Ke-duapuluh lima

66 6 0
                                    

"Dok! Dokter Laina, segera ke ruang operasi! Ada dua pasien korban kecelakaan barusan, Dok,"
"Saya segera ke sana, tolong siapkan baju operasi saya!"

Tidak ada yang tahu kalau korban kecelakaan itu adalah anak kandung dari dokter terkenal itu. Ammar dan Jaero kini harus langsung menjalankan operasi besar mengingat betapa parahnya luka yang dialami keduanya. Arsyad, Joni, serta Chirstian dan juga Jullian tengah membantu suster mendorong bankar milik Jaero dan Ammar agar bisa cepat ditolong di ruang operasi.

"Kalian tunggu di sini, harap tenang dan berdoa! Dokter Laina akan segera memulai operasi untuk pasien bernama Mahendra Ammar Malik dan Dokter Reno yang akan menangani pasien bernama Jaero Abimanyu Malik,"

Arsyad tidak menyangka kalau sang bunda lah yang akan menangani langsung operasi sang adik bungsu. Dirinya bahkan tidak tahu bagaimana nantinya saat bundanya melihat bahwa pasien yang ditanganinya adalah anaknya sendiri. Kini, semua yang ikut mengantar Jaero dan Ammar hanya bisa terduduk lemas sambil memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa.

"Ba-bang Jon, mereka ga akan kenapa-kenapa kan?" tanya Jullian yang sedari tadi sudah memeluk bahu sahabatnya, Christian.
"Berdoa aja, Jullian, Abang juga ga bisa janji. Abang kabarin yang lain dulu,"

Arsyad hanya bisa menatap kosong lantai rumah sakit tempat sang bunda bekerja. Dirinya tidak bisa tenang meskipun Joni berusaha menguatkan dirinya, bagaimanapun juga, seharusnya dia ada di sana, menemani kedua adiknya, menjaga mereka dari bahaya yang mengincar. Arsyad merasa begitu gagal menjadi seorang kakak, apalagi Ia adalah anak pertama, laki-laki, yang seharusnya bisa sangat bertanggung jawab dengan semua hal.

"AMMAAARRR!! Ga mungkin, ini ga mungkin!! Hiks, Ammar,"

Semua yang sedang menunggu berlangsungnya operasi itu tahu bahwa Laina sedang tidak dalam keadaan yang baik-baik saja, entah apa yang terjadi di dalam tapi bisa dipastikan adik bungsu Arsyad itu sedang dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan.

"Hiks, Ammar, maafin Bunda, hiks"
"Bu-bunda? Ammar kenapa, Bun?"
"Waktu kematian Mahendra Ammar Malik adalah 16.45 WIB pada tanggal 13 Agustus 20xx,"

Christian dan Jullian seketika mengingat bahwa hari ini adalah hari ulang tahun sahabat mereka. Hari yang seharusnya menjadi hari paling membahagiakan bagi Jaero dan keluarganya, hari yang seharusnya dipenuhi dengan tawa dan tangis haru bukannya tangis yang sarat akan keputusasaan dan kesedihan.

"Bu-bunda harus urus pemakaman Ammar dulu, kamu kabarin Ayah, ya?"

Bahkan keduanya lupa bahwa masih ada satu dari bagian keluarga mereka yang berjuang di ruang operasi, bertarung nyawa untuk bisa melihat lagi kehidupan yang entah akan tetap sama baginya atau justru akan berubah seketika. Jullian bahkan yakin kalau Jaero saat ini bisa saja memilih menyerah apalagi saat tahu nantinya kalau adik kesayangannya itu sudah pergi meninggalkannya.

"Apakah ada dari kalian yang golongan daranya A? Jaero membutuhkan 5 kantong darah A, sedangkan kami hanya mempunyai 1 kantong darah,"
"Ti-tidak ada, setau kami Dokter Laina yang bergolongan darah A tapi beliau lagi ngurus pemakaman Ammar,"
"Hahhh tolong ya adik-adik, sahabat kalian lagi bertaruh nyawa di dalam sana, kami tidak tahu apa yang terjadi kan,"

Tidak ada yang bisa dilakukan oleh ketiga sahabat Jaero dan Arsyad selain menghubungi sahabat-sahabat mereka sekaligus orang tua mereka untuk meminta bantuan. Mereka hanya bisa berdoa terus menerus untuk kelancaran operasi Jaero.

"Jaero! Banguuunn, ayo bangun! Kamu pasti bisa, ayo! Kamu udah ditunggu sama keluarga kamu, sahabat kamu, Ro! Bangun!"

Joni terpaku mendengar suara dokter di dalam ruang operasi. Hari ini terlalu menyakitkan bagi mereka semua, hari ini terlalu menyedihkan untuk Jaero lalui. Mereka hanya berharap Adrian, ayah sahabat mereka, bisa menolong Jaero, tapi bahkan tidak ada kabar sama sekali dari Adrian.

"Bang, gimana ini? Hiks, kita harus gimanaaa, Baaangg! Jawab! Hiks, Rooo,"

Adrian sampai di rumah sakit dengan penampilan yang acak-acakan. Dirinya melemas saat melihat ketiga anak di depannya ini menangis dan memeluk satu sama lain. Dirinya pun tidak bisa berbuat apapun karena golongan darahnya pun berbeda, B, tentu tidak bisa didonorkan untuk Jaero.

"Maaf, saya mohon maaf sekali, Jaero Abimanyu Malik kehilangan terlalu banyak darah, tulang belakangnya retak cukup parah, dan ada pembengkakkan pembuluh darah di otak kecilnya. Saya mohon maaf sekali, waktu kematian Jaero pukul 17.25 WIB tanggal 13 Agustus 20xx,"
"GAAAAA!! JAEROOO, GA BOLEH MATIII!!" teriakan Christian membuat semua yang ada di sana kembali menangis dengan kencang.
"Tenang, Le, tenang! Kita harus ikhlasin Jaero, ya? Mungkin emang ini yang terbaik buat Jaero, Le. Mungkin Jaero terlalu lelah, dia udah capek berjuang, kita harus menghargai dia, Lele,"
"GA BANG! JAERO ITU KUAT, DIA BOLEH CAPEK TAPI GA BOLEH PERGI, HIKS, BIARIN KITA LIAT JAERO, DASAR ANAK BANDEL HIKS,"

Adrian meneteskan air matanya dan segera pergi menemui Arsyad dan Laina yang juga tengah mengurus pemakaman anak bungsunya, Ammar. Dirinya kini paham bahwa perasaannya tidak pernah salah, dirinya kini paham bahwa memang hal yang buruk pasti akan terjadi hari ini. Kehilangan kedua anaknya di hari yang sama membuatnya begitu lemah dan begitu sakit. Dirinya merasa Ia bukan ayah yang baik, yang hanya diam ketika anaknya membutuhkan donor darah.

"JAERO! HIKS, BANGUUNNN!! GUE KASIH SUARA CEMPRENG GUE, LO HARUS BANGUN, JAEROOO!!"
"Ro, jangan tinggalin kita, please! Hiks, tolong jangan pergi, kita di sini sayang sama lo, Ro, please, hiks,"

Mereka terus berbicara dengan jasad Jaero dan menangis di sana. Mereka tidak mau kehilangan sahabat sebaik dan setulus seperti Jaero, mereka tidak mau kehilangan sahabat yang kuat dan cerdik seperti Jaero. Jika Jaero lelah, jika Jaero capek, sahabatnya itu bisa datang kepada mereka dan berkeluh kesah kepada mereka, kan? Mereka pasti akan membantu sahabatnya itu dengan senang hati dan tanpa pamrih.

"Le, udah yuk? Mungkin emang ini udah saatnya kita relain dan ikhlasin Jaero, mungkin emang Ro beneran selelah dan secapek itu, Le, bahkan mungkin kita ga bisa nanggung semuanya,"

Tepat saat Jullian mengatakan itu kepada Christian, detak jantung kembali terdengar dari mesin yang ada di sebelah kasur Jaero. Christian dan Jullian kemudian langsung berpelukan dan memanggil dokter untuk memeriksa keadaan sahabatnya. Joni juga akhirnya bisa menghela nafas lega ketika tahu Jaero sudah kembali bernafas.

"Syukur alhamdulillah! Jantung Jaero kembali berdetak tepat 15 menit setelah waktu kematian diumumkan, terima kasih ya karena kegigihan kalian, Jaero bisa kembali hidup. Dan jangan lupa ini semua berkat doa kalian kepada Tuhan,"
"Terima kasih juga, Dokter Reyno untuk usahanya. Kapan Jaero bisa sadar lagi, Dok?"
"Sayangnya untuk saat ini kondisi Jaero sangat lemah bisa dikatakan dirinya mengalami koma, biarkan Jaero istirahat sejenak, ini hari yang sangat berat untuk kita semua,"

"Jaero, terima kasih sudah kembali ke kehidupan kami. Jaero, terima kasih sudah berusaha untuk kuat dan tetap hidup. Jaero, gue ga tau nanti gimana kalau lo tau kalau Ammar udah meninggal tepat di hari ulang tahun lo. Gue cuma berharap, lo bisa tetap kuat, ya?"

Arsyad & JaeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang