Ke-limabelas

71 6 0
                                        

Sidang perceraian akhirnya terjadi juga tepat pukul 09.30 WIB di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Laina yang hadir ditemani ketiga anaknya serta sahabat-sahabatnya benar-benar merasa gugup karena ini pertama kali baginya untuk memasuki ruang persidangan. Jujur saja, Laina sedari tadi memikirkan perasaan dan nasib ketiga anaknya yang sebentar lagi harus berpisah dengan ayah kandungnya.

"Bunda tenang aja, kita kuat kok! Kan Ro udah bilang, kita tuh eneg banget sama si brengsek, jadi, ga ada alasan buat kita untuk nerima dia lagi,"
"Bener, Bunda, udah kita gausah dipikirin. Bunda yang tenang dan jangan gugup, Bunda ga salah, di sini Bunda yang benar,"
"Tante Laina jangan sedih dong! Tante jangan gugup ya apalagi nangis di depan Om Rion. Tante tuh cantik banget jadi pasti nanti Om Rion nyesel deh udah ninggalin Tante, ya itu juga kalau dia masih ada hati, ya, ga, Ro?"

Laina hanya bisa tertawa mendengar ucapan Ayana sambil mengelus lengan sang gadis. Ah, Ayana benar-benar sangat menyukai sensasi ini, dielus dengan sayang oleh Laina, rasanya seperti memiliki ibu kedua. Laina juga benar-benar merasa seperti memiliki anak perempuan yang sifatnya tidak jauh beda dari Arsyad dan Jaero, yang membedakan hanyalah keceriaan Ayana yang benar-benar menular sedangkan kedua anaknya lebih dikenal sebagai sepasang abang adik yang kaku dan berawankan kesuraman.

"Jadi, menurut kesaksian para saksi yang hadir pada persidangan hari ini, Ibu Laina Ashilla benar-benar menjaga dan menyayangi ketiga anaknya?"
"Betul, Pak Hakim! Saya selaku pengacara yang mendampingi Bu Laina sendiri baru bertemu beberapa kali dengan kedua anaknya dan baru sekali bertemu dengan si bungsu, Ammar. Ketiga anaknya benar-benar mencerminkan sikap dan sifat yang cukup baik, mereka sopan, ramah, meskipun sifat dinginnya memang benar-benar melekat di keduanya tapi saya tahu Bu Laina telah berhasil mendidik dan membesarkan anak-anaknya dengan begitu baik,"
"Tapi dalam perkembangan Arsyad dan Jaero, saya juga turut ikut andil di dalamnya. Saya ayah kandungnya dan saya juga ikut mendidik dan membesarkan anak-anak saya,"

Arsyad dan Jaero hanya bisa menghela nafas lelah karena Rion benar-benar tidak mau mengalah. Mereka yakin, kalau ayahnya yang brengsek itu ingin mendapatkan hak asuh anak terutama hak asuh si bungsu, Ammar.

"Pak Hakim, boleh saya memberikan pendapat saya? Saya adalah Arsyad Kaffa Malik, anak pertama dari Bunda Laina,"
"Boleh, silahkan berbicara,"
"Saya ga mau berbicara panjang lebar di sini, tapi saya bisa menjamin bahwa saya dan adik-adik saya tidak pernah merasakan apa itu kehangatan yang harusnya ada dalam keluarga. Memang saat Jaero berumur 5 tahun, keluarga ini masih utuh, tapi setelahnya dia berubah. Entah karena apa, padahal bunda saya sudah menuruti kemauan dia. Cuti bekerja, di rumah aja, selalu masak makanan yang enak, selalu melayani suaminya, mengerjakan kewajiban sebagai istri. Mungkin Jaero saat itu masih kecil, masih main dengan sahabatnya, Jeno, tapi saya ada di rumah, tepat ketika umur saya 10 tahun, saya melihat bagaimana dia memukul pundak bunda saya, dia melepas ikat pinggangnya dan memukul betis bunda saya. Saya berani bersumpah kalau semua yang saya bicarakan ini adalah benar,"
"Jadi, sebenarnya sudah dari dulu ayah Arsyad melakukan tindakan kekerasan?"
"Betul, Pak Hakim,"
"Kalau begitu dari Jaero selaku anak kedua, ada yang ingin disampaikan?"
"Saya hanya ingin keluarga saya bisa hidup dengan tenang dan damai kembali walaupun bunda saya harus berpisah dengan dia. Saya enggan menyebutnya ayah karena bagi saya definisi seorang ayah itu adalah seorang pemimpin keluarga yang sudah pasti paham akan hak dan kewajibannya. Seorang ayah harusnya dewasa dalam bersikap dan menyikapi, seorang ayah harusnya menuntun dan mengarahkan bukannya malah menuntut dan berujung melepaskan. Saya justru merasa bahagia karena bisa terlepas dari siksaan ini, bukannya saya jahat karena senang di atas kesedihan bunda saya sendiri, melainkan saya tahu, Bunda Laina sudah menahan terlalu lama untuk semua rasa sakitnya dan Bunda Laina sudah terlalu baik untuk memberikan kesempatan kepada dia, kesempatan yang mungkin tidak pernah disadari olehnya,"

Hakim beserta jajarannya tertegun mendengar semua yang diucapkan oleh Arsyad dan Jaero tadi. Mereka bisa merasakan apa yang dirasakan oleh kedua anak itu bahkan apa yang dirasakan oleh Laina sendiri. Di mana seorang ayah seharusnya memang sudah paham akan hak dan kewajibannya. Seorang ayah dan suami harusnya sudah siap secara fisik, mental, maupun finansial untuk membangun sebuah rumah tangga yang harmonis. Seorang ayah dan suami seharusnya menyadari bahwa Ia sudah berjanji bukan hanya di hadapan saksi dan undangan saja, melainkan juga berjanji di hadapan hukum dan tentunya Tuhan bahwa kelak ketika Ia sudah menjadi ayah dan suami, Ia akan menjaga dan menyayangi keluarganya.

"Baiklah kalau begitu, setelah kami berdiskusi, saya selaku hakim dari persidangan perceraian antara Laina Ashilla dan Arion Alatas memutuskan bahwa keduanya resmi bercerai dengan hak asuh anak jatuh kepada sang ibu, Laina Ashilla,"
"Ga bisa! Saya menolak kalau hak asuh anak jatuh kepada Laina, saya juga berhak! Saya ayahnya!"
"Keputusan saya sudah tidak bisa diganggu gugat, Pak Arion! Saya juga memutuskan perkara ini setelah mempertimbangkan ucapan kedua anak Laina Ashilla, ditambah lagi Mahendra Ammar Malik masih di bawah umur. Maka, sudah sepatutnya anak di bawah umur berada di bawah pengawasan sang ibu,"

Laina dan semua yang hadir akhirnya mengucap syukur mendengar putusan dari hakim. Perjuangannya selama ini ternyata tidak sia-sia, dia harus mengajak semua orang yang berjasa dalam masalah hidupnya ini untuk melakukan perayaan sederhana. Ya, hitung-hitung dirinya juga butuh menghirup udara segara setelah terus-terusan dikekang oleh mantan suaminya, Arion Alatas.

"Pak Toni, Pak Keanu, Bu Sandra, saya mengucapkan banyak terima kasih ya karena sudah mau membantu saya dalam kasus perceraian ini,"
"Sudah tugas kami untuk membantu, Laina! Saya rasa kamu juga perlu berterima kasih ke Adrian, beliau yang sudah membawa Arsyad untuk bertemu dengan kami,"
"Pak Adrian, saya benar-benar berutang budi banget sama Bapak. Terima kasih, ya, Pak?"
"Sama-sama, Laina. Lagipula saya senang bisa membantu keluarga kamu,"
"Tante, kita party, yuk! Kita bakar-bakar di halaman belakang rumah Tante, gimana? Ih pasti seruuu!!"

Laina kemudian mengangguk menyetujui permintaan Ayana yang kini sudah bergelayut manja di lengannya. Dia benar-benar serasa memiliki anak perempuan yang masih sangat kecil dan perlu dijaga dengan ketat.

"Saya senang kalau kamu senang, Laina. Saya berharap kamu bisa hidup dengan bahagia setelah ini, baik ada saya ataupun tidak. Saya sayang kamu dan ketiga anak kamu, Laina,"

Arsyad & JaeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang