44

327 28 1
                                    

***

Kintan mengedipkan sebelah mata pada Mamanya saat mereka tengah sarapan dalam keheningan bersama Kirana. Mama Fito itu memilih menatap ponsel, berbalas chat, daripada membuka suara, menyapa.

"Kirana, mau tambah ayam gorengnya?" Karin mengeluarkan jurus perhatian biar dapat respon.

Si budak cinta di depannya menggeleng tanpa suara, bahkan tidak melihat Karin. Mata bulatnya fokus pada ponsel. Senyumnya merekah sembari menyuapkan makanan dalam mulut.

Kintan penasaran. Sedari tadi ponsel di atas pahanya bergetar terus. Sudah pasti Kakaknya itu tengah berbalas chat dengan Ridwan. Namun, entah apa yang mereka bahas.

Karin menatap Kintan. Mendengkus saat perhatiannya diabaikan.

"Fito mana, Rana? Kok ngga sarapan sekalian?" tanya Karin.

"Masih tidur kali, Ma. Nanti setelah aku sarapan, aku bangunin. Ini sabtu, mau aku ajak jalan-jalan." Lagi, si bucin berbicara dengan orang, tetapi perhatiannya pada benda.

"Kak, ajarin anak elo bangun tidur sendiri. Jangan berharap dibangunin terus. Biasakan mandiri. Noh, Kania, hebat banget dia. Pikirannya udah dewasa. Bukan hanya bisa bangun tidur tanpa dibangunin, tapi juga bisa rawat adiknya," ucap Kintan dan gadis itu sukses mendapat perhatian Kakaknya.

Kirana menatap tajam pada Kintan. Adiknya itu keterlaluan karena membanding-bandingkan anaknya dengan anak kakaknya.

"Fito dan Kania beda. Kania mandiri karena terpaksa. Kanaya bukan mama kandungnya, wanita itu punya anak sendiri, sudah pasti lebih memilih sayang dan perhatian sama anak kandung daripada anak tiri." Kirana berucap diakhiri dengan senyuman miring. Merasa sangat menang karena kalimatnya karena mata Kintan membulat.

"Rana, ngga boleh berpikiran kayak gitu," tegur Karin. Nenek dari 3 cucu dan satu calon cucu itu tidak setuju dengan perkataan anak keduanya. Kanaya bukan tipe wanita seperti itu.

Kirana mendengkus. Dia kembali makan sambil melihat ponsel. Tidak ingin melanjutkan debat. Moodnya pagi ini bagus karena berbalas chat dengan Ramzi dan tidak mau suasana hati itu berubah buruk hanya karena perdebatan.

"Kanaya ngga kayak gitu. Emang Kania udah seharusnya mandiri untuk bangun tidur sendiri. Nih, gue sering ke rumahnya tiap pagi, perlakuan Kanaya sama anak-anaknya sama. Makan, sama-sama ada nasi dan lauk. Minum, sama-sama susu dan Kanaya selalu mengantar jemput sekolah Kania. Jika Kaanu beli baju baru, Kania juga. Anggapan elo tentang ibu tiri yang jahat itu bukan buat Kanaya, Mbak. Elo salah besar."

Kirana mendengkus. Tidak merespon. Asyik dengan dunianya. Sedangkan Karin tengah mengusap lengan Kintan, menenangkan anak ketiganya yang tersulut emosi.

Pradipta bergabung. Pria itu baru selesai bertelepon dengan asistennya di kantor. Ada jadwal meeting pagi ini yang mendesak.

"Kenapa, Pa?" tanya Karin saat melihat wajah suaminya tertekuk.

"Mau meeting, Ma. Pagi banget. Biasanya di jam kerja, lah ini diluar jam kerja, mintanya pagi banget. Aneh."

"Mungkin kalau pagi, pemikiran mereka masih jernih," ucap Karin menghibur suaminya.

"Iya, Ma. Hanya ya diluar nalar aja. Ngajak meeting kerja, tetapi bukan di jam kerja. Makasih, Ma." Pradipta menerima piring berisi nasi goreng spesial dari Karin.

"Sama-sama, Pa. Ya, kalau menurut Papa berat, jangan di paksa."

"Berat, Ma. Cuma ... papa harus profesional."

Karin tersenyum sembari mengusap lengan suaminya. Dia gantian beralih menatap Kintan. Gadis itu masih menampakkan rasa kesal.

"Fito mana, Ran?" tanya Pradipta pada Kirana.

"Masih di kamarnya, Pa." Kirana menjawab sembari melihat Papanya. Peran kepala keluarga itu sangat menentukan kehidupannya. Jadi harus tetap patuh sebelum menikah, supaya bisa tetap mendapat fasilitas.

"Panggil. Sarapan bersama."

Kirana mengangguk. Meletakkan ponsel di meja, setelahnya berdiri dan berjalan ke  kamar Fito yang bersisian dengan kamarnya.

Kintan yang mendapat kesempatan, tersenyum lebar. Segera mengambil ponsel Kakaknya dan mengotak-atik.

Pradipta menautkan alis mata. "Kin, ponsel mbakmu--"

"Pa, bentar baru kita bahas. Biarin dulu Kintan bertugas," ucap Karin. "Intinya ini demi masa depan Kirana," sambungnya.

Pradipta mengangguk. Dia melanjutkan makan sambil menatap wajah Kintan yang terkadang ingin muntah dan kadang tersenyum manis.

Kriet!

"Kin," ucap Karin. "Mbakmu kembali."

Kintan mengangguk. Dia segera menghapus jejak dan menaruh ponsel kembali ke tempatnya. Kemudian kembali makan dengan lahap.

"Pagi, Nek, Kek dan Aunty Kintan," sapa Fito. Pria yang umurnya beda setahun dengan Kania itu memiliki paras yang sangat mirip dengan papanya, Ridwan.

"Pagi, Fito. Gimana tidurnya? Nyenyak?" tanya Karin ramah sembari mengambilkan cucu keduanya itu makan.

"Iya, Nek. Nenek, Fito tadi malam mimpi ketemu sama om-om mukanya ... Fito ngga ingat, dia panggil Fito dengan panggilan 'Nak.' Siapa ya itu, Nek?" tanya Fito sembari mengambil piring yang Karin sodorkan.

Karin menatap Pradipta, Kintan dan Kirana. Kemudian menatap Fito lagi. "Nenek ngga tau, Sayang. Mimpi hanya bunga tidur."

"Tapi udah berulang-ulang mimpi dia, Nek."

Karin menghela napas. Dia menebak orang dalam mimpi Fito adalah Ridwan. Setelah sekian lama, nama itu kembali disebutkan.

"Udah, makan, hari ini kita mau ketemu sama om Ramzi," ucap Kirana.

"Rana, kalian mau menikah kapan? Biar papa bantu sebisa papa," ucap Pradipta.

Kirana menatap Papanya. Tersenyum manis kemudian mencibir. "Papa setuju? Kok mencurigakan? Kirana tidak akan menyebutkan tanggal pernikahan. Nanti, setelah kami menikah, baru ada pemberitahuan."

"Rana, ngga bisa kaya--"

"Pa, biar aja. Bodoh dia mah, mau dibantuin Papa ngga mau. Padahal Papa udah ridho dia menikah sama lelaki pilihannya, yang bermuka dua itu. Menolak bantuan Papa, berarti dia siap melepas kemewahan ini."

Ucapan Kintan membuat Kirana baik pitam. Sejak tadi adeknya itu mencari masalah. Yang paling tidak dia terima adalah calon suaminya dikatai bermuka dua.

"Cukup, Kin! Setelah aku nikah sama mas Ridwan, aku akan pergi dari rumah ini."

"Rana, kamu--"

"Biar aja, Ma. Susah nyadarin budak cinta. Lebih baik mengikuti kemauannya biar tau rasa. Mbak, kalau elo nikah sama Ramzi, elo pergi dari rumah ini, kan? Tapi kalau elo ngga jadi nikah dan tau kebusukan dia, elo harus pindah ke gudang belakang. Elo harus kerja buat memenuhi hidup elo sama Fito. Jangan mengharap--"

"Oke. Deal!" Kirana berdiri dan berjalan pergi.

"Mbak, gue bilang, lebih baik Ridwan daripada Ramzi!" teriak Kintan yang diabaikan Kirana. Namun, dianggukkan oleh Karin. Ridwan ingin mengambil jabatan, tetapi Ramzi mempermainkan perasaan.

****

Kanaya(Season 2 nya Kawin Paksa) (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang