Saka dan Mika berjalan keluar dari kamar setelah berhasil menenangkan Taha dan membuat si bungsu kembali tertidur, walau tidurnya tetap terlihat tidak nyaman.
Keduanya duduk disofa ruang keluarga sambil beradu dengan pikiran masing-masing.
"Bang..." Mika membuka suaranya, dan membuat Saka menatap kearahnya.
"Apa, Mik?" Jawab Saka.
"Taha... emang suka kayak gitu?" Tanya Mika.
"Em... itu pertama kalinya. sebelumnya reaksi telinga berdenging emang masih ada, tapi Taha nggak pernah sampai nangis kayak tadi." Saka.
"Terus, kenapa? kok bisa? dan gak ada hal yang memancing trauma sama sekali di kamar gue. kalau ada darah, mungkin traumanya bisa bereaksi. tapi ini? perasaan kamar gue baik-baik aja, Bang?" Mika bertanya secara bertubi.
Saka menghela napasnya. ia sendiri tidak tahu harus menjawab pertanyaan Mika dengan apa, karena ia memang tidak tahu pasti apa yang terjadi pada Taha tadi.
"Udah malem, Mik. kita bicarain besok aja... oh ya, Kak Kina mau kesini kan besok?" Saka.
"Kak Kina... bakal bawa ayah?" Mika bertanya balik pada Saka.
"Ayah? kenapa tiba-tiba? kemarin katanya lo udah nggak mau kerjasama bareng ayah lagi?" Saka.
"Enggak... kayaknya gue udah mulai bisa nerima ayah lagi deh, Bang." Mika.
"Hah?" Saka terkejut bukan main saat Mika mengucapkan hal itu padanya.
"Kenapa?"
"Tiba-tiba banget, Mik?"
"Hem... gak tau sih, pengen aja. gue merasa gue udah bisa maafin semua hal yang terjadi dimasa lalu." Mika.
"Mika... jangan dipaksain kalau lo belum siap. kalau lo ngelakuin ini demi jaga perasaan Taha, jangan dulu, Mik. Taha bisa paham sama lo, kok. lo gak harus terburu-buru, gue tau memaafkan seseorang itu butuh waktu yang cukup lama." Saka.
Mika terdiam sambil menatap kearah Saka. ia teringat dengan pembicaraan Saka dan Taha pada saat Mika baru mengusir ayah keluar dari ruang rawat. Mika tahu kedua saudaranya itu dapat memahaminya dan memberinya banyak waktu. hanya saja, Mika merasa bersalah jika ia terus mengulur waktu dan membuat kedua saudaranya harus menunggu lama.
"Bang Saka... gue harus apa..." Suara Mika terdengar parau.
Saka mengusap halus pundak milik Mika sambil tersenyum tipis. "Jangan terburu-buru dulu. selain menjaga perasaan orang, lo juga harus menjaga perasaan diri sendiri."
"Gue... gue merasa bersalah sama lo dan Taha. gue tau kalian pengen banget bahagia sama ayah lagi, tapi cuman karena gue yang belum bisa nerima ayah, kalian jadi harus nanggung semuanya. gue udah berusaha buat siap, tapi sampai sekarang bahkan gue belum siap." Mika berucap pada Saka dengan mata yang berkaca.
"Enggak, Mika. jangan gitu... gue gak pernah nuntut apapun dari lo. lo punya perasaan sebagai manusia, dan gue gak mungkin maksa perasaan lo diubah cuman demi diri gue sendiri." Saka.
Mika menunduk, menahan tangisnya. "Apa yang ayah lakuin ke gue bukan cuman kena ke fisik, tapi juga mental. tiga tahun udah terlewati tapi lukanya masih ada. gue masih inget semua yang ayah lakuin ke gue. gue benci sama ayah, bang, gue benci..." Suaranya terdengar gemetar, menyelipkan banyak rasa sakit di antara ucapannya.
Saka menatap sedih kearah Mika. ia tidak pernah tahu bahwa luka yang Mika miliki sedalam dan sesakit itu.
"Mika, gue minta maaf..." Entah, hanya kata itu yang dapat keluar dari bibir milik Saka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bernyawa.
RandomIni adalah bukti bahwa seluruh ikatan persaudaraan pasti pernah diuji. ー feat Serim Park, Minhee Kang, Taeyoung Kim. 𝘄𝗮𝗿𝗻𝗶𝗻𝗴 ⚠ some harsh words. violence, car accident. © AHNQUENCE. 2021, all right reserved.