"Mas Bayu, kita ke SMP Bantul pake mobilku aja. Daripada berangkat sendiri-sendiri."
Wajah Bayu terangkat dari lembar-lembar skripsi mahasiswa. Di depan mejanya berdirilah Della, tampak rapi dan elegan dengan setelan blazer dan rok hitam.
Bayu melihat pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanan. Sekitar satu setengah jam lagi, ia dan Della akan mengisi pelatihan di SMP Bantul untuk kepentingan pengabdian masyarakat.
"Boleh, Del. Tapi aku yang nyetir ya." Bayu menyetujui tawaran Della. Memang tidak praktis jika ia berangkat sendiri naik motor, padahal ada mobil Della yang bisa mengangkut lebih dari satu penumpang. Toh, ini proyek mereka berdua.
Bayu menutup skripsi yang sedang ia periksa setelah membubuhkan catatan bagian mana saja yang harus diperbaiki oleh mahasiswa yang bersangkutan. Kemudian ia membereskan tas kerja, meraih ponsel dan mengirim chat pada Ratna. Sekedar memastikan kegiatan istrinya.
Bayu : Aku mau otw ke Bantul sama Della. Pengabdian masyarakat.
Ratna : Hati-hati.
Bayu : Kamu jadi ke PE?
Ratna : Ya.
Bayu : Kamu juga hati-hati.
Ratna : Ya. Mau makan apa untuk makan malam?
Bayu : Udah bisa masak?
Ratna : Dicoba.
Bayu : Masak yang gampang aja. Apa pun yang kamu masak, pasti aku makan. Udah dulu ya. Udah ditunggu Della.Waktu bergulir cepat. Tak terasa satu bulan lebih sudah berlalu dari hari mereka kehilangan Yuna. Hidup berlanjut. Bayu dan Ratna kembali menjalani rutinitas. Ratna pun mulai mengajar lagi hari ini. Meski Bayu yakin kegiatan itu kini dijalani dengan rasa yang berbeda.
Bayu menyimpan kembali ponselnya, lalu mencangklong tas di bahu. "Ayo, Del. Mana kunci mobilmu?"
Della menyerahkan kunci mobilnya dan dengan hati berbunga-bunga berjalan di samping Bayu. Bermobil berdua dengan Bayu pulang pergi adalah kesempatan yang baru kali ini ia dapatkan. Tidak ada orang lain. Tiada pengganggu.
"AC mobilmu kurang dingin nih, Del," kata Bayu setelah mobil melaju meninggalkan gerbang kampus UPH. Tangannya memencet tombol AC pada suhu 19 derajat tetapi udara di dalam mobil masih kurang sejuk.
"Memang, Mas. Aku udah kerasa sejak minggu lalu, tapi aku belum tahu bengkel AC yang recommended. Mas Bayu tahu?"
"Aku nggak punya mobil, Del. Mana aku tahu, tapi coba nanti aku tanyakan ke saudaraku."
"Kenapa Mas Bayu nggak beli mobil aja?"
"Belum cukup duitnya. Nantilah, kalau KPR rumah sudah lunas."
"Nggak tertarik beli mobil second yang lebih terjangkau, Mas?"
"Menurut Ratna, mobil belum jadi kebutuhan utama buat kami. Dan kupikir-pikir bener juga, sih. Kami juga masih berdua. Pergi masih bisa naik motor. Kalau butuh naik mobil, ada jasa taksi online. Malah kami nggak perlu keluar duit buat perawatan rutin dan pajak kendaraan. Hemat."
Mendengar nama Ratna disebut, Della pun kesal. "Mas Bayu takut ya sama istrinya?"
"Bukan takut, tapi terlalu cinta."
Balasan Bayu jelas membuat Della kian dongkol. "Tapi bagi cowok, mobil kan bisa untuk menaikkan prestise, Mas."
Bayu mengangguk. Della memang benar. Sebagian kaum adam membeli mobil bukan karena kebutuhan, tetapi karena keinginan. Kendaraan roda empat itu memang lekat dengan imej mapan. Simbol hidup yang sejahtera. Namun, Bayu punya pemikiran yang berbeda.
"Aku nggak butuh prestise, Del. Buat apa, coba? Aku udah nggak perlu menggaet cewek, atau bikin calon mertua terkesan."
Bayu nyaman mengendarai motor. Lebih hemat dan cepat di jalan. Bodi motor yang ramping, memungkinkannya menyelinap di sela-sela kendaraan lain saat lalu lintas padat. Ketika pergi berdua dengan Ratna pun, Bayu menyukai sensasi didekap erat oleh sang istri dari belakang. Bahkan mereka selalu mudik ke Purworejo dengan mengendarai motor. Mertuanya sama sekali tidak pernah mengeluh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Sisimu
RomanceSekuel Tiga Sisi Warning: Baca ini jangan ngamuk, karena bab sudah tidak lengkap. Perjalanan rumah tangga tidak mungkin tanpa ujian. Apa yang kita lakukan di masa lalu, akan kita tuai akibatnya di masa depan. Lima tahun menikah dengan Bayu, Ratna...