41

333 32 1
                                    

***

Kabar kehamilan Kanaya sudah tersebar ke keluarga besar Pradipta. Malam ini, Danu bersama anak-istri sedang makan malam di rumah Mama Karin dengan menu yang lezat.

"Besok mama antar periksa ya, Sayang," ucap Karin. Mendapat cucu baru bukan membuatnya merasa sudah sangat tua, tetapi kembali muda. Hal itu harus karena nantinya ia akan selalu sehat melihat perkembangan cucunya.

"Iya, Ma."

"Danu juga mau antar."

"Kintan juga. Pengen tau keponakan Kintan laki atau perempuan."

"Ya belom bisa, Kin. 20 minggu batu bisa. Besok mah cek aja sama ambil buku KIA."

"Emang kehamilan elo udah berapa minggu, Nay?" tanya Kintan.

"Besok di tau, Kin, kan besok baru mau cek. Makanya to, di suruh nikah cepat itu mau. Nanyak kok aneh. Nikah sana, biar rasa hamil supaya bisa periksa juga ke bidan."

Kintan memutar bola mata. Dia mau nikah, tetapi kalau sama Danang, mikir dua 2x.

Kanaya, Danu dan Pradipta tertawa pelan melihat reaksi Kintan.

"Sudah punya pacar, tabungan nikah kurang berapa emang, biar papa bantu genapin." Pradipta menggoda anaknya.

"Dih, Papa ih! Calon Kintan itu berondong. Nyiapin ati dulu."

"Emang beneran mau sama Danang?" tanya Danu.

Ucapan itu seketika membuat pipi Kintan merona. "Kalau ada yang lain mah, mending yang lain." Gadis itu menunduk. Mengaduk makanan. Danang baik, sayang dan perhatian. Tidak menyangka juga akan jatuh cinta sama bocil seperti pria itu dalam waktu singkat. Hanya, miris saat melihat jarak umur.

Perhatian ke Kintan teralih saat Kirana melewati meja makan. Tidak menoleh apalagi menyapa. Wanita itu dan Fito baru pulang, entah dari mana.

"Makan bareng sini, Rana. Ada kabar gembira dari keluarga Danu," ucap Karin ramah.

Kirana tidak menghentikan langkah. Tetap berjalan bahkan tidak menoleh, tetapi menjawab. "Sudah kenyang. Habis makan sama seseorang yang kalian benci, tadi."

Ucapan itu membuat Pradita menatap Karin dan Danu menatap gantian Kanaya dan Kintan. Seseotang yang mereka benci? Ramzi. Mereka berlima menebak pria itu.

"Kirana," panggil Pradipta. "Kamu habis makan sama siapa?"

Pertanyaan itu membuat langkah Kirana berhenti. Wanita itu berbalik menatap Pradipta dan semua yang duduk di meja makan satu persatu. Senyumnya mengembang. Namun, terlihat sinis.

"Sama Ramzi, Pa. Dia ngajak aku nikah lagi dan aku setuju. Aku udah dewasa, ngga perlu campur tangan kalian, orang-orang yang tidak mau melihat aku bahagia. Bulan depan kami akan menikah. Aku siap pergi malam ini juga jika di usir."

Pradita menghela napas. Ingin sekali marah dan menceramahi anaknya yang telah menjadi budak cinta itu sehari semalam. Membeberkan kalau Ramzi itu pria brengsek. Namun, ucapan Kirana menyadarkan Pria tua itu kalau anaknya tidak akan mendengarkan apapun kritis dan sarannya.

"Pa, nanti biar mama yang bicara," ucap Karin lirih. Dia tahu suaminya emosi dan memendam kekesalan akan membuat pria tercintanya itu sakit, makanya berusaha menguatkan.

"Pa, biarkan saja kemauan dia. Keras kepalanya itu akan membuatnya menderita." Danu berucap lantang. Namun, Kirana nampak tidak gentar. Tetap tersenyum sinis.

"Mas, sabar," ucap Kanaya sembari memegang tangan suaminya.

"Sabar gimana, Sayang. Kirana itu terlalu bucin sampe kesalahan Ramzi pun tidak terlihat oleh matanya. Begitu tersiksanya kah malam-malam kamu tanpa belaian setelah ditinggal Ridwan? Sampe bodoh dengan tidak memilih-memilah calon suami. Kanaya bahkan sudah membawa saksi mata kalau Ramzi jahat, tapi ngga juga membuat otak kamu terbuka." Danu murka.

"Iya. Aku kesepian tiap malam, Mas. Aku ingin seperti Mama dan Kanaya yang dapat perhatian dari suami, makanya akan menjalin hubungan lagi dengan seorang pria. Dia baik, ngga pernah macan-macam. Sayang sama aku dan Fito, tapi kenapa kalian tega memfitnahnya?" Kirana menangis. Intonasi suaranya meningkat tiap katanya. "Mama Danang yang kalian bilang adalah pacarnya juga, dia tenyata hanyalah rekan bisnis. Kalian sungguh picit. Terutama kamu, Kanaya. Kenapa kamu jahat sama aku. Apa kamu cemburu aku bisa menikah dua kali dan kamu hanya sekali?"

Mata Kanaya membulat. Namun, Kintan malah tertawa.

"Kanaya iri sama elo, Mbak? Aduh, kalau benar, berarti otak Kanaya pindah ke dengkul. Dia melakukan ini karena dia tau kebenaran dan ngga mau elo jatuh ke lubang yang salah. Kalau Kanaya mau nikah, biar sepuluh kali, pun dia bisa sayangnya dia hanya cinta sama Bang Danu."

Mendengar ucapan Kintang, awalnya Danu ingin menjitak kepala gadis itu, tetapi 6 kata terakhir membuatnya tersenyum. Dia menatap Kanaya dan saling bertukar senyuman. Ya, istrinya mau menikah 10 kali pun bisa, masih muda dan cantik, tetapi karena mencintainya, jadilah istri seorang duda beranak satu.

Kirana menyeka air matanya. "Setuju ngga setuju, bulan depan aku mau menikah sama mas Ramzi. Kami berdua sudah memilih tempat akad dan resepsi." Wanita itu kembali berjalan menuju kamarnya.

"Butuh bantuan cari ketring ngga? Gue cariin," teriak Kintan, setelahnya gadis itu mendengkus. Menoleh, menatap Pradipta yang terdiam.

"Pa, seragin sama Kintan--"

"Ngga, kita cari jalan keluar bersama. Mama geram sama Ramzi itu. Pengen juga ikut bikin rencana membuatnya malu," ucap Karin mengebu-gebu. Kirana yang dasarnya keras kepala, semakin keras kepala setelah menjalin hubungan dengan pria itu.

"Kintan setuju. Kalau cuma Kintan aja sama Danang, penyelidikan dan terkuaknya kebusukan Ramzi entah kapan akan terbongkar. Jadi memang kita mesti tukar pikiran bersama-sama." Danang di saat di ajak menyelidiki, selalu saja ada alasannya. Ada jam tambahan di kelas, ketiduranlah dan sekalinya kepergok nongkrong sama cewek. Dah, mood Kintan buruk dan tidak berniat lagi menyelidiki masalah orang, sibuk memikirkan masalahnya sendiri.

"Sebenarnya siapa Ramzi, sih?" tanya Karin.

"Ma, Kanaya waktu itu ...." Kanaya menceritakan semua yang pernah dia alami dan liat di mini market dan yang dia liat dan Kintan di butik.

"Kok ngga bilang sama mas?" tanya Danu.

"Maaf, Mas. Tadinya Kintan dan Danang yang mau nyelidiki dan menguak, nyatanya ... maaf, Mas."

"Udah, Nu. Istri lagi hamil, jangan di marahin," tegur Karin.

Danu menghela napas. "Maaf, Sayang. Lain kali tolong berbagi sama mas."

"Iya." Kanaya mengangguk patuh.

"Setelah tau kayak gini, apa yang harus kita lakukan?" tanya Kintan.

"Labrak ke rumahnya. Kita kan sudah tau alamatnya," saran Karin.

"Ngga seru, Ma. Gimana kalau kita pertemukan Ramzi, mbak Kirana, tante itu dan mama Danang dalam satu acara."

"Setuju. Karin langsung setuju dengan ide anak perempuannya yang masih belum mau menikah itu.

"Papa juga setuju. Kalau sudah begitu, Kirana tidak akan bisa membela pria itu lagi."

"Ya, mas juga."

"Aku juga, Kin," jawab Kanaya.

Kintan tersenyum. "Gimana kalau kita biarkan saja mbak Kirana menikah sama Ramzi. Ma, tanyain tanggal nikahnya biar kita bisa atur strategi lagi."

"Siap." Karin mengacungkan jempol.

****

Kanaya(Season 2 nya Kawin Paksa) (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang