BREATH (1)

2.9K 262 6
                                    

Agency Seoul Metropolitan Police

Gedung kepolisian Seoul tampak lebih sibuk dari hari-hari sebelumnya. Meningkatnya tindak kejahatan di kota itu membuat para anggota kepolisian bekerja lebih ekstra. Memberikan perlindungan dan menegakkan hukum adalah kewajiban yang harus mereka emban.

Seorang gadis bersurai hitam tampak serius menatap layar monitor. Di sana terlihat seorang pria yang tengah di interogasi oleh satu anggota polisi.

"Sekalipun aku membusuk di penjara, aku tak akan pernah mengatakannya!"

Suara pria yang tengah di interogasi. Kasus pengedaran barang terlarang yang sejak dulu tak kunjung usai. Dari banyaknya kasus yang harus ditangani, hanya kasus narkoba yang menurut polisi cukup sulit. Setiap salah satu dari mereka tertangkap, mereka hanya seorang pengedar dalam lingkup kecil. Menginterogasi satu persatu dari mereka tak pernah membuahkan hasil. Para pengedar itu cukup setia pada bos besar mereka.

"Kau benar-benar menginginkan itu?" ucap polisi pria yang tampaknya sudah emosi karna tak kunjung mendapat jawaban.

Tangan gadis bersurai hitam itu terangkat, memberi isyarat pada polisi pria untuk menyudahi sesi interogasi.

Polisi itu menghela nafas seraya menatap gadis di balik cermin pembatas ruangan.

Satu cup kopi hangat mengalihkan perhatian seorang gadis yang tampak fokus pada layar laptop. Ia menatap kopi itu lalu beralih menatap seseorang yang menyodorkannya.

"Jangan bekerja terlalu keras Nona, kau butuh mengistirahatkan otakmu."

Choi Jisoo, gadis itu menerima kopi pemberian partner kerjanya.

"Apa kau masih memikirkan pengedar tadi?"

Gadis itu tampak mengangguk.

"Jinyoung-ah, ku pikir mereka sangat setia pada bos mereka."

Kedua partner itu cukup mengagumi kesetiaan para tersangka pengedar narkoba pada bos besar mereka. Bahkan ancaman pidana seumur hidup tak membuat mereka buka mulut. Entah apa yang sudah mereka terima dari pekerjaan haram itu.

"Mereka terlibat perjanjian mungkin. Di beri jaminan hidup, atau jaminan untuk keluarga mereka."

Jisoo tersenyum tipis, apa gunanya jaminan hidup jika berakhir di penjara.

.

.

.

Menatap sebuah figura foto tampaknya tak membuat gadis bermata kucing itu bosan. Foto yang menampilkan wajah kedua orang tuanya. Tepat dua tahun yang lalu ia dan saudarinya harus kehilangan sosok Ibu. Meninggalkan dirinya dan ketiga saudarinya yang lain. Belum sempat luka kehilangan itu membaik, sang Ayah ikut menyusul pergi.

Memiliki kedua orang tua dengan profesi yang cukup menegangkan. Mengabdi untuk negara tak peduli jika nyawa menjadi taruhan. Kedua orang tua gadis bermata kucing itu harus gugur saat mengemban tugas negara. Menjadikannya gadis yatim-piatu yang tak akan bisa kembali merasakan kasih sayang orang tua.

"Saat kami pergi bertugas, anggaplah kami sudah mati. Jangan menangis apapun yang terjadi saat kami kembali."

Kata-kata yang selalu gadis itu ingat setiap kedua orang tuanya pergi bertugas. Bahkan saat mereka kembali dalam keadaan tak bernyawa, gadis itu sama sekali tidak menangis.

Tapi percayalah, hatinya benar-benar hancur setiap kali mengingat kenyataan pahit itu.

"Dokter Jennie, pasien darurat di ruang UGD."

Gadis itu segera beranjak saat seorang perawat mendatanginya. Ia segera melangkah keluar dari ruangannya menuju UGD.

"Tidak ada Dokter jaga di sana?"

BREATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang