang berat-berat, Mbak. Makanya dulu dipakai buat kendaraan pengangkut sebelum ada kendaraan mesin." papar Jagat tetap digelengi oleh Gemi.
"Tetep gak tega, Dek. Kalo Kamu mau, Kamu aja yang naik. Aku cukup duduk dan fotoin Kamu naik kuda." tegas Gemi benar-benar menolak ajakan Jagat.
Jagat geleng-geleng kepala, "Lha terus apa bedanya kencan di sini dan di warung bakso, kalo gini caranya, Mbak?"
"Yea, beda, tho, Dek. Lokasinya aja dah beda jauh, lebih asri dan sejuk di sini ketimbang di warung bakso." tutur Gemi membuat Jagat tidak kuasa membendung tawa.
"Ini, sih, sama aja dengan pindah tempat buat makan bakso doang. Jangan-jangan pas nanti Mbak ke Danau Toba, Mbak cuman duduk-duduk dan makan bakso lagi? Gak guna ada tempat wisata kalo gitu." prasangka Jagat dibenarkan dengan ringisan lebar Gemi.
"Kamu kok bisa nebak, sih? Kamu siswa berkedok cenayang, ya? Hayo, ngaku!" cicit Gemi.
Jagat tertawa garing, tidak menyangka Gemi orang yang seperti itu. "Percuma pemerintah bangun banyak infrastruktur penunjang pariwisata kalo wisatawannya modelan Kamu, Mbak. Mending di rumah aja." ledek Jagat.
"Kan, untungnya gak banyak yang kayak Aku. Bangga, tho, Kamu punya pacar langka kayak Aku? Ngaku Kamu!" Gemi jadi besar kepala.
Jagat mengangguk-angguk, mengelus-elus kepala Gemi saking gemasnya. "Iya, Aku ngaku, deh. Mbak itu pacar pertama yang super duper unik. Love you, Mbak."
"Aiguhh... Nado saranghae, uri Jagat." balas Gemi dengan gamblangnya seraya mencubit pipi Jagat.
Meski Jagat tidak tahu persis artinya, tapi Jagat menganggap ucapan Gemi sebagai bukti balasan ungkapan cintanya.
"Ngomong-ngomong, Aku kok baru ngeliat tasmu ini, Mbak? Mbak beli baru demi kencan pertama kita, ya? Atau boleh minjem?" percakapan mereka beralih.
Gemi melihat ke arah tasnya, "Enggak juga, sih, ini dikasih orang beberapa waktu yang lalu." jawabnya tanpa menyertakan pemberi aslinya.
"Siapa? Aku kenal, gak, sama orangnya?" Jagat mulai curiga.
"Kamu gak kenal. Udah, jangan diterusin. Waktu kita gak banyak buat hubungan ini, jadi jangan dirusak sama perkara kecil kayak gini." Gemi cepat-cepat menutup celah pematik kecemburuan sebelum makin menjadi-jadi.
"Tapi, Aku udah kadung penasaran." ungkap Jagat.
"Buang aja rasa penasarannya. Kamu gak mau, kan, hubungan kita rusak sebelum berakhir?" tanya Gemi langsung disetujui anggukan Jagat. "Tas ini hanya pemberian cuma-cuma, gak ada pengaruhnya sama perasaanku ke Kamu, Dek. Yakini itu." Gemi mempertegas. Meski hubungan mereka hanya sebulan, Gemi tidak main-main dengan perasaannya.
Jagat mulanya ingin terus mengulik jauh, tapi mendengar pengakuan Gemi yang amat serius, ia urung. Ia harus lebih dewasa menyikapi hal kecil itu, ia tidak ingin merusak hubungan yang susah-susah ia bangun bersama Gemi.
"Oke, Aku akan yakini." Jagat memutuskan usai diam menimbang-nimbang.
Gemi merekahkan senyuman, mengusap pipi Jagat yang candu buat dielus dengan jemarinya.
"Katanya bukan muhrim, Mbak." sontak saja Gemi menurunkan jemarinya disindir oleh Jagat.
Gemi melengos dan berpura-pura tidak terjadi apa pun.
"Aku gak akan neko-neko, kok, Mbak. Pipi ini milikmu." goda Jagat secara sengaja.
"Apaan, sih!" lontar Gemi sok cuek. Hal ini malah membuat Jagat tergelak senang melihatnya.
"Embohlah, sak senengmu! Aku mau ke kamar mandi, tunggu situ!" Gemi lekas-lekas kabur dari sana, ia tidak bisa menutupi pipi merahnya lagi. Pergi mencari kamar mandi menjadi alibinya yang tepat.
...
Gemi membuang bungkus pentol baksonya, ia bergerak ke sebuah keran air untuk mencuci tangan. Begitu hampir dekat, ia melihat dikejauhan ada Langit yang berjalan ke arahnya. Ia ingin menghindar, tapi mata Langit telah menangkapnya.
"Sama siapa Kamu ke sini, Gem? Sama Rara?" tanya Langit saat sampai di dekatnya.
Gemi tegang, ia berada dipersimpangan dilema antara menunjuk Jagat yang tidak jauh dari sana, atau mendusta saja. Gemi tidak ingin menumpuk dusta, ia pun terpaksa menunjuk ke arah Jagat yang memunggungi mereka.
Langit menatap ke arah Gemi menunjuk, "Itu Byakta yang pernah Kamu sebutin waktu itu?"
Gemi dengan berat mengangguk, "Kami udah pacaran sekarang." akunya.
Langit sempat membesarkan matanya, namun segera ia normalkan. "Kalian pacaran sejak kapan?"
"Hampir seminggu ini." jawab Gemi cepat.
Langit mengangguk, kemudian melihat ke arah Jagat lagi. "Kalo gitu, Aku pingin kenalan langsung."
"Eh, jangan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
SARANGHAE, MBAK! [TAMAT]
General FictionBagi Gemintang Soerjoprasojo, Mo Tae Goo adalah sosok pria idamannya setelah kisah asmaranya bersama Langit Djatmiko kandas dihantam gelombang restu. Tapi, bagaimana bila seorang bocah SMA yang terpaut 10 tahun lebih muda hadir dan menyukainya? Bag...