Bagian 9

534 49 1
                                    

***

Kanaya terlihat tidak bersemangat, membuat Karin dan Kintan menatap dengan alis bertaut. Mereka sekarang berada di rumah Wiwin. Tadi, mama Wiwin datang dan mengajak mereka semua buat makan siang bersama.

"Nay, kenapa?" tanya Karin. Ia, Kintan dan Kanaya sedang berada di teras. Sedang yang punya rumah tengah di dalam, bermain dengan Kaanu dan Kania.

"Ngga papa, Ma." Kanaya tersenyum tipis. Ia menatap lagi ponselnya dengan hati yang nyeri. Katanya tadi benda pipih ini harus selalu di tangan supaya bisa membalas chat dan menerima telepon suaminya kapan saja, sayangnya, yang mengatakan itu ingkar janji. Setelah pesan terakhir yang menyentil hati Kanaya, tidak ada chat lain bahkan panggilan masuk. Danu benar-benar marah.

"Ngga papa, tapi lesu. Apa sudah merindukan abang posesif gue? Ngaku, lu," ucap Kintan mengejek.

Kanaya tersenyum dan mengangguk. Rasa kangen kali ini begitu besar, hingga membuatnya ingin cepat-cepat bertemu suaminya dan berbaikan.

"Sabar. Sore dia jadi jemput, kan?" tanya Karin.

Kanaya menelan salivanya susah payah. Tadi, Danu menyatakan tidak mau menjemput, tetapi ia berharap akan menjemput.

"Iya, Ma."

"Ya udah. Nikmati suasana dulu. Enak banget di sini. Adem dan sejuk."

Kanaya mengangguk. Namun, hatinya tidak menerima ucapan itu. Menikmati suasana enak, nyatanya ia sedang menikmati kecemasan.

"Assalamualaikum." Salam yang diucapkan Bian membuat 3K menoleh. Pria tampan berkarisma itu menatap mereka satu persatu dengan senyuman manis.

"Waalaikumsalam."

"Nay, mana anak-anakmu?" tanya pria itu ramah.

"Di-di dalam." Kanaya gagap. Bukan karena terpana dengan ketampanan Bian, tetapi karena ditatap manis oleh pria itu.

"Oh. Aku ke sana dulu, mau kasih cemilan." Bian mengangkat kantong plastik yang ia bawa. "Biasa makan cemilan, kan?" tanyanya sebelum pergi.

"Ya." Kanaya menjawab sembari mengangguk.

"Ya udah. Aku masuk dulu. Permisi."

"Mari." Kintan menjawab sembari menatap punggung Bian sampai tidak terlihat. Ia kagum dengan keramahan pria itu. Andai Danang--bronis-- itu memiliki sikap ramah seperti Bian, menikah sekarang juga ia mau.

"Mama pengen punya menantu kayak gitu," ucap Karin.

"Kintan juga mau punya suami kayak gitu. Nay, elo ngga papa kan kalau Bian jadi ipar elo?" tanya Kintan yang membuat Kanaya mematung dengan mata membulat. "Gue bercanda. Gue ngga bisa bayangin hari-hari bang Danu kalau beneran gue jadi sama temen elo itu. Saking cemburunya, bisa-bisa bunuh diri abang gue. Hadeh!"

Kanaya tersenyum tipis.

**

Bener yang Kanaya takutkan. Danu marah. Pria itu menyuruh supir kantor lagi untuk menjemput mereka. Padahal, andai suaminya yang datang, mau ia ajak ke makam orang tuanya.

[Mas jadi jemput?]

[Emangnya Bian ngga mau antar kamu?] Chat dari Danu yang masuk lima menit lalu.

[Mas, kok bilang gitu? Mas jemput, ya. Aku mau pulang sama Mas.]

[Mas sibuk. Atau kamu nginap aja biar lebih lama waktu bersama Bian.]

Kanaya menitikan air mata.

[Aku mau pulang. Mau sama Mas. Mas jemput, sekarang juga.] Setelah mendapat chat aneh dari Danu, Kanaya memilih lari ke kamar, meninggalkan 4K di ruang tamu.

Tidak ada lagi balasan. Air mata Kanaya semakin deras. Tahu hasilnya kayak begini, ia mending tidak memaksa pulang kampung tanpa suaminya.

[Mas jemput aku.] Ia mengirim chat lagi buat Danu.

[Mas sibuk. Mas suruh Sopir aja. Kalian siap-siap.]

Kanaya menghela napas. Biarlah, siapa saja yang jemput asal ia bisa segera bertemu suaminya dan asal bukan pulang diantar Bian.

[Makasih, Mas.]

Chat itu ngga dibalas. Kanaya pun berdiri, menyeka air mata dan berjalan keluar kamar, menghampiri mertua, ipar dan anaknya.

"Nay, Danu jadi jemput?" tanya Karin.

"Mas Danu sibuk, jadi supir lagi yang menjemput."

"Ngga masalah."

Kintan menatap Kanaya. Ia merasa ada yang aneh dengan iparnya itu. Matanya sembab seperti ....

"Elo habis nangis?" tanya Kintan.

"Ngga."

"Jangan bohong."

Kanaya tersenyum tipis. "Sedih aja mau ninggalin rumah penuh kenangan ini," ucapnya bohong. "Ma, Kin, sebelum pulang, kita ke makam orang tuaku dulu, ya."

"Ya." Kintan dan Karin menjawab kompak.

"Nay, selain masalah sedih meninggalkan rumah penuh kenangan, apa lagi yang buat elo sedih?" tanya Kintan.

"Mas Danu. Aku kangen sama dia."

"Ya elah!" Kintan memutar bola matanya. Kanaya bucin. Karin hanya tersenyum. Ia salut pada Kanaya yang betah dengan sikap posesif anak lelakinya.

***

"Assalamualaikum," ucap Kanaya, Kaanu dan Kania tepat di depan pintu rumahnya. Karin dan Kintan memutuskan langsung pulang. Lelah diperjalanan membuat mereka ingin langsung rebahan. Lagian, sudah masuk waktu magrib.

"Waalaikumsalam," ucap Danu sembari membuka pintu. Wajah pria itu datar saat Kanaya memberikannya senyuman manis. Seketika hati wanita itu seperti dicubit.

"Papa, Kania kangen."

"Kaanu uga."

Kania dan Kaanu langsung memeluk Danu. Sedangkan pria itu menatap Kanaya.

"Naya juga kangen sama Mas," ucap wanita itu lembut.

Danu tersenyum miring. Ia berjongkok. Menatap Kania dan Kaanu bergantian.

"Di sana enak ngga?" tanyanya. Seketika perasaan Kanaya merasa tidak enak.

"Enak, Pa. Indah pemandangannya," ucap Kania.

"Benerkah?"

"Kaanu makan cenek banyak uga," ucap Kaanu.

"Snack? Dari siapa?" tanya Danu.

"Gali om."

Danu menghela napas. Ia mengeraskan rahangnya. Kemudian menatap Kanaya yang terlihat pucat.

"Bagus!"

Setelah mengatakan hal itu, Danu mengendong Kaanu dan mengandengan Kania, membawa dua anaknya menuju kamar.

Kanaya diam di tempat dengan air mata yang sudah mengalir. Ini kali kedua ia dipisahkan dari anak-anak saat Danu marah. Sungguh sakit hatinya.

"Kamu ngga mau masuk? Mau nunggu Bian di situ, hm?" tanya Danu sembari menatap tajam Kanaya, setelah itu pria itu masuk kamar dan menutup pintu rapat.

****

Kanaya(Season 2 nya Kawin Paksa) (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang