Ke-duapuluh empat

68 6 0
                                    

Setelah beberapa bulan mengambil cuti, kini Laina sudah kembali menjalankan tugas mulianya sebagai seorang dokter. Laina memang dikenal sebagai seorang dokter yang sangat ramah dan pembawaannya yang santai membuatnya dipanggil sebagai bunda dokter oleh semua pasiennya yang rata-rata adalah anak-anak kecil. Ya, Laina memang sudah cukup lama menjadi seorang dokter spesialis anak di rumah sakit milik keluarga Adrian itu. 

"Bunda hari ini ada praktek sampe sore, kalian kan libur, jagain Ammar, ya?"

"Oke, Bunda! Nanti kalau boleh, kita mampir ya ke rumah sakit? Makan siang bareng," ujar Arsyad yang sedang menyuapi sarapan milik si bungsu, Ammar. 

"Terserah kalian aja, yang jelas jagain adiknya yang bener, oke? Bunda pergi dulu sama Ayah, assalamu'alaikum!"

Meskipun hari ini adalah hari Sabtu, harinya libur bagi kebanyakkan orang, tapi tugas tetaplah tugas, dan Laina harus menjalankan tugasnya dengan hati yang ikhlas. Dirinya sangat bersyukur karena Adrian dan ketiga anaknya tidak pernah melarangnya untuk bekerja, tidak seperti mantan suami dan keluarganya itu. 

"La, tapi Mas kok ngerasa ga enak ya ninggalin anak-anak di rumah,"

"Perasaan kamu aja itu, Mas. Mereka pasti bakalan baik-baik aja kok,"

"Hm, semoga aja perasaan Mas salah,"

Mendengar apa yang dirasakan oleh suaminya itu, Laina sontak saja merasa takut apalagi mendengar ucapan kedua anaknya kemaren bahwa Arion masih mengintai kebahagiaan keluarga mereka. Meskipun kedua anaknya berkata untuk tetap tenang tetap saja sebagai seorang ibu, dirinya merasa begitu khawatir dan takut akan terjadi sesuatu kepada mereka. 

Tak berapa lama setelah Laina dan Adrian meninggalkan rumahnya, Arion lantas memarkirkan mobilnya agak jauh dari gerbang rumah pasangan itu. Dirinya akan menjalankan rencana jahatnya tepat saat ketiga anaknya itu lepas dari pengawasan kedua orang tuanya. Hanya saja, dirinya tak mengetahui bahwa sebenarnya ada beberapa mobil yang tersebar di sekitarnya untuk mengawasi apa yang akan dilakukan olehnya itu. 

"Ang, taman, ayuuu,"

"Duh panas, Dek, nanti aja, ya? Sore sama Ayah,"

"Ndaaa, tamaann, ayuuu!!" 

Tak tega mendengar rengekan dari sang adik, Jaero akhirnya menggendong tubuh adiknya itu dan segera mengganti baju mereka dengan pakaian yang lebih santai dan nyaman. Arsyad yang kebetulan saat itu juga akan bertemu dengan Joni di toko sekitar taman memilih untuk menemani adik-adiknya terlebih dahulu. Ketiganya kemudian berjalan dengan Jaero yang kembali menggendong sang adik agar terhindar dari bahaya di jalanan. 

"Tuyuuunnn, Ammal mau tuyuunn,"

Arsyad yang mendengar permintaan adiknya itu segera meminta Jaero untuk menurunkannya dari gendongan. Keduanya kemudian berjalan di belakang sang adik untuk menjaganya, namun, Arsyad yang saat itu sudah sampai di toko yang dituju segera memisahkan diri dari kedua adiknya dan berjanji akan membelikan es krim untuk keduanya. Jaero kemudian berjalan sedikit lebih cepat melihat Ammar sudah mulai berlari menjauh darinya. 

"Ammar, huft, tungguin Abang dulu, astagaaa!" ujar Jaero yang terpaksa harus berhenti sejenak untuk mengikat tali sepatunya yang terlepas. 

Arion yang melihat bahwa Ammar sudah benar-benar lepas pengawasan dari kedua abangnya, langsung menyalakan mobil dan menginjak gas. Tanpa ragu, dirinya kemudian mengemudikan mobilnya dengan begitu kencang dan membuat Jaero yang tengah sibuk mengikat tali sepatunya terpaksa menghentikan kegiatannya dan terbelalak kaget melihat ke arah mana mobil itu melaju. 

"Ammar, minggir! Minggir, Dek, hiks, minggiiirrr!!" teriaknya sambil berlari kencang untuk menyelamatkan adiknya itu.

Sayangnya, Jaero sedikit terlambat karena mobil itu sudah mengenai kaki mungil sang adik. Tak ingin adiknya benar-benar terluka parah, sontak saja si tengah langsung mendorong keras tubuh adiknya ke pinggir dan harus merelakan dirinya yang kini sudah terkulai begitu lemas di pinggir jalan. Darah perlahan keluar dari kepalanya dan juga punggung tegap itu, Jaero juga tidak bisa menggerakkan kedua kakinya dan terpaksa menyeret tubuhnya untuk melihat sang adik yang kini tak sadarkan diri dengan darah yang juga merembes keluar dari belakang kepalanya. 

Dengan tenaganya yang tersisa sedikit, Jaero perlahan memangku kepala sang adik di atas dadanya sambil menangis pelan. Dirinya gagal menjaga adik manisnya, dirinya lah penyebab adiknya terluka begitu parah, berkali-kali Jaero mencium kening sang adik, sambil memohon kepada Tuhan untuk tetap memberikan kehidupan untuk adiknya. 

Di seberang sana, ada seorang saksi mata yang melihat bagaimana kejadian itu terjadi dengan begitu tragis. Christian bersama dengan Jullian kemudian berlari kencang menghampiri sahabatnya, Jullian terisak begitu kencang sedangkan Christian kini sudah berteriak sekencang-kencangnya meminta pertolongan untuk membawa Jaero dan Ammar ke rumah sakit. 

"Jon, lu denger suara orang teriak ga sih?"

"Suaranya si Christian ga sih? Ya kan?"

"Iya, mirip banget, ayo kita samperin. Mungkin dia lagi butuh bantuan,"

Joni yang keluar terlebih dulu dari toko terkejut mendengar Christian lagi-lagi berteriak sambil menangis meraung-raung, belum lagi Jullian yang terus saja memanggil nama Jaero dan Ammar. Joni akhirnya menyeret Arsyad untuk segera menghampiri Christian dan Jullian yang kini sudah terduduk lemas di jalanan. 

"Hiks, Roooo, banguuunnn!! Ammar banguuunnn, hiks," 

"Ammar banguuunn, hiks, ini Bang Jul, Mar! Bangun, nanti kita main bola lagi, Dek, hiks," 

"Christian? Jullian? Kalian kenapa?"

"Hiks, Bang Arsyaaaddd!" 

Perlahan si sulung itu mengalihkan pandangannya ke sebelah Christian dan melihat wajah Jaero dan Ammar yang sudah dipenuhi darah. Dirinya juga melihat bagaimana darah terus keluar dari punggung tegap milik Jaero. Tidak, ini semua salah, seharusnya keduanya tidak seperti ini, pikirnya. 

Ini lah awal mula dari semua penderitaan yang kembali dirasakan oleh keluarga Laina. Semua orang yang mengetahui kejadian tragis itu bungkam dan bisa merasakan bagaimana tersiksanya keluarga kecil itu terutama si tengah, Jaero. Tidak ada yang bisa dilakukan Joni, Christian, dan Jullian selain membantu Arsyad menggendong tubuh adiknya dan membawa mereka ke rumah sakit terdekat yang sayangnya, rumah sakit itu adalah rumah sakit milik ayahnya, Adrian. 


"Abang salah, Dek, harusnya Abang ga mentingin tali sepatu Abang. Harusnya Abang tetap gendong Ammar, ga peduli Ammar ngambek sama Bang Ro, harusnya Abang lebih awas lagi dan ga membiarkan kamu jalan sendirian. Dek, tetaplah hidup, Abang rela kalau harus memberikan nyawa Abang ke kamu, tolong tetap hidup, Ammar,"

Arsyad & JaeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang