bagian 23

410 38 1
                                    

***

Suasana di ruang keluarga rumah megah Pradipta semakin terasa panas. Adu tatap tajam antara Kirana dan Danang membuat Kintan bergidik ngeri. Sedangkan Kanaya, wanita itu kembali meneteskan air matanya.

"Mas, gara-gara aku semua ini terjadi. Aku minta maaf," ucapnya lirih.

Danu mengecup kening Kanaya dan mengenggam tangannya. "Jangan kayak gini, Sayang. Nanti kamu sakit. Kita semua mendukung kamu karena kamu benar."

"Tapi Danang ... aku merasa bersalah sama dia." Kanaya menatap memelas pada Danang. Pria itu pasti marah saat orang tuanya di hina. Padahal niatnya datang untuk menguatkan bukti, sayang Kirana keras kepala.

"Kenapa aku harus jaga mulut? Kenyataan kalau mama kamu itu murahan, sudah tau pria ada pasangan, masih saja digaet." Ucapan Kirana membuat Danang emosi.

Pria itu maju, tetapi Kintan menahan tangannya.
"Mbak, ini sebenarnya ada apa? Masih belum mau juga kasih tau aku apa masalahnya walaupun dia sudah menghina mama aku?" Danang menatap Kanaya. Tangannya mengarah pada Kirana, menunjuk tajam ke arah wanita itu.

"Itu, Nang. Maaf mbak harus melibatkan kamu."

"Mending langsung jelasin, Mbak." Danang masih menurunkan ego untuk mengamuk. Di sini ada Kanaya, wanita itu adalah orang terdekatnya.

"Calon papa tiri kamu itu juga calon suami Mbak Kirana. Malam ini adalah malam tunangan mereka, tetapi mbak mengagalkan karena langsung mengungkap bukti kebenaran," jelas Kanaya.

Danang menghela napas. Ia menatap Kirana dengan tajam. "Harusnya Mbak Naya ngga usah bilang, biar dia merasakan penderitaan hidup dengan pria bermuka dua."

Ucapan itu membuat Kirana lebih murka. Ia maju dan menampar wajah Danang, membuat semua orang kaget.

"Kurang ajar!" umpatnya.

"Kirana!" pekik Kinar sembari menutup mulut.

Kanaya langsung memeluk suaminya dan menangis sesunggukkan. Sedangkan Kintan, ia mematung.

"Tahan emosimu, Rana!" Bentak Pradipta.

Danang tersenyum. Tidak memegang pipinya yang sakit bahkan megeluarkan darah segar. Kembali menatap Kirana dengan senyuman miring. "Mbak sama saja seperti mama aku. Gila karena cinta. Ada yang berniat baik ingin mengubah nasib yang hampir buruk menjadi kenali baik, malah mendapat amarah. Mbak sama mama aku sama-sama bodoh karena terlalu cinta sama pria itu."

"Kamu--"

"Cukup!" bentak Kintan yang memotong ucapan Kirana. "Mending elo masuk kamar, Mbak. Ngeladenin orang gila karena cinta itu menguras emosi. Jangan sampe gua gelap mata, ngebungkam emosi elo dengan  jedotin kepala elo ke meja kaca ini."

Mata Kirana membulat. "Kin, kamu adek aku, bisa ngga di saat seperti ini bela aku? Kenapa malah ngebela Kanaya dan selingkuhannya."

Kintan tersenyum. "Bela? Apa yang perlu di bela dari elo. Salah, tapi disalain ngga mau. Salah tapi dibenerin ngga mau. Dengar, Danang bukan selingkuhan Kanaya. Ipar gue itu setia. Pria ini pacar gue. Elo udah nampar pacar gue, ingat, saat gue ngebuktiin kalau si Ramzi itu salah, elo harus minta maaf sama dia." Ucapan Kintan membuat Danang menoleh.

"Mas Ramzi ngga mungkin salah. Kalian semua yang salah! Hahahah!" Kirana tertawa. Wanita itu berjalan ke kamar. Menutup pintu dengan keras dan suara tertawanya masih juga terdengar.

"Ma," panggil Kanaya.

"Ngga papa, Sayang. Makasih karena kamu, kebusukan Ramzi terbongkar." Kinar mengusap punggung anak mantunya.

"Iya. Jangan merasa bersalah," ucap Pradipta.

"Dengar, Mama sama Papa ngga salain kamu, jadi jangan merasa bersalah," ucap Danu. Ia menyeka air mata istrinya fan mengecup keningnya.

Kintan menoleh pada Danang. Kemudian kembali menatap ke arah Kanaya dengan debaran jantung yang menggila karena matanya beradu dengan pria brondong itu.

**

"Maafin Mbak ya, Nang." Sudah kesekian kalinya Kanaya mengucapkan hal itu. Danang hanya tersenyum dan mengangguk. Kini, pria itu tengah diobati oleh Kintan. Luka di tepi bibirnya butuh pengobatan.

"Kalau seumpama tadi gue bawa ponsel satunya, bakalan banyak bukti kuat di sana. Sayangnya, gue lupa." Danang menyengir.

"Bocah sih, makanya teledor." Kintan mencibir. Ia sudah selesai mengobati. Bergeser duduknya dan menatap Kanaya.

"Nay, elo janga setres. Jangan masukin hati kemarahan mbak Kirana. Kalau elo setres, NaDa junior kapan lahirnya?" tanya Kintan. Beberapa saat kemudian gadis itu nyengir.

"Mas, Kintan tuh." Muka Kanaya merah. Ia menatap suaminya. Memelas. Berharap Danu memarahi adiknya yang jail.

"Bener kata Kintan. Kamu jangan sampe setres, ya."

Kanaya cemberut.

"Mbak, ada makanan ngga, gue laper." tanya Danang.

Kintan menatap pria itu. "Mending elo pulang? Ngga tau malu banget."

"Makan dulu baru gue pulang." Danang menatap Kanaya yang tersenyum. "Ada, Mbak?"

"Ada. Ke dapur, yuk. Mas sama Kintan juga. Kita makan bareng." Kanaya berdiri. Diikuti Danang, Danu, terakhir Kintan.

Kanaya pun memanggil Pradipta dan Karin serta tiga anak kecil yang tadinya fokus menonton. Bukan mengabaikan Kirana, tetapi Kanaya memberi waktu buat iparnya itu sendiri dulu.

"Sudah berapa lama mama kamu dan Ramzi berhubungan?" tanya Pradipta pada Danang yang sibuk makan. Seperti orang yang kelaparan, tidak makan berhari-hari.

"Hampir satu tahun, Om. Sama mama dia mengaku namanya Handoko ngga ada Ramzi nya. Maaf Om, aku makannya banyak, habisnya lagi mogok makan dan ngomong sama mama," jelas Danang.

"Ngga papa. Makan aja." Pradipta melanjutkan makan juga.

"Kalau pacaran sama Kintan, sudah berapa lama?" tanya Karin.

Uhuk!

Kintan terbatuk. Ia segera mengambil sodoran air mineral dari Danang.

"Mama, ih! Nanyaknya bisa nanti ngga. Lagi makan, nih!" ucapnya kesal.

"Loh, mama cuma pengen tau. Kamu udah punya pacar, kenapa ngga dikenalin sama kami. Jahat sekali," ucap Karin kesal. Ini perdana anaknya membawa pacarnya datang ke rumah.

"Apa kamu malu karena pacar kamu brondong, alis lebih muda dari kamu?" tanya Pradipta.

Seketika Kintan merasa kenyang, sangat kenyang sampai perutnya terasa sesak hingga mengakibatkan mual yang ingin dimuntahkan.

"Papa mah setuju aja. Mau lebih muda, seumura atau lebih tua, kalau bisa mencintai anak papa sepenuh hati, membahagiakan dan memberikan cucu yang banyak, papa rela." Kintan melirik tajam ke arah Papanya yang tersenyum lebar.

"Mama juga ngga papa. Apalagi Danang ini dari kampung yang sama seperti Kanaya, pasti punya sifat baik juga."

"Abang juga setuju. Kin, kamu masih ingat pernah bilang Abang pedofilia karena menikah sama Kanaya waktu itu, kan? Karmanya datang ke kamu sekarang. Nanti, kalau kamu jadian sama Danang, udah kayak keponakan dan tantenya." Danu tertawa. "Cepetan nikah biar DaKi junior cepat lahir."

"Abang jahat!" teriak Kintan.

****

Kanaya(Season 2 nya Kawin Paksa) (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang