009/ Keraguan

2.4K 144 44
                                    

Assalamualaikum.

Selamat membaca, jangan lupa untuk Vote dan komen ya.

Terima kasih.

***

"Aku akan bertahan meski banyak badai yang akan datang."

***

Tiya tersenyum penuh kemenangan. Saat Wulan tiba-tiba datang, menyela pembicaraan mereka.

"Apa yang kamu maksud Zahra? Siapa yang hamil?" tanya Wulan berturut-turut.

Tiya dengan bangganya menjawab, "Aku yang hamil, Mah." Mulut penuh dusta itu berbicara dengan seenaknya saja.

Wulan tersenyum haru, membuat Ridwan yang ada disampingnya mendengus tidak suka.

"Ya, ampun selamat ya sayang," ujar Wulan memeluk tubuh Tiya.

"Alay," cibir Ridwan, tidak menyukai kabar ini.

Bencana. Batin Ridwan tetap berada di pihak Zahra.

"Apaan sih kamu, Mas. Bukannya dikasih ucapan selamat , malah sewot kaya gitu." Wulan duduk di sebelah Tiya, dengan bangganya terus memamerkan Tiya kepada Zahra.

Zahra menatap datar ke arah mereka berdua. "Lihat Zahra, kamu tuh seharusnya nyontoh Tiya sebagai panutan kamu," ceramah Wulan tanpa tau kondisi.

"Maksud Mama?" tanya Zahra.

"Apa coba yang kurang dari Tiya. Udah baik, sopan, ramah, dan Mama suka dia sebagai nilai plusnya. Enggak kaya kamu." Wulan menatap sengit Zahra.

"Maksud Mama aku harus jadi pelakor kaya Tiya, gitu?" tanya Zahra mengerjapkan matanya polos.

Wulan membelalakkan matanya. "Apa yang harus aku contoh dari dia? Sedangkan aku sendiri jauh lebih baik. Aku sopan, ramah, baik, bisa masak, paham perasaan orang lain, dan nilai plusnya aku enggak pernah jadi pelakor." Zahra menatap Wulan, ia tidak akan mengalah begitu saja.

Jika ia awalnya meminta cerai, sama saja Zahra menyerahkan kemenangan kepada Tiya begitu saja.

"Udah mulai berani ya kamu," geram Wulan berdecak pinggang.

"Dan satu lagi Ma, Tiya bukan Tuhan yang harus jadi panutan aku."

Ridwan mengacungkan kedua ibu jarinya. "AYAH DUKUNG," teriak Ridwan penuh semangat.

"Mana ada orang baik jadi pelakor," sindir Ridwan, memanas-manasi istrinya. Ia ingin istrinya itu memiliki pemikiran yang luas.

"Emang perempuan yang kamu banggain itu lebih baik dari Zahra?"

"Enggak kan."

"Oh iya, hampir lupa. Nilai minusnya perempuan itu, yang pertama, jadi pelakor. Yang kedua, aku enggak suka. Yang ketiga, udah di tolak sama Azka," ujar Ridwan yang merasa enggan mengucapkan nama Tiya.

"Kalau aku mah, kemana-mana ya tetep Zahra."

"Betulkan Azka?" Azka mengagukkan kepala mantap.

"Istri Azka mah, enggak ada tandingannya Yah," ujar Azka.

"Terus kenapa kamu bisa selingkuh?"

"Ya karena, dia kan setan jadi aku kerasukan aja , abis itu sadar," jawab Azka menggaruk kepalanya. Ia sendiri bingung, bagaimana bisa ia berselingkuh dengan Tiya, disaat Istrinya jauh lebih baik dari selingkuhannya?

Wajah Tiya merah padam, sama seperti wajah Wulan. "Siapa calon ayah dari anak yang kamu kandung?" tanya Wulan tiba-tiba.

"Yang jelas Azka dong Ma," jawab Tiya.

"Ya udah, Mama sebagai perwakilan dari Azka memutuskan untuk menikahkan kalian berdua secepatnya."

Ridwan memelototkan matanya ke arah Wulan, istrinya itu sudah kelewatan.

"Emang saya setuju?"

"Enggak butuh persetujuan dari kamu, yang pengin Azka mau," jawab Wulan ketus.

"Emang Azka mau menikah sama nenek lampir itu?"

"Enggak Ayah, aku cuma mau sama Zahra aja. Apapun yang terjadi aku akan tetap memilih Zahrana Bilqis," jawab Azka menggenggam tangan Zahra.

Zahra menepisnya pelan, ia ingin mempertahankan rumah tangganya, belum tentu juga ia sudah memaafkan Azka.

"Pernikahannya minggu depan ya," ujar Wulan membelai rambut Tiya, menghiraukan jawaban Akza.

"Udah tua makin ngeselin aja," sindir Ridwan.

Entah bagaimana Ridwan dan Wulan bisa bersatu melalui ikatan pernikahan, dengan karakter yang berbeda membuat mereka saling jatuh cinta.

"Emang kamu udah yakin kalau itu calon anak Azka?" tanya Ridwan, tersenyum menjengkelkan.

"Yakin lah," jawab Wulan, membuat Tiya merasa beruntung untuk saat ini.

Ridwan pasrah dengan tingkah istrinya itu, semua keputusan akan ia serahkan kepada anaknya.

Karena, keputusan ini bukan hanya tentang sebuah tanggung jawab, melainkan juga menyangkut masa depan.

"Aku terserah sama Azka," ujar Ridwan.

"Jadi, Azka kamu pilih apa? Tiya atau Zahra?" tanya Ridwan melipat tangannya di depan dada.

"Aku belum bisa memilih, Yah." Meski ia tahu yang Tiya kandungan bukan anaknya, tapi ia memikirkan nasib anak itu.

Bagaimana nanti dengan identitas AKTA KELAHIRAN anak itu? Pikir Azka.

Ridwan menghela napas. "Keputusan harus dibuat sebelum minggu depan, Ayah enggak mau Mama kamu semakin menjadi-jadi."

Azka mengangguk patuh. Zahra sendiri merasa jika Azka ragu-ragu untuk mengatakan keputusannya.

Apa keputusan itu, akan membuat aku sakit hati lagi? Pikir Zahra.

Melihat Azka yang ragu kembali dengan pilihannya, itu membuat Zahra yakin dengan apa yang ia pikirkan.

Apa aku harus menyerahkan? Atau aku harus berjuang? Pikir Zahra. Pikiran itu terus membuat Zahra bingung kembali dengan keputusannya.

***

Zahra harus gimana?

Nyerah?

Atau

Berjuang?

Jangan lupa untuk komen ya, terima kasih.

Waalaikumsalam.

IMAMKU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang