***
Danu menatap sendu pada pintu kamar anaknya yang tertutup. Di dalam sana ada istrinya yang entah sedang melakukan apa. Ia berharap wanita tercintanya melakukan hal positif, jangan melakukan hal yang membuatnya semakin sakit hati.
Sudah sepuluh menit Danu berdiri di depan pintu. Namun, belum ada tanda-tanda akan membuka dan masuk. Ia malu. Semua yang Kintan bilang benar. Ia terlalu cemburu dan melukai lagi hati Kanaya dengan memisahkan dari anak-anaknya. Cemburu membuatnya egois dengan meminta waktu sendiri padahal sang istri butuh dimengerti. Cemburu membuatnya semakin egois dengan ketidaktahuan kalau istrinya sangat merindu dan ingin segera bertemu saat mereka tidak bersama. Sungguh, Danu tidak ingin kalimat jelek yang Kintan ucapkan terjadi. Ia mencintai Kanaya dan tidak ada niat untuk berpisah.
Danu menghela napas. Berulang-ulang. Ia memukul kepala bagian sampingnya pelan. Membuang pikiran buruk tentang Kanaya yang senyum-senyum memikirkan Bian sambil tiduran di dalam sana, agar hilang dari otaknya.
Tarik napas, embuskan. Danu, pun membuka pintu dan terdiam saat melihat istrinya terlelap dengan posisi meringkuk seperti bayi. Pria itu langsung tersenyum dan menghampiri. Ikut berbaring di belakang dan memeluk erat. Ia sangat rindu dan kacau, padahal baru ditinggal sehari. Bagaimana kalau ia ditinggal lama? Danu tidak mau itu terjadi.
"Mas," ucap Kanaya yang terbangun karena merasa tubuhnya ditarik ke belakang dan di dekap erat. Pergerakan Kanaya yang ingin berbalik dihentikan suaminya.
"Biar begini dulu, Sayang. Mas malu," ucap Danu. Ia semakin memeluk istrinya. Membuai harum dan sesekali mengecup tengkuk wanita tercinta.
"Malu kenapa?" tanya Kanaya serak.
Danu diam. Kanaya merasa pelukan suaminya semakin erat.
"Mas, aku minta maaf," ucap Kanaya lembut. Ia mengenggam tangan Danu yang berada di atas perutnya, menariknya ke arah wajahnya dan memberi kecupan. "Naya bisa jelaskan semuanya." Ia harus menjelaskan semuanya. Wanita itu ingin berbaikan dengan suaminya.
Danu tersenyum. "Ngga perlu, Sayang. Mas yang harusnya minta maaf. Kamu ngga salah. Mas yang salah." Mata Danu memanas. Tidak terasa air matanya mengalir. Ia sangat sayang Kanaya dan benar-benar tidak ingin ada pria lain selain dia di sisi wanita itu, juga tidak ingin di tinggal orang tercinta untuk kedua kalinya.
"Mas ngga salah. Kanaya yang ngga nurut. Harusnya Naya perginya nanti saja sama Mas." Ini kali pertama ada drama melow lagi setelah berbaikan tempo dulu. Danu yang menjauhkannya dari anak-anak, berarti pria itu benar-benar kecewa padanya.
"Nay, apa kamu muak dengan sikap dan sifat mas?" tanya Danu.
Kanaya bergerak ingin berbalik, terapi Danu menahan pelukan.
"Mas, Mas ngomong apa? Muak? Muak kenapa? Kenapa Naya harus muak?" tanya Kanaya. Perasaannya tidak enak. Danu mengajukan pertanyaan aneh. Entah apa yang sedang dipikirkan pria itu.
"Mas cemburuan, mas terlalu mengekang kamu, mas ... mas melalukan itu karena sangat mencintai kamu dan ngga mau kamu ninggalin mas." Suara Danu bergetar.
"Mas," panggil Kanaya.
"Ya?"
"Mau liat muka mas," rengek manja Kanaya.
"Ngga mau. Mas lagi jelek."
"Kalau gitu mau liat sejelek muka apa suamiku."
Danu tersenyum. Ia menarik tangan yang Kanaya genggam untuk menyeka air matanya dan lengahnya pria itu dimanfaatkan Kanaya untuk berbalik, menghadap suaminya, menatap tekat dengan jarak dekat.
Hati Kanaya terasa nyeri saat melihat mata suaminya yang merah dan sembab. Semakin nyeri saat lelehan air mata pria tercinta harus jatuh saat dia mengatakan,
"Maafin mas, ya?"
