008/ Nasihat ?

2.7K 148 32
                                    

Bismillah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat pagi semuanya.

Jangan lupa untuk meninggalkan jejak kalian.

Terima kasih.

***

"Jangan pernah lari dari masalah, karena masalah itu diselesaikan bukan ditinggalkan."

***

Zahra memutuskan untuk berkunjung ke panti asuhan. Panti yang sudah ia kenal sejak kecil, karena Panti itu didirikan oleh almarhum kedua orang tuanya

Zahra duduk di bangku depan panti bersama Sari - ibu pengurus panti.

"Nak Zahra, lagi ada masalah ya?" tanya Bu Sari, menyadari raut wajah Zahra yabg terlihat murung sejak kemarin.

"Enggak kok, Bu," elak Zahra.

Bu Sari menghela napas, ia tahu bahwa Zahra tidak ingin berbagi cerita. Perlahan tangan yang sudah keriput itu mengusap pelan punggung Zahra.

Bahu Zahra bergetar kecil, ia kembali menumpahkan air matanya yang tak ingin keluar.

Bu Sari membawa tubuh Zahra ke dalam pelukannya, ia memberikan keterangan kepada Zahra, yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.

"Enggak papa, kalau nak Zahra belum siap cerita sama Ibu. Ibu akan nunggu nak Zahra sampai siap cerita," ujar Bu Sari yang terus mengusap lembut punggung Zahra.

"Maaf Bu, Zahra belum siap cerita."

Bu Sari tersenyum maklum. "Enggak papa," jawab Bu Sari.

Tangisan Zahra mulai mereda, ia melepaskan pelukan dari Bu Sari, menatap wanita yang sudah lansia itu.

"Enggak usah minta maaf, Ibu tau kok , kalau nak Zahra belum siap cerita."

"Tapi apapun masalahnya, jangan pernah lari ya, nak Zahra harus menghadapi semuanya. Kalau nak Zahra lari dari masalah, masalah itu enggak akan pernah ada selesainya," ujar Bu Sari memberikan nasihat.

"Makasih Bu," jawab Zahra.

Bu Sari menjawab dengan senyum manis, "Ya sudah, ayo masuk." Zahra menggukkan kepalanya.

Mereka berdua berjalan menuju pintu Panti, dan berjalan menuju dapur. Mereka berencana untuk membuat menu beberapa menu makanan untuk anak Panti.

"Bu, nanti Zahra pulang ya," ujar Zahra saat mereka memasak di dapur.

"Iya, tapi setelah makan ya. Masa yang masak enggak ikut makan," ujar Bu Sari dengan kekehan ringan.

"Iya Bu," jawab Zahra yang ikut terkekeh ringan.

Setidaknya dengan Zahra yang berada di sini, ia sedikit melupakan masalah yang sedang menimpanya.

***

Zahra tidak akan lari dari masalah, apapun kenyataan nya, Zahra tidak pernah melarikan diri dari masalah.

Disinilah Zahra berdiri, di depan rumahnya dan rumah Azka, rumah ini terlihat sepi, tapi ada satu mobil yang tidak terparkir di garasi.

Mungkin itu mobil sekertaris Mas Azka. Pikir Zahra.

Langkah kaki Zahra menuntun, untuk memasuki rumah itu. Pintu sama sekali tidak tertutup, pintu terbuka lebar.

Samar-samar Zahra mendengarkan suara perempuan, pikiran negatif itu terus menghantui pikiran Zahra.

Suara siapa itu?

"Aku hamil anak kamu, Mas...."

Deg!

Jantung Zahra berpacu sangat cepat, kakinya terasa lemas saat melihat siapa orang berbicara tadi.

Dia...,

Tiya Maulana.

Air mata Zahra, tidak lagi bisa keluar. Air matanya sudah terbuang sia-sia untuk menangisi laki-laki seperti Azka.

Tiya tersenyum penuh kemenangan. Ini akibat jika kamu berani mengabaikan kehadiran ku. Ujar Tiya dalam hati.

Tiya memandang ke arah pintu, di mana disana ada Zahra yang berdiri mematung.

Azka mengikut arah pandangan Tiya, ia membelalakkan matanya terkejut, melihat Zahra berdiri di sana.

Apa Zahra mendengarkan ucapan Tiya? Tanya Azka dalam hati.

Zahra melangkah mendekati mereka berdua. Azka tidak melihat air mata yang turun membasahi pipinya Zahra, tapi yang ia lihat adalah mata yang memandangnya penuh kecewa.

Zahra mendudukkan tubuhnya dengan tenang, seolah-olah tidak mendengarkan pembicaraan mereka.

"Zahra, apa kamu mendengarkan ucapan ku?" tanya Tiya menunjukkan raut wajah takut, yang dibuat-buat.

Zahra menatap Tiya sebentar. "Iya," jawab Zahra.

Azka diam seribu bahasa, ia bingung harus berbuat apa.

"Lalu?" tanya Zahra.

"Kamu akan meminta Mas Azka untuk bertanggung jawab?"

Tiya menganggukkan kepalanya, mana mungkin dia melewatkan kesempatan emas ini.

"Saya tidak ingin anak ini terlahir tanpa sosok Ayah, kita sama-sama perempuan Zahra. Pasti kamu bisa memahami semuanya," ujar Tiya tanpa tau malu, jika dirinya sudah menyakiti hati seorang perempuan.

"Iya aku tau aku perempuan, tapi bagaimana dengan dirimu?"

"Apa kamu pernah memikirkan bagaimana rasa sakit hati seorang perempuan? Saat kamu dengan mudahnya berselingkuh dengan lelaki yang memiliki istri?"

"Apa kamu tidak memikirkan bagaimana kondisi istri dari selingkuhan mu?"

"Jika kamu bisa memahami perasaan itu, maka kamu tidak mungkin akan menjadi selingkuhan lelaki yang memiliki istri."

"Satu lagi, kamu meminta aku untuk memahami perasaan mu, tapi kamu sendiri saja tidak bisa memahami perasaan ku."

Skakmat!

Tiya mati kutu, rasanya ia ingin menyakar wajah Zahra sekarang juga.

"Untuk masalah anak mu, entah itu anak Mas Azka atau bukan. Aku dan Mas Azka akan tetap merawatnya, aku yang akan bertanggung jawab atas kehamilan mu, aku tidak akan membiarkan Mas Azka memadu ku," ujar Zahra menekankan kata anak Mas Azka atau bukan.

"Pahamilah Tiya, tidak ada seorang perempuan yang ingin dimadu, dan itu termasuk aku."

"Pahami perasaan orang lain sebelum kamu ingin dipahami perasaan mu," ujar Zahra panjang lebar, membuat Tiya tidak berkutik sama sekali.

Wajah Tiya merah padam, ia tidak suka dipermalukan seperti ini.

Tapi...,

Ucapan seseorang yang baru saja datang, membuat Tiya tersenyum penuh kemenangan.

***

Terima kasih sudah memberikan dukungan kepada saya, melalui vote dan komen.

Waalaikumsalam wr wb.

IMAMKU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang