20 SPESIAL MINGGU

857 98 1
                                    

"... Karena Aku mencintaimu awalnya dari paras dan fisikmu. Kalau pun sekarang penuh timbunan lemak di mana-mana, itu semua karena Aku kadung tresno sliramu (terlanjur mencintaimu)."

Pernyataan Langit sehari yang lalu sukses mengusik tidur Gemi malam harinya. Gemi guling sana, guling sini hingga jatuh dari kasur, tetap tidak mengantarkan tidurnya.

Puing-puing fondasi yang Gemi rakit satu persatu kembali digoncang oleh gempa bernama rasa lama. Gemi berupaya bangkit sejauh ini, berdiri lagi walau tertatih-tatih. Membangun kepercayaan dirinya yang dirobohkan oleh kebencian ibunda sang mantan.

Ibunda Langit, sebut saja Ainun, tidak menyukai atau bahkan membenci Gemi dari ujung kaki sampai ujung kepala. Kejelekan demi kejelekan selalu dikorek-korek Ainun sampai ke intinya. Seakan tidak ada kebaikan di diri Gemi yang bisa dinilai dan diapresiasi.

Entah dosa apa yang telah Gemi perbuat padanya, Ainun tidak spesifik menyuratkannya. Hanya tidak suka, hanya benci, hanya begitu yang Ainun suarakan untuk menentang hubungan Langit dan Gemi.

"Gem! Siang-siang jangan melamun!" gertak Sekar sambil menggeprak meja resepsionisnya.

Gemi yang asyik menerawang jauh saat memandang langit siang yang dihiasi kapas-kapas putih, sontak terhentak. Seakan arus listrik ribuan volt menyetrum jantungnya.

"Mbak Sekar ngagetin Aku." kata Gemi dengan napasnya yang beritme tidak beraturan.

"Kamu dari tadi kuajak ngobrol malah bengong sendiri. Memangnya lagi ada masalah Kamu, Gem?" Sekar penasaran dengan bengongnya Gemi. Pasalnya hampir seharian ini Gemi tampak mendung dari biasanya.

Gemi mengecapkan bibirnya sambil menggeleng, "Hanya masalah kecil." ungkapnya enggan berterus terang langsung. "Oh, ya, ini sudah jam berapa, Mbak?" Gemi menanya waktu untuk mengoper tema obrolan agar masalah yang tengah ia pikirkan tidak ditelisik lebih jauh.

"Hampir jam 2, Gem." sampai Sekar usai menengok arloji di pergelangannya.

Gemi mengangguk, "Yaudah, Aku mau siap-siap buat nganter anaknya Bu Dewi." pamitnya.

"Anaknya yang tinggi dan ganteng itu, ya? Siapa namanya, sih, Mbak? Aku penasaran." mata Sekar langsung berbinar begitu Gemi menyinggung anaknya Dewi.

"Mbak tanya sendiri aja, ya." bilang Gemi bikin Sekar langsung cemberut.

...

Jagat berdiri cukup lama di lorong yang memisahkan markas Gemi dan tempat salat karyawan di lobi. Perempuan tambun yang berhasil mengganggu benaknya itu tampak termenung di deretan kursi besi depan markas. Tangannya memegang sepatu dan menggantungnya, sedang matanya menyorot ke lantai. Jagat yakin tidak ada yang spesial di lantai itu, tapi begitu menyedot atensi Gemi sampai tidak menyadari kehadirannya.

Kursi besi yang diduduki Gemi berdecit, menggugah Gemi secara spontan dari dunianya. Begitu menoleh, ia tambah terkejut lagi. Jagat duduk di sampingnya sambil menatapinya.

"Lagi-lagi Kamu ngagetin Aku." gerutunya sambil berdecak. Ia memumut sepatunya yang sempat jatuh kala ia terkejut tadi dan memakainya.

"Salah sendiri melamun." Jagat malah menyalahkan Gemi. Tapi, memang Gemi salah, sih.

"Kamu mikirin apa, sih, Mbak?" Jagat mengajukan tanya sekedar ingin tahu isi benak Gemi.

"Yang jelas gak mikirin Kamu. Ayo, tak anter pulang!" jawab Gemi seraya mengangkat bokongnya dari posisi duduk. Ia sudah menyiapkan perlengkapan berkendara untuk mengantar Jagat pulang, tinggal beranjak saja.

Jagat ikut berdiri, ia membuntuti langkah Gemi.

"Kamu gak mau berbagi cerita sama Aku, Mbak?" di tengah melangkah Jagat menawarkan diri menjadi pendengar Gemi.

"Memangnya Kamu siapa harus kubagi ceritaku?" tanggapan Gemi seakan meremehkan Jagat.

"Kita kan teman, Mbak." Jagat kembali mengulangi pengeklaimannya. Mereka sudah berjabat tangan, berkenalan, berboncengan, berbagi jaket, berbagi makanan, dan berbagi lainnya selama hampir dua pekan ini. Bagi Jagat, itu sudah cukup memenuhi syarat menjalin pertemanan.

"Aku gak patut jadi temenmu." Gemi istikamah menampik pengakuan Jagat.

"Lalu patutnya jadi apa?" Jagat mempertanyakan kejelasan hubungan di antara mereka.

"Gak jadi apa-apa." jawaban datar Gemi memicu lonjakan tensi Jagat.

"Kamu kenapa cuek banget sama Aku, sih, Mbak? Memangnya Aku punya salah sama Mbak?" Jagat geregetan dikacangi seperti ini. Batagor, pecel, atau gado-gado memang enak dikacangi karena memang itu paduannya. Tapi Jagat bukan sejenis makanan berbumbu kacang, ia seorang manusia yang butuh diacuhkan.

"Entah, tapi yang jelas manusia lumrah salah." Gemi kembali teringat perlakuan Ainun bila menyinggung bab kesalahan.

"Mbak!" kesal Jagat memuncak, ia menarik tangan Gemi dan mencekalnya.

Gemi yang dicekal tentu menyetop ayunan kakinya, ia berbalik meladeni bocah SMA yang semakin menambah beban pikirannya.

"Maumu apa?" tanya Gemi menghadapi Jagat.

"Mbak kalo punya masalah itu cerita, atau selesain dulu. Jangan ngelampiasinnya ke Aku! Aku bukan tempat pelampiasan." Jagat menuangkan unek-unek yang terpendam di kalbunya. Ia jadi terbawa perasaan saat menyatakan dirinya bukan tempat teduh sementara untuk Gemi.

Gemi menarik napas panjang, hari ini terasa semakin ruwet oleh keberadaan Jagat yang seperti minta diperhatikan.

"Oke, kalo gitu. Kamu pulang sendiri, Aku tidak bisa mengantar. Sampaikan maafku untuk Mamamu." putusan Gemi jauh dari apa yang Jagat perkirakan. Ia menyerahkan kunci beserta STNK motor kantor ke tangan Jagat.

"Mbak kok malah ngebatalin gini?" Jagat protes, ia sama sekali tidak mengharapkan ini terjadi.

Keputusan Gemi matang, ia membongkar cekalan di tangannya dan melepaskan diri. Daripada membahayakan anak orang saat berkendara dengan pikiran sengkarut, Gemi memilih opsi yang Jagat sarankan. Mungkin ia memang perlu menyelesaikan masalah yang menggentayangi pikirannya terlebih dulu.

"Mbak!" panggilan Jagat tidak diacuhkan. Ia akan mengejar, namun melihat gelagat Gemi yang seperti mengisyaratkan bahwa ia butuh ruang, mengurungkan kejarannya.

"Kamu kenapa Mbak beruang?" gumamnya dipenuhi tanda tanya di benaknya. Sejak ia melihat Gemi pergi bersama pria hari itu, ada sesuatu yang Gemi sampulkan lewat keceriaannya. Dan puncaknya hari ini. Topeng kecerian itu tidak sanggup lagi memalsukan perasaan Gemi yang sesungguhnya.

Jagat tidak tahu persis apa masalah Gemi, tapi yang pasti ia tidak berhak ikut campur. Biarlah hanya gado-gado, rujak petis, dan rujak cingur yang dicampur-campur, Jagat jangan.

...

Diam memandang bentangan alam dari ketinggian adalah cara ampuh menurut Gemi untuk menenangkan diri. Suara batinnya bisa terdengar dan ia dapat berdialog mesra dengan Tuhan Sang Penciptanya.

Gemi tidak ingin menyalahkan siapa pun atas nasib asmaranya. Meski tanpa menyalahakan itu berat, ia mengupayakan untuk terus melihat sisi-sisi lain yang Tuhan coba tunjukkan padanya.

Selama ini Halimah mengajarkan Gemi untuk percaya bahwa segala sesuatu ada pasti disertai alasannya. Termasuk hal buruk sekali pun. Kalau pun ada yang beranggapan ada sesuatu yang tidak ada alasannya, pasti alasan itu sengaja tidak dipublikasikan. Hanya Tuhan yang mengantongi dan memiliki otoritas penuh atasnya.

Kapal asmara Gemi dan Langit pernah berlayar separuh perjalanan setelah bersandar lama di pelabuhan. Tapi, tiba-tiba saja dihantam gelombang besar lalu karam ditelan lautan.

Apakah bila begini Gemi harus menyalahkan gelombangnya? Atau menyalahkan kapalnya? Atau salahkan saja lautannya? Atau mungkin dinas terkait yang mengizinkan pelayaran dilakukan?

Jika penyanyi Ebiet G. Ade membaca tulisan ini, dia pasti akan mengatakan :

"Coba kita bertanya pada rumput yang berdendang, hooo, hohoho, hohoho..."

SARANGHAE, MBAK! [TAMAT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang