BREATH (31)

3.6K 249 41
                                    

Dua tahun berlalu.

.

.

.

Seorang gadis terlihat duduk di sisi tempat tidur seraya memperhatikan sang kakak yang sibuk memakaikan syal di lehernya. Senyum hangat terus di tampilkan oleh kakaknya.

"Udara sedang dingin, jadi kau harus tetap hangat." ucap gadis berpipi mandu lalu memakaikan beanie berwarna abu-abu di kepala adiknya.

Senyum tipis sang adik tunjukkan pada sang kakak. Itu mungkin lebih baik dari pada tak tersenyum sama sekali seperti hari-hari sebelumnya.

"Kajja kita turun, mereka sudah menunggu."

Keduanya berjalan beriringan keluar dari kamar. Di halaman luas mansion, semua anggota keluarga Choi tampak sudah bersiap. Mereka ikut tersenyum pada dua gadis yang baru saja keluar dari pintu utama.

Seorang wanita paruh baya tampak berjalan menghampiri kedua putrinya. Ia beralih menatap si bungsu, tersenyum hangat pada gadis yang sudah ia anggap seperti putrinya sendiri.

"Satu mobil dengan Eomma eoh."

Bungsu Choi terlihat mengangguk, ia masih setia menatap wajah cantik wanita di hadapannya. Wanita yang sudah dua tahun ini memperlakukannya layaknya seorang anak, menyayanginya dengan tulus meski dirinya tak terlahir dari rahimnya.

Dua tahun berlalu, setelah berbagai kejadian mengerikan mereka lewati. Duka dan air mata yang benar-benar menghancurkan hati mereka. Bukan hal mudah untuk menata kembali kehidupan seperti sekarang. Dan dua tahun bukanlah waktu yang  sebentar untuk mereka mampu mengikhlaskan.

Tahun kedua peringatan hari kepergian salah satu anggota keluarga Choi. Sekali lagi mereka harus kembali merasakan sakitnya kehilangan. Satu orang yang pada akhirnya harus pergi menyusul dua saudarinya yang sudah lebih dulu pergi.

'CHOI JISOO'

Nama yang tertulis di batu nisan tepat di sebelah makam Sojung.  Sudah dua tahun, dan rasanya masih begitu menyakitkan.

Pasangan suami istri dengan empat putri mereka yang tersisa. Berdiri di hadapan empat makam yang tampak begitu terawat. Jennie terlihat lebih dulu mendekat, ia berjongkok tepat di sisi makam Jisoo.

"Kami datang Unnie." ucap Jennie seraya tersenyum. Tangannya terulur mengusap lembut batu nisan kakaknya.

Sejenak menoleh pada makam Sojung, Yerin, dan Bae Suzy. Tak pernah terbayangkan dalam benaknya jika ia akan datang ke tempat itu untuk Jisoo, kakak sulungnya yang meninggal dua tahun lalu.

"Kau pasti sudah bertemu mereka." ucap Jennie kembali.

Lisa yang berdiri di sebelah Chaeyoung tampak mendongak. Ini bukan kali pertama ia datang. Namun air matanya selalu saja mendesak ingin keluar.

Perasaan Chaeyoung tak beda jauh dengan adik kembarnya. Hatinya selalu sakit mengingat kebersamaannya dengan Jisoo. Kepergian sang kakak yang terasa begitu cepat untuknya. Bayangan akan kehidupan keluarganya yang lebih baik seolah hanya mimpi. Hari-harinya sungguh buruk setelah Jisoo pergi meninggalkannya.

Mereka bisa melihat Jennie yang berusaha menahan air matanya agar tak jatuh. Berkali-kali gadis mandu itu mendongakkan kepalanya.

"Tidak, aku tidak menangis. Aku hanya sangat merindukanmu." ucap Jennie. Ia berbicara seolah Jisoo mendengar ucapannya. Yang ia tau Jisoo tak akan suka melihat adik-adiknya menangis.

Jennie tampak mengusap pipi kanannya. Di sana bekas tamparan sang kakak, untuk yang pertama dan terakhir. Jennie tak menyangka jika hari itu, untuk pertama dan terakhir kalinya ia melihat kemarahan yang begitu besar di wajah Jisoo. Ia bahkan sempat berpikir, ia rela di tampar berkali-kali asal Jisoo masih tetap bersamanya.

BREATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang