12

1.1K 124 1
                                        

Tanda-tanda hujan akan reda belum tampak, malah kian waktu kian lebat. Air yang menggenang di tepi jalan akibat tidak adanya tanah resapan mulai terlihat naik. Awan kelabu yang memayung di langit juga kian menghitam.

Gemi merapatkan jaket warisan Nakula saat angin meniup kencang. Hawa panas disiang hari kontras sekali dengan saat ini. Gemi merasakan ada pergerakan semakin mendekat dari Jagat. Ia melirik ke samping, Jagat mendekap erat tangannya guna menahan dingin.

"Ini, pakeen jaketku." Gemi melepas jaketnya lalu memberikannya pada Jagat.

"Gak usah, Mbak." Jagat jaga gengsi menerimanya.

Gemi tahu Jagat sangat gengsi bila terlihat lemah apalagi di depan wanita. Ia pun menyampirkan paksa jaket itu ke pundak Jagat.

"Gak usah, Mbak. Aku kan cowok." Jagat masih menjaga gengsinya.

Gemi menepuk tangan Jagat yang akan melepasnya. "Trus kalo Kamu cowok kenapa? Apa cowok gak bisa masuk angin kalo kedinginan?" tohok Gemi.

"Tapi, Mbak nanti gim-"

"Lemakku tebal, angin gak akan tembus." serobot Gemi. "Dah, pakeeen aja! Tubuhmu udah menggigil, pake jaga gengsi segala." ucapan Gemi menohok sekali.

"Makasih." lirih Jagat tidak lupa diri.

Gemi tidak menanggapinya langsung, ia memilih mengiyakannya dengan senyuman tipis sembunyi-sembunyi.

Mereka kembali diam, larut dengan suasana yang diciptakan oleh rinai-rinai hujan.

"Mbak!" Jagat memanggil dan Gemi otomatis menoleh. "Nama lengkapmu siapa?" lanjutnya.

"Ada apa nanyain nama lengkapku, hem?" Gemi membalasnya dengan pertanyaan.

"Dah, lupakan." Jagat meralatnya, ia sia-sia saja mencoba membangun pembicaraan.

Gemi malah mesem lebar melihat kemutungan anak SMA ini. "Gemintang Soerjoprasojo." akhirnya dijawab serius.

Atensi Jagat segera mengarah ke Gemi. "Oh, Gemintang." Jagat manggut-manggut.

"Kamu sendiri?" Gemi menghargai usaha Jagat, ia pun memancingnya agar usaha Jagat tidak sia-sia.

"Byakta Sejagat." sebut Jagat.

Gemi otomatis mengulurkan tangan, "Ini perkenalan formal pertama kita sekarang."

Jagat mengangguk, kemudian menerima uluran tangan Gemi. Mereka pun bersalaman.

"Kalo saling tau nama gini kan enak, jadi lebih akrab. Iya, kan?" utara Gemi pascasalaman.

"Iya." Jagat irit menjawab. "Em, Mbak tinggal di mana ngomong-ngomong?" Jagat agak ragu menanya.

"Di rumah." jawaban Gemi membuat Jagat mutung lagi.

"Aku serius nanyanya." lontar Jagat.

"Lah, Aku kan emang tinggal di rumah. Bukan di indekos, losmen, apartemen, ataupun numpang. Kok Kamu malah marah, sih?" Gemi membela diri.

"Maksudku alamat tempat tinggal." Jagat mengklarifikasinya.

"Nah, gitu baru pas dengan jawaban yang Kamu mau." balas Gemi kemudian menyebutkan alamat tempat tinggalnya. "Kamu gak usah nyebutin alamatmu, Aku dah tau."

Jagat mendecih, "Siapa juga yang mau nyebutin." balasnya ketus. "Trus, pendidikan Mbak?"

"Pendidikan yang mana, nih? Formal atau informal? PAUD, TK, SD, SMP, atau apa, nih?" balasan rentetan Gemi bikin Jagat lagi-lagi ingin mutung.

"Pendidikan terakhir." sebutnya.

"Pascasarjana Universitas Negeri Maja Pahit." Gemi menyebutnya dengan bangga dan percaya diri.

SARANGHAE, MBAK! [TAMAT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang