39

340 31 1
                                    

***

Danu dan Kanaya sudah sampai di rumah. Masing-masing menggendong anak yang tertidur saat perjalanan.

"Sayang, tidur sama mas, kan?" tanya Danu setelah mengecup kening Kania dan Kaanu. Perasaannya tidak enak saat melihat istrinya yang duduk di tepi ranjang.

Kanaya menatap Danu. "Mas ngga butuh waktu sendiri buat mengenang masa-masa bersama Dewi? Kan baru ketemuan? Siapa tau--"

"Sayang, jangan kayak gitu. Jangan mulai, please? Mas kira semua baik-baik saja. Kamu tenang menghadapi Dewi, mas kira ia usahamu buat mempertahankan status mas. Kenapa sekarang--"

"Bercanda, Mas." Kanaya memotong ucapan suaminya. Ia tidak merasa cemburu sekarang. Percaya kalau suaminya setia. Kata-katanya tadi murni hanya bercandaan.

Danu menatap Kanaya dengan wajah tegang. Namun, yang ditatap malah tersenyum manis.

"Mas gendong," ucap Kanaya manja.

"Sayang, bisa kita serius dulu. Mas benaran takut kalau kamu kayak gini." Danu turun dari ranjang. Ia berjalan ke arah istrinya. Berdiri di depannya, menatapnya waspada.

"Takut kenapa?"

"Kita sedang membahas masalah. Kamu baru saja ketemu sama mantan mas, tadi bilang mas perlu waktu sendiri buat menggenang mantan sekarang kamu tersenyum, kalau ada sesuatu yang mau kamu bicarakan, ayo keluarkan, mas akan dengar asal jangan berniat sekalipun buat ninggalin mas." Danu seketika merasa frustasi. Apakah senyum manis istrinya di rumah pak Heru tadi terpaksa? Sampai di rumah baru murka, tetapi dengan kedok senyuman(Main cantik, pelan-pelan meninggalkan) sungguh, ia tidak mau itu terjadi.

"Mas, gendong. Bicaranya di kamar kita aja," ucap Kanaya.

Danu pun mengendong, tetapi dengan raut wajah yang masih tegang. Entah, kejutan apa yang akan istrinya itu berikan.

Kanaya mengalungkan tangan di leher suaminya. Mengecup pipi dan menatap manis dengan jarak dekat wajah pria tercinta.

"Aku berat, Mas?"

"Ngga, Sayang."

"Jadi, kalau aku minta gendong terus, ngga papa, dong?"

"Ngga papa. Asal kamu ngga ninggalin mas, apapun yang kamu mau, mas akan lakuin."

Kanaya tersenyum. "Dasar bucin," ucapnya, setelahnya menmenyandakan kepalanya di bahu suaminya.

"Ini bukan bucin, tapi cinta mati."

"Iya. Aku juga cinta mati sama Mas."

"Buka pintunya, Sayang," ucap Danu menyuruh Kanaya membuka pintu kamar mereka.

"Iya."

Ceklek!

Kriet!

Mereka masuk. Danu menutup pintu dengan dengan mendorong menggunakan kakinya. Pria itu langsung membaringkan perlahan sang istri di ranjang. Kemudian menundihnya.

"Mas, cuci muka dulu," ucap Kanaya.

"Kita bicara dulu. Mas ngga mau pas mas keluar dari kamar mandi, kamu ngga ada."

"Mas, aku mau ke mana emangnya? Ini rumah aku. Aku punya status yang harus aku jaga. Aku ngga akan ke mana-mana," ucap Kanaya lembut.

Danu diam menatap Kanaya.

"Mas, ucapanku tadi hanya bercanda. Aku ngga bodoh. Aku akan terus dekat sama Mas dan ngga bakalan biarin Mas mikirin wanita lain."

"Nay, mas sayang banget sama kamu. Benaran, hanya kamu di hati mas."

"Iya, tau."

"Jangan pernah cemburu. Mas ngga akan ngulangin kayak Ayu dulu yang tertipu dengan hubungan di masa lalu. Dewi, mas tidak punya rasa apa-apa lagi dengan dia. Hanya kamu."

Kanaya tersenyum. "Aku percaya."

Danu tersenyum. Ia mengecup kening istrinya. Kemudian bertatapan lagi.

"Mau mau kamu."

"Mas, aku kekenyangan."

"Satu ronde aja. Biar cepat jadi, Sayang."

Kanaya menghela napas. Menolak, pasti akan tetap dirayu. Akhirnya ia mengangguk. Satu ronde, wanita itu tidak menjamin kebenarannya.

***

Dua bulan sudah berlalu. Keluarga Kanaya semakin harmonis. Hubungan Kintang dan Danang, entah, belum ada kejelasan. Hanya kalau bertemu, berantem dan berjauhan, rindu. Dewi bak di telan bumi. Kabar kisah penipuan Ramzi, belum juga terbongkar.

[Bawa Kaanu dan Kania ke sini, Nay.] Chat dari Karin. Nenek dua anak Danu itu sangat Rindu karena sudah seminggu tidak bertemu cucuya. Kanaya sedang tidak enak badan, makanya tidak bisa main.

[Sore ya, Ma. Nunggu mas Danu pulang. Kanaya belum kuat banyak bergerak.]

Setelah menjawab, Kanaya melihat Kaanu yang bermain mobil-mobilan di lantai. Anaknya itu makin hari terlihat makin tampan.

[Kamu udah periksa?] Chat Karin masuk lagi.

[Belum, Ma. Masuk angin aja kok.]

[Lebih bagus periksa, Nak. Atau jangan-jangan kamu hamil.]

Kanaya terdiam. Ia sama sekali tidak kepikiran mengartikan sakitnya adalah bawaan bayi. Senyumnya mengembang. Ia segera mengirim chat pada suaminya.

[Mas, pulang mampir ke apotek.]

[Iya, sayang. Mau beli obat apa?] Cepat sekali Danu membalas.

[Ngga usah beli obat, Mas. Tespack aja yang akurat, ya.] Kanaya tersenyum. Ia menunggu apa balasan suaminya.

[Tespack? Sayang apa kamu ... oke mas belikan nanti. Sekarang aja, ya. Mas otw.]

[Iya.]

Kanaya sekarang selalu mengiyakan kemauan suaminya. Wanita itu menaruh ponsel di sisinya. Kemudian melamun, memikirkan perubahan apa yang ditunjukkan tubuhnya yang setidaknya bisa meyakinkan kalau dia hamil. Namun, ia tidak mendapat jawaban, menurutnya, hal yang terjadi pada tubuhnya biasa saja.

Tring!

[Nay.]

Kanaya menggambil ponselnya. Membaca chat masuk dari nomer baru.

[Siapa?] Balasnya.

[Bian. Sorry ganggu. Kamu apa kabar?]

[Baik. Kamu?] Kanaya ragu untuk membalas, tetapi tidak mau di cap sombong. Namun, ia bertanya-tanya, darimana Bian tahu nomer ponselnya? Apa dari Wiwin?

[Baik juga. Bisa minta nomer suami kamu?]

[Buat apa?] Kanaya kaget. Bian minta nomer suaminya, buat apa?

[Ada hal yang harus aku kasih tau dia. Kamu tenang saja. Ini bukan masalah perasaan aku ke kamu. Lebih ke keselamatan kamu dan keluargamu.]

Kanaya menautkan alis matanya. Ia mengangkat kaki, duduk bersila di sofa. Kemudian jemarinya kembali lincah mengetik balasan buat Bian, yaitu nomer ponsel suaminya.

[Makasih. Kamu sehat-sehat.]

[Iya. Makasih atas perhatiannya.]

Kanaya menaruh ponsel kembali di sisinya karena Bian tidak membalas lagi. Ia pun memikirkan maksud perkataan sahabat kecilnya itu. Meminta nomer suaminya demi keselamatannya? Apa ini? Ada apa? Apa yang terjadi?

****

Kanaya(Season 2 nya Kawin Paksa) (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang