Sisi 1

15.2K 754 191
                                    

Bayi laki-laki di dekapan lengan Ratna menggeliatkan tubuh dengan mata yang masih memejam. Kedua tangan dan kakinya diangkat, seolah tengah meregangkan tubuh yang pegal. Wajahnya pun berubah merah padam hingga bintik-bintik putih di hidung terlihat mencolok. Hal itu berlangsung selama beberapa detik lalu si bayi kembali tenang. Ratna tersenyum. "Faiz nih, lagaknya kayak pegel banget. Padahal kerjaan dia cuma bobok."

"Bayi emang sering begitu." Fifi ikut tersenyum dari tempatnya duduk. Di tepi ranjang, ibu muda itu tengah sibuk memeras ASI. "Lumayan nih, dapat 150 mili sekali pumping." Fifi meletakkan breast pump di atas nakas lalu mengambil plastik khusus untuk menyimpan ASIP dari laci teratas dan memindahkan air susu yang barusan ia perah ke dalam plastik tersebut, setelah lebih dulu menulis tanggal dan jam pemerahan. "Aku simpan ASIP ke freezer dulu."

Ratna mengangguk, mempersilakan Fifi keluar dari kamar. Perhatiannya tengah fokus pada wajah Faiz yang lelap dalam tidur. Menggendong bayi di lengan seperti ini tak pelak menghadirkan kerinduan pekat dalam hatinya. Kapan ia bisa menimang bayinya sendiri, buah cintanya dengan Bayu?

Putranya sudah berapa, Mbak?
Gimana, udah isi?
Belum hamil juga?

Pertanyaan-pertanyaan sejenis sudah sering Ratna dengar. Ada yang diucapkan dengan nada biasa saja, ada yang sarat keprihatinan, bahkan ada pula yang mengejek.

Ratna mengelus lembut pipi Faiz, tetapi rupanya gerakan itu dianggap menganggu oleh si bayi, hingga Faiz pun menangis. Ratna menimang dan mengayun tubuh bayi yang mungil nan montok, sebagai upaya menenangkan bayi itu. Namun, Faiz malah membalas dendam atas tidurnya yang terganggu dengan cara buang air kecil dan membasahi kemeja Ratna.

"Aku diompolin Faiz," lapor Ratna begitu Fifi kembali ke kamar. Ratna meletakkan anak sahabatnya itu ke atas kasur yang dilapisi perlak.

"Bagus dong. Biar cepat ketularan punya bayi," sahut Fifi sembari mengambil popok kain baru lalu mengganti popok anaknya yang basah.

"Tiga tahun lalu, aku juga diompoli Farah, tapi sampai sekarang aku belum hamil juga." Ratna mengingatkan kembali peristiwa yang terjadi saat ia datang menengok Farah yang baru lahir, tiga tahun silam.

"Mungkin pipisnya Farah kurang sakti," jawab Fifi asal. Sudah menjadi sifat ibu muda ini untuk mudah percaya pada mitos, terutama yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. "Atau pada dasarnya kamu emang nggak percaya mitos, jadi nggak mempan deh ke kamu," imbuhnya.

"Namanya aja mitos, Fi. Udah sepantasnya nggak dianggap benar."

"Kamu nggak mau periksa ke dokter?" Fifi menatap Ratna serius, meski tangannya bergerak mengangkat Faiz ke dalam gendongan. Jika mengingat pembawaan Fifi yang cenderung serampangan, sedikit sulit dipercaya wanita itu bisa menjadi ibu yang penuh kelembutan.

"Belum kepikiran ke sana," jawab Ratna. "Program hamil pasti mahal juga, kan?" Otak Ratna otomatis mengkalkulasi; gajinya dan gaji Bayu ditambahkan, lalu dikurangi angka untuk cicilan KPR, kebutuhan bulanan, asuransi. Oh, hanya tersisa sedikit. Bagaimana jika program hamilnya butuh waktu berbulan-bulan sampai berhasil?

"Tapi udah lima tahun, Rat. Biar ketahuan masalahnya apa. Sebelum usiamu tambah tua, nanti malah semakin sulit hamil. Beberapa bulan lagi kamu masuk kepala tiga, lho."

"Iya, sih." Itu juga yang membuat Ratna semakin gundah. Secara biologis, produktifitas wanita dibatasi waktu. Kehamilan pertama di usia 35 ke atas tentu semakin berisiko.

Di Sisimu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang