***
Kali ini ngga boleh gegabah," ucap Kintan. Kanaya mengangguk. Ia segera menggendong Kaanu dan berjalan bersama Kintan menuju ruang ganti. Mereka sesekali membuka pintu untuk melihat situasi. Kemudian menutup lagi untuk bersembunyi.
"Nay, itu bukan mamanya Danang, kah?" tanya Kintan.
"Bukan, Kin. Wanita itu lebih tua dari dari mamanya Danang. Oma-oma itu. Kok bisa sama mas Ramzi, ya?" tanya Kanaya. Ramzi beserta si oma bergandengan tangan masuk ke butik. Mereka terlihat asik mengobrol, berbalasan senyum bahkan tidak segan-segan Ramzi merangkul.
"Bener-bener ngga beres tuh orang," ucap Kintan pelan.
"Iya. Kita telpon mbak Kirana aja biar dipergokin," saran Kanaya.
"Ngga seru, Nay. Kita ambil beberapa foto dan video durasi pendek. Terus kita pulang habis itu ngajak Danang ketemuan. Lagian tuh anak pasti belum pulang sekolah."
Kanaya hanya mengangguk. Menyelesaikan masalah adalah keahlian Kintan.
Kintan membuka pintu pelan. Mengarahkan kamera ponsel pada Ramzi dan tersenyum puas saat kegiatannya berjalan lancar.
"Yuk pulang," ajak Kintan.
"Ngga jadi belanja?" tanya Kanaya.
"Ngga. Cari di tempat lain aja. Yang penting sudah ada bukti di tangan."
"Ya udah, ayo."
Kintan dan Kanaya pun membuka pintu. Berjalan cepat ke luar butik. Namun, Kanaya berbalik, melihat ke arah Ramzi lagi. Ia melihat pria itu tengah berdiri tegak dengan si oma yang sibuk mencocokkan beberapa kemeja dan Jas mahal ke tubuh bagian depan pria itu.
"Nay, ayo. Nanti kita kelihatan. Bahaya."
"Iya." Kanaya berbalik. Ia segera mengikuti langkah lebar Kintan menuju mobil.
"Kin, kenapa ngga kita tegur?" tanya Kanaya. Entah, ia merasa geregetan dengan tingkah pria di sana. Kirana, mamanya Danang dan sekarang oma-oma, entah permainan apa yag sedang pria itu mainkan.
"Sabarlah. Ngga seru juga kalau kayak gitu." Kintan masuk ke dalam mobil. Kanaya mengikuti. Kuda besi itu melaju dengan pelan karena jalanan cukup macet.
"Kalau kita sudah kumpulkan bukti, langsung skak, dia bakalan kalah dan semua orang akan tahu kebusukan dia. Pikir, kalau kita skak dia tanpa bukti, mulut berbusa, dan dia tetap melakukan kesalahan karenan wanita-wanita di luar sana tidak tau kebusukannya. Kemungkinan besar, Mama Danang dan mbak Kirana pun tetap akan menganggapnya baik kalau tidak ada bukti kuat."
Kanaya menghela napas. Kemudian mengangguk.
***
Danu terlihat sibuk dengan berkas yang harus ditanda tangani. Sekretarisnya masuk dan memberi tahu kalau bosnya mendapat undangan ke rumah klien yang beberapa hari lalu melakukan kerjasama dengannya.
"Sendirian?" tanya Danu pada Sekretarisnya.
"Bersama keluarga, Pak. Katanya untuk merayakan kerjasama kita."
"Oke. Bilang, saya setuju. Suruh kirim alamat saja dan hari juga jam ketemuan."
"Baik, Pak. Saya permisi."
"Ya."
Danu kembali sendirian setelah sekretarisnya keluar. Ia menghela napas. Menyandarkan punggung ke kursi dan mengecek ponsel. Mendesah saat tidak ada satupun chat masuk dari istrinya.
[Yang, kau lupa? Atau kamu lagi sibuk?]
Danu mengirim chat ke istrinya.
Tring!
Danu segera membaca chat, tetapi bukan dari istrinya, melainkan wanita masa lalunya.
[Nu, kenapa kamu blokir nomerku? Aku susah payah bahkan menunggu lama saat-saat seperti ini.]
Mata Danu memanas. Dewi nekat. Ia segera menghapus chat.
Tring!
[Nu, balas. Aku kangen kamu. Sudah lama kita tidak bertemu. Ayo ketemuan, kita sama-sama mengenang masa lalu indah.]
Danu mengusap kasar mukanya.
[Maaf, Wi. Saya sudah menikah, tidak mau sebebas dulu. Ada hati yang harus saya jaga.] Danu mengirim balasan.
[Sekali saja, Nu. Aku kangen sama kamu. Kita hanya ngobrol, tidak lebih.]
Danu menghela napas.
Tring!
[Maaf, Mas. Baru pulang dari butik, habis boboin Kaanu, sekarang lagi nunggu Kintan pulang sama Kania.] Chat Kanaya membuat Danu tersenyum. Hatinya menghangat.
[Mas rindu.]
[Sini pulang.]
Chat Kanaya membuat Danu tertawa pelan. Pulang, ia yakin istrinya itu tengah merasa kesal.
[Mas sayang kamu. Jangan tinggalin mas. Oke.]
[Iya. Mas mah bawel. Iya. Iya. Iya. Puas?!]
Danu tersenyum. Ia mengecup layar ponselnya dan menaruh benda pipih itu di meja. Ia kembali menyibukkan diri.
***
"Nang, kenapa wajahmu kusut sekali?" tanya Kanaya. Ia meletakkan segelas jus di depan Danang. Pria itu sudah datang atas suruhan Kintan.
"Mama marahin aku di depan Handoko, Mbak. Aku lagi kesel."
"Kok bisa?" Kini Kintan yang bertanya.
"Gara-gara gue kasih tau kalau calon suaminya itu pria ngga bener. Tentang acara lamaran gagal itu dan gue dapat hadiah tamparan dari mama. Handoko benar-benar sudah membuat wanita yang melahirkan gue ke dunia ini bertekuk lutut."
Kanaya menghela napas. Kintan juga. Gadis itu menatap iba pada Danang. Ia segera mengambil ponselnya dan menyerahkan pada pria itu.
"Gue dapat itu, tadi, pas di butik," ucapnya.
Danang membulatkan matanya. "Kan, ngga benar. Menurut kalian, motif dia kayak gini, apa?"
"Playboy kali," terka Kintan.
"Kalau playboy, ngga mungkin mau menikahi."
Kintan mengangguk. Benar juga kata Danang. "Mungkin dia ada taruhan?"
"Bisa jadi." Danang mengepalkan tangan. "Sok ganteng sekali dia. Menjijikkan!" umpatnya.
"Tadi, aku sempat liat kalau oma-oma itu cocokin kemeja sama jas di badan mas Ramzi."
"Jangan-jangan dia mau mengeruk harta saja," terka Kintan. "Mengincar wanita kaya supaya bisa hidup enak tanpa kerja."
"Bisa jadi. Mama gue, janda kaya. Papa elo kayak, setidaknya kalau nikah sama kakak elo, dia bakalan kecipratan kaya dan oma-oma itu juga kaya. Njirrr! Ada cara supaya kejahatannya kebongkar? Muak gue!"
"Ya ada, tapi pelan-pelan. Semua butuh proses. Kita sudah dapat bukti foto dia dengan wanita lain, selain mama elo dan mbak gue. Kalau bisa kita dapatkan juga info jati dirinya."
"Kita buntutit, kapan-kapan," ide Danang.
"Setuju, tapi ngga sekarang. Biarkan masalah yang semalam itu tenang dulu dan elo, jangan menentang hubungan mama elo dan si Ramzi supaya gampang kita dapat informasi. Kalau bisa, elo sadap ponsel mama elo dan gue juga bakalan sadap ponsel mbak gue. Itu juga bisa kita jadikan bukti pembuktian kejahatan pria itu. Pokoknya, kita harus main cantik."
"Gue laki. Ganteng."
Kintan memutar bola matanya. Kanaya malah tersenyum. Di matanya, Kintan dan Danang itu cocok.
"Nay, elo ikutan, kan?" tanya Kintan.
"Kalian aja. Mas Danu pasti ngga bakalan ngizinin."
Kintan menghela napas. Ia menatap Danang. "Karena hanya kita berdua yang akan melakukan misi ini, gue sebagai ketua, ikutin cara main gue. Oke?"
"Oke cinta." Danang tersenyum manis. Ia mengedipkan mata, menggoda dan Kintan membalasnya dengan memukul bantal sofa tepat di kepalanya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanaya(Season 2 nya Kawin Paksa) (TAMAT)
Romantiklangsung baca yuk. jangan lupa tinggalin jejak ya.