Air mata Kanaya pun lolos mengalir ke pipi. Sorot mata Danu terlihat rapuh membuat hatinya tersenyuh.
"Mas kok nangis," ucap Kanaya sembari menyeka air mata Danu.
"Kamu juga nangis," jawab Danu.
"Mas nangis, sih. Aku ikutan, kan." Kanaya berusaha tersenyum sembari menyeka air matanya. Namun, air mata kembali lolos. Baru lagi ia melihat air mata suami dan mengerutuki diri karena menjadi istri durhaka.
"Maafin Naya juga, Mas."
"Ya. Kita saling memaafkan. Mas janji kali ini aka berusaha--" Kanaya menutup mulut Danu menggunakan tangannya.
"Jangan memaksa diri untuk terlihat baik di depanku. Aku suka sikap dan sifat Mas. Jangan ada yang di rubah," ucapnya.
Danu menurunkan tangan istrinya. "Mas sayang sama kamu."
"Aku juga."
Danu memeluk Kanaya erat. Mengecup puncak kepala istrinya berulang-ulang. Hatinya lega dan semakin lega saat masalah selesai tanpa ada perdebatan pembelaan diri masing-masing.
"Mas, ini jam berapa?" tanya Kanaya. Ia menjauhkan sedikit tubuhnya supaya biasa saling tatap dengan suaminya.
"Udah jam delapan, Sayang. Kenapa?"
"Anak-anak mana? Mereka udah makan belum?" tanya Kanaya dengan mata membulat. Tadi, setelah mengetuk pintu kamar dan Danu tidak merespon, ia masuk kamar anaknya, berbaring dan ketiduran.
"Mereka di bawa jalan-jalan sama Kintan. Tadi bilang lapar, terus mas rencananya mau masakin telur, karena otak lagi eror, masakan hancur. Kania suruh mas masuk kamar, katanya dia aja yang goreng. Pernah kamu ajarin. Makasih sudah jadi Ibu yang baik." Danu mengecup kening Kanaya. Kemudian menatapnya lagi.
"Mas, beneran udah ngga marah, kan?"
"Ngga, Sayang. Mas yang harusnya tanya kayak gitu sama kamu."
"Aku ngga pernah marah sama Mas. Aku tuh sayang."
Danu tersenyum. Ia mengecup sekilas bibir istrinya dan kembali menatap. "Mas juga sayang sama kamu. Em ... kenapa pulangnya magrib, harusnyakan jam lima udah sampe?" tanya Danu.
"Aku ke makam dulu, Mas."
"Ya Allah." Danu langsung memeluk istrinya. Tadi ia marah selain masalah snack juga karena keterlambatan kedatangan anak dan istrinya. Mengira keasyikan bersama Bian, nyatanya ....
Danu menghela napas. Ia benar-benar meragukan istri setianya. Sungguh ia sangat jahat.
"Maaf."
"Ngga papa. Mas udah ngga marah aja aku udah senang."
"Minggu ini kita ke kampung sama-sama, ya. Mas mau ke makam ibu sama bapak juga."
"Iya." Kanaya kembali saling tatap dengan suaminya. Ia tersenyum manis. Merasa lega saat Danu sudah tersenyum lagi.
"Mas."
"Ya."
Kanaya terdiam. Menatap lekat mata suaminya. Ia ingin berucap, tetapi takut pria di depannya ini marah lagi.
"Apa, Sayang. Mau bilang apa?" tanya Danu. Sekarang, Danu percaya kalau Kanaya adalah istri yang sempurna untuknya. Tidak akan lagi meragukan kesetiaannya.
"Aku dan Bian itu ngga ada hubungan spesial sama sekali."
"Terus?"
"Mas jangan cemburu lagi, ya. Seperti mas yang tidak menerima kembali mbak Ayu demi aku, aku juga ngga akan berpaling dari Mas." Kanaya berucap lembut.
Danu terdiam sambil terus menatap Kanaya.
"Em ... itu ... anu, Mas. Sebagai pembenaran apa yang aku ucapkan, em ... mas bisa kok bikin aku hamil lagi. Biar ngga ada pria lain yang melirik dan hanya Mas yang boleh deket-deket aku." Bukan hanya pipi, tetapi seluruh muka Kanaya terasa panas. Ia malu.
Danu tersenyum. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Istrinya. Menikmati wajah malu-malu yang menggemaskan. "Pindah ke kamar kita, yuk. Mas kangen."
Blush!
Muka Kanaya semakin merah padam.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanaya(Season 2 nya Kawin Paksa) (TAMAT)
Roman d'amourlangsung baca yuk. jangan lupa tinggalin jejak ya.