55

459 23 1
                                    

***

Danang memijit pelipisnya. Sudah setengah jam dia dan Kintan menunggu di depan pintu kamar mamanya yang tertutup rapat. Wanita di dalam sana sedang menangis dan menghambur barang dan dia tidak bisa melakukan apa-apa.

"Yang sabar," ucap Kintan sembari mengusap pundak Danang.

"Ngga bisa, Sayang. Mama aku sedang terpuruk di dalam sana," ucap Danang sembari menempelkan keningnya di daun pintu. "Kalau mama aku nekad bunuh diri gimana? Aku sama siapa di dunia ini?" tanyanya lirih.

Kintan menghela napas. Situasi sudah seperti ini pacar brondongnya itu masih saja bercanda dengan menyebut kata sayang padanya. Namun, ucapan pria itu benar, bagaimana seorang anak bisa sabar dan tenang saat orang tuanya sedang sedih.

"Mama, buka pintunya," ucap Danang. Namun, tidak ada jawaban atau reaksi membuka pintu. Masih tetap yang terdengar adalah isak tangis dan bunyi benda membentur lantai.

"Kita duduk di sofa," ajak Kintan.

"Ngga mau, Sayang. Masih mau di sini sampai mama aku keluar."

Kintan menghela napas. Dia merasa iba melihat Danang yang terlihat sedih. Sifatnya sangat berbeda jauh sekali saat pria itu dalam kondisi senang.

Tadi, dia memang ingin ke rumah sakit, menemui keluarganya dan menyerahkan bukti video hancurnya pernikahan Kirana, tetapi diurungkan karena melihat Danang yang panik. Pria itu bahkan beberapa kali hampir menabrak pejalan kaki. Jadinya Kintan mengambil alih menyetir dan menemani pacarnya ke rumah.

"Mama," panggil Danang Lirih. "Keluar sini. Danang ngga masalah jadi samsak, mama bebas mukul. Mama bebas jadiiin aku objek pelampiasan, asal mama keluar."

Kintan semakin iba. Pacarnya kalau dengan mamanya sangat lembut dan manja, tidak ada sikap jail seperti saat bersamanya.

"Nang," panggil Kintan lirih. Setelahnya gadis itu memeluk Danang dari belakang. Menancapkan dagu di pundak pacarnya. "Yang sabar, ya. Biarin mama luapkan kekesalan. Biar lega hatinya. Mama pasti sangat kecewa atas perlakuan Ramzi."

"Tapi kalau di dalam sana mama nekad, gimana? Aku ngga mau kehilangan orangtuaku satu-satunya, Sayang."

"Aku ngerti. Ngerti banget perasaanmu. Kekhawatiranmu. Aku ngerti. Aku yakin mama ngga akan melakukan hal fatal. Dia hanya butuh waktu buat melampiasan."

Danang menghela napas. Dia perlahan melepas pelukan dan berbalik, menatap Kintan. "Aku hanya takut ditinggal, Sayang."

"Ngga ada yang akan ninggalin kamu."

"Kamu juga ngga akan ninggalin aku, kan?"

"Ya."

"Karena cinta atau kasian?"

Kintan menghela napas. Dia salah merasa iba pada orang yang seiseng Danang. Ini suasana sedih, tetapi pria itu masih bisa bercanda.

"Kin."

"Ya."

"Apa jawaban kamu."

Gadis itu menghela napas. "Sebelum gue jawab, boleh ngga gue jitak kepala elo. Bisa-bisanya disituasi kayak gini elo nanyain hal yang ngga penting." Aku-kamu kini berubah lagi menjadi elo-gue. Gaya bicara mereka seperti biasa.

Danang tersenyum tipis. Dia memeluk Kintan dan gadis itu tidak mengelak atau menolak. "Gue ngga mau ditinggal mama sama elo. Gue terlalu cinta dan sayang sama kalian berdua."

"Kalau gue bertahan hanya karena kasian sama elo, gimana?" tanya Kintan yang perlahan membalas pelukan.

"Gue bakalan terus bikin ulah supaya elo kasian sama gue. Jadinya, elo ngga bakalan ninggalin gue."

Kintan tersenyum. "Elo kapan sih dewasanya. Bocil banget pikirannya. Bertahan karena kasian itu ngga akan bertahan lama, berbeda bertahan karena cinta."

"Gue bakalan bikin rasa kasian elo jadi cinta. Intinya elo harus jadi milik gue."

Kintan tertawa pelan.

"Ketawa aja. Liat aja nanti, anak SMA ini akan menikahi elo. Akan jadi suami dan papa dari anak-anak elo."

"Gue ngga denger apapun," ucap Kintan sembari tersenyum lebar.

***

"Mas pengen pulang," rengek Kanaya. Wanita itu benar-benar bosan berada di rumah sakit.

"Sayang, dokter bilang malam ini kamu masih dalam pemantauan, kalau aman, besok boleh pulang." Danu mengusap pipi Istrinya dengan lembut, penuh kasih sayang. Mereka berdua tengah duduk berhadapan di tempat tidur, sedangkan Karin, Kania, kaanu dan Pradipta duduk di sofa menikmati pizza.

"Bosen, Mas. Pengen masakin Mas dan anak-anak."

Danu menghela napas. Dia tersenyum. "Walaupun kamu sudah pulang, bukan berarti bebas melakukan apapun. Kamu istrirahat, biar mas yang lakuin apa yang biasa kamu lakuin buat mas dan anak-anak."

"Mas kok gitu? Aku ngga papa, loh. Udah enakan."

"Iya, Sayang. Oke, apapun, asal kamu bahagia."

Kanaya tersenyum. "Mas, gimana kabar Dewi?"tanyanya.

Danu diam. Ekspresinya berubah murung.

"Mas?"

"Ya. Kabar dia ... entah, mas ngga tau. Mas akan perkarakan kasus ini. Dia harus--"

"Ngga perlu, Mas. Aku ngga papa. Aku tau kenapa dia sampai nekat kayak gini. Bukan salah dia sepenuhnya. Jadi, biarkan dia menikmati hidupnya dengan bebas."

"Sayang, kebebasan dia itu meresahkan. Dia bisa aja lagi melakukan hal fatal sama kamu, Kania atau Kaanu. Kalau hal fatal itu terjadi pada mas, ngga masalah, tapi ngga dengan kalian."

"Mas, ngomong apa, sih! Ngga boleh ngomong gitu. Aku ngga mau Mas kenapa-kenapa. Anak-anak, Papa sama Mama, Kintan dan semua keluarga juga ngga mau Mas kenapa-kenapa. Mas, ada masanya orang jahat berubah menjadi baik dan kebalikan. Mungkin, jika kita bicara baik-baik pada Dewi, masalah akan membaik."

"Sayang, ngga ada gunanya bicara baik-baik sama dia. Dia itu buta karena--"

"Karena cinta sama Mas. Menurutnya aku ngambil Mas, makanya dia benci aku. Mas, nanti, kalau ada kesempatan aku ingin ngobrol dari hati ke hati sama dia."

"Sayang, jangan bilang nanti kamu akan mengalah? Mas ngga mau--"

"Mas, ngalah apa, sih? Aku akan mempertahankan keluargaku. Mempertahankan Mas." Kanaya memeluk suaminya. Mengelus punggung kekar itu. "Aku hanya ingin memberi pengertian kalau cinta tak harus memiliki."

Danu menghela napas lega. Dia membalas pelukan istrinya. "Mas sayang kamu."

"Aku juga, Mas."

****

Kanaya(Season 2 nya Kawin Paksa) (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang