Jagat menginjakkan kaki ke gedung ini lagi, menapakkan langkahnya menyusuri markas di mana orang yang dicarinya berada. Tiga minggu sudah ia menahan diri, dirasa kini waktu yang tepat untuk menjemput pujaan hatinya.
"Pak Wan, lihat Mbak Gemi?" Jagat melihat Wanto yang melintas tidak jauh dari titiknya berdiri. Jagat menghampirinya.
"Kayaknya tadi ke sana. Ada perlu apa?" tunjuk Wanto ke tangga darurat.
"Perlu sesuatu, Pak Wan. Terima kasih, monggo..." pamit Jagat lekas pergi dan tak mau berbagi rahasia.
Jagat membuka pintu darurat, ia berhenti sejenak. Ada dua jalur yang mengarah ke atas dan ke bawah, Jagat tidak tahu mau ke sebelah mana.
"... Dasar pengecut!"
Setelah berdiam sejenak, kuping Jagat mendeteksi asal suara yang ia cari. Jagat mengayunkan kaki, bergerak meniti anak tangga yang mengarah ke atas. Sambil meniti anak tangga, Jagat membuka gawainya. Berniat menghubungi Gemi agar lebih mudah menemukannya. Namun, sebuah pesan suara dari Gemi sampai padanya. Jagat membukanya tepat saat ia menemukan Gemi.
"Kalo mental tempe, mending gak usah maju dan ngasih harapan semu! Dasar pengecut!"
Mata Jagat sempat membesar, tapi segera sirna memergoki Gemi yang tegang. Perempuan pujaan hatinya itu memutar kepala perlahan. Membelalakkan mata kala tertangkap basah sedang mengumpatinya.
"Nungguin Aku, Mbak?" Jagat menyunggingkan sebelah sudut bibirnya sambil memampangkan gawainya menghadap Gemi.
Gemi matu kutu, ia tidak tahu mesti bersikap bagaimana. Kalau kata orang, ia sudah terciduk di tempat.
Jagat memendekkan jarak, berpindah semeter dari Gemi yang berdiri kaku. "Aku udah di sini, Mbak gak mau bilang langsung?" ujarnya bikin Gemi meleleh seketika.
Gemi menyamankan posisi, menghadap tepat ke Jagat tapi sedikit memperpanjang jarak. "Bi-bi-bilang apa?" ia gugup luar biasa.
Jagat menggulung jarak, menyisakan jarak setengah meter. "Aku kangen Kamu, contohnya."
Seluruh badan Gemi sepersekian sekon panas dingin, ia meremat tangan guna mengurangi detak jantungnya yang berdesir kuat. "Ka-kangen? Siapa yang kangen Kamu?" meski sudah terhimpit, Gemi masih saja bisa mengelak.
Jagat mendesah pendek, kedua tangannya bergerak memegang bahu Gemi. "Aku yang kangen Kamu, Mbak." sampainya lugas dan lancar.
Gemi tidak berkutik, tubuhnya seakan membeku. Apalagi, ditambah Jagat yang berusaha menatap matanya sambil merunduk.
"Kamu kenapa, sih, Mbak? Aku cuma pingin lihat wajahmu doang, gak aneh-aneh." Jagat menegakkan kepalanya, ia capai mengikuti kepala Gemi yang gerak ke sana ke sini.
"Gak aneh-aneh, tapi bikin grogi, masamu!" gumam Gemi masih merunduk.
Jagat menahan tawa, ia makin gemas dengan kegugupan Gemi yang sangat kentara. Ia pun menurunkan tangan, melonggarkan jarak agar Gemi lebih nyaman. "Masih grogi, Mbak?" ia ingin memastikan.
"Masih ada Kamu, jadi masih grogi." tutur Gemi.
"Oh, jadi pinginnya Aku pergi lagi, nih?" goda Jagat seraya berpura-pura memutar haluan.
"Ja-jangan!" Gemi sontak meraih lengah Jagat dan memeganginya.
Jagat tidak kuat menahan senyuman, ia berbalik cepat dan seketika membawa Gemi dalam dekapannya. "Aku kangen Kamu, Mbak. Sangat kangen, kangen, kangen banget." ungkap Jagat terang-terangan.
Gemi menahan napas, jemarinya terkepal kuat di samping badan. Ia ingin membalas pelukan Jagat, namun ia tidak memiliki keberanian.
Jagat merasakan dekapannya tidak kunjung dibalas, ia lantas mempererat dekapannya sampai tubuh mereka bersinggungan.
"Bukan muhrim, Dek." ujar Gemi seraya meletakkan kedua tangannya di depan dada. Meski begitu, Jagat enggan melepasnya.
"Aku cuman meluk, Mbak. Gak niat yang lain, kecuali..."
"Gak usah neko-neko!" Gemi mendorong dada Jagat hingga dekapan itu terlepas.
Jagat terhuyun hampir oleng, tawanya sontak meledak. "Makanya, jangan gengsian, dong, Mbak. Sok-sokan nolak Aku pakai tokoh drama. Aku, kan, jadinya agak kecewa." ujar Jagat memecah suasana canggung yang sempat berembus.
Gemi membuang napas plong, jantungnya hampir meledak saat dipeluk Jagat. "Aku cuman gak mau punya hubungan kayak kemarin. Makanya kutolak." ia menerangkan yang sebenarnya. Kondisi tubuh dan jantungnya berangsur membaik seiring obrolan mereka seperti sedia kala.
"Kayak kemarin gimana?" Jagat mengerutkan kening.
"Gagal karena gak direstuin." jawab Gemi cepat.
Jagat manggut-manggut, "Kalo sama Aku, kemungkinan sulit ditentang, Mbak." ucapannya bikin Gemi terkekeh.
"Dilihat dari sisi mananya, huh? Modelan Mamamu Aku sudah katam." balas Gemi disertai sunggingan sudut bibirnya.
Jagat tidak langsung menjawab, ia mengotak-atik gawainya beberapa detik. Tidak lama, ia menunjukkan gambar di galerinya. "Ini buktinya, Mbak!"
Mata Gemi membola, "Astagfirullah ... pernyataan apa itu? Beneran itu tanda tangannya Bu De?" ia tidak percaya.
"Ada materainya, gak mungkin bohongan, dong, Mbak. Mama sendiri yang bilang bakal nerima siapapun yang kupacarin, asal jangan sejenis." Jagat memantapkan pernyataannya.
Gemi tertawa geli, kegugupannya ikut sirna bersama gelaknya.
"Mbak, Aku serius. Jangan becandain Aku lagi." Jagat agak kesal keseriusannya malah ditertawakan.
Gemi menggeleng-geleng sambil berusaha menyetop tawanya. "Aku gak niat untuk melakukan itu lagi. Tapi ... Aku gak yakin soal Mamamu." Gemi mengambil napas, "Aku sudah kenyang ngadepin orang seperti Mamamu, Dek. Aku capek." akunya diikuti tawa miris.
Jagat memandangi Gemi serius, meraih tangan Gemi dan menggenggamnya lembut. "Setidaknya, izinin Aku buat ngilangin rasa capek itu, Mbak."
Gemi kembali membeku, namun kali berusaha menghadapi Jagat dengan tenang. "Hubungan kita gak akan lama dan sulit, Dek." ia sampaikan apa adanya.
Jagat memberi anggukan, "Meskipun begitu, Aku tetap ingin jadi pelangimu, Mbak."
Seketika itu waktu seolah berhenti memutar, seisi alam semesta seakan menaruh perhatian penuh pada mereka. Angin berembus lembut entah dari mana, seakan mengelus kedua pipi Gemi hingga dadanya berdesir hebat. Ia benar-benar dibuat jatuh oleh pesona Jagat.
"Tiga bulan, setidaknya kasih Aku kesempatan selama itu, Mbak. Setelah itu ... Aku gak akan gangguin Mbak lagi. Aku akan hilang seperti buih di lautan." entah berkat ajaran Edo atau kemampuan improvisasinya Jagat yang luar biasa, kata-kata romantis itu lolos dari mulutnya. Sampai-sampai membuat Gemi jatuh untuk yang kesekian kali padanya.
Gemi gagal menyamarkan raut bahagianya, bibirnya meloloskan senyum begitu saja. "Ketahuan kalo sering baca novel romansa ini." ujarnya.
Jagat menanggapinya dengan senyum, Gemi tidak perlu tahu ada campur tangan Edo sebenarnya. "Jangan ngalihin tema, Aku butuh jawabannya sekarang, Mbak." tuntutnya.
Gemi menghela napas, ia kehabisan cara untuk mengelak dari bocah SMA ini. "Tiga bulan kelamaan, entar susah move on-nya. Seminggu."
Jagat mendengus kasar, "Ini kisah cinta pertamaku, Mbak. Bukan acara ragam mingguan." tolak Jagat keras.
"Yaudah, 28 hari."
"Mbak, Aku serius!" Jagat protes keras.
Gemi meniup napasnya ke atas, "Kutambahin dua hari biar genap sebulan, gimana?"
Jagat terdiam menimbang-nimbang, kemudian membuat keputusan. "Oke, tapi gak boleh putus sebelum itu."
Gemi berdecak, "Nembak cewek koyo ngenyang lombok (nawar cabai). Wokkey, Dek Jagat!"
"Pingin peluk Kamu, Mbakkkk..."
"Kaplok puron (tampolan mau)?"
"Jangan sadis-sadis gitu, dong, Mbak. Sekarang, kan, udah resmi pacaran."
"Sa ae kulit kacang!"
KAMU SEDANG MEMBACA
SARANGHAE, MBAK! [TAMAT]
General FictionBagi Gemintang Soerjoprasojo, Mo Tae Goo adalah sosok pria idamannya setelah kisah asmaranya bersama Langit Djatmiko kandas dihantam gelombang restu. Tapi, bagaimana bila seorang bocah SMA yang terpaut 10 tahun lebih muda hadir dan menyukainya? Bag...