Bisakah anak yang satu menggantikan kepergian anak yang lainnya? Apakah memiliki anak lagi bisa menghapus rasa kehilangan akibat ditinggal anak yang lebih dulu berpulang? Ratna tidak yakin. Duka karena kehilangan Yuna pasti akan membekas dalam dan mungkin tidak akan pernah hilang.
Dua hari berikutnya yang Ratna lewatkan di rumah sakit, ia lalui dalam tangis dan kebisuan. Kehadiran orangtua, sahabat dan sanak saudara pun tidak berhasil menghiburnya. Ratna tidak butuh mereka, yang ia butuhkan adalah putrinya.
"Rat, aku suapin makan ya." Fifi menawarkan setelah melihat nampan berisi jatah sarapan masih utuh tak tersentuh, padahal sebentar lagi jam makan siang tiba.
Ratna menggeleng. "Aku nggak lapar."
"Kamu habis dioperasi, harus banyak makan supaya bekas operasinya cepat sembuh. Telur rebusnya saja ya. Aku kupasin." Fifi terus membujuk. Namun, ketika bujukannya tak jua membuahkan hasil, sahabat Ratna itu pun hanya mendesah dan mengangkat bahu.
Yunita, ibu Ratna, mengambil alih. Ia duduk di tepi ranjang, di dekat kaki Ratna, sembari memangku nampan makanan. "Nduk, ayo makan dulu, supaya badanmu cepat pulih," bujuknya sambil menyodorkan sesendok nasi dengan sepotong wortel dari sayur sop.
Pulih? Untuk apa? Apa gunanya ia sembuh jika bayinya malah meninggal? Ratna menggeleng dan menepis sendok yang disodorkan ibunya. Air mata kembali hadir di pelupuk mata. Dalam 48 jam terakhir, tak terhitung sudah berapa liter air mata yang ia tumpahkan.
"Ibu bilang kalau aku selametan 4 bulanan, aku dan bayiku akan selamat, tapi nyatanya apa? Aku kecelakaan dan Yuna meninggal."
Yunita bertukar pandang dengan suaminya, Danang, yang duduk di sofa penunggu. Ratna memang lebih dekat dengan ayahnya, maka Yunita meminta bantuan Dhanang untuk menjelaskan.
"Nduk, selametan itu kan cuma ikhtiar kita sebagai manusia. Usia anakmu itu sudah ditentukan oleh Tuhan. Memang jatahnya hanya enam bulan di perutmu. Sabar, sing ikhlas. Bapak tahu ini sulit, apalagi kamu sudah lama menunggu kesempatan hamil. Tapi kamu juga harus sadar bahwa takdir Tuhan itu nggak bisa diganggu gugat. Meskipun kamu nggak bawa motor sendiri dan nggak kecelakaan, Yuna tetap akan dipundhut dengan cara lain."
Ratna menangis tersedu-sedu. Mengapa takdir menghukumnya sekejam ini? "Ratna salah apa, Pak? Kenapa Tuhan nggak kasih kesempatan Ratna menjadi ibu?"
"Rat, dokter nggak bilang kalau kamu nggak bisa hamil lagi. Kesempatan itu masih ada," komentar Yunita.
Ratna pesimis. Untuk mengupayakan kehamilan yang pertama saja, ia harus bersusah payah mengikuti program hamil pada dokter spesialis. Ia tidak yakin batinnya siap mengikuti serangkaian terapi lagi untuk mendapatkan kehamilan berikutnya.
Bagaimana jika gagal lagi? Ratna akan mengecewakan banyak orang, selain tentu dirinya sendiri. Suaminya, orangtuanya, mertuanya. Ratna mencoba membayangkan reaksi ibu mertuanya. Mama Endah sudah sangat mengharapkan menggendong cucu dan sekarang sang cucu telah meninggal karena kecerobohan Ratna. Bagaimana jika ibu Bayu tidak bisa memaklumi dan justru menyalahkannya?
"Makanya kamu harus cepat pulih, supaya bisa segera isi lagi," imbuh Yunita, mencoba memberi semangat. Namun, Ratna hanya menggeleng dan melanjutkan tangisnya.
***
"Bay, aku mau ke kuburan Yuna," ucap Ratna lirih pada suaminya yang sedang mengemudi. Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, hari ini Ratna diperbolehkan pulang. Gian sengaja meninggalkan mobilnya di rumah sakit, agar bisa digunakan oleh Bayu untuk bolak-balik rumah, kampus, rumah sakit.
Bayu menoleh sebentar, mencoba membaca air muka istrinya, tetapi Ratna sedang memandang ke luar jendela. Tak ada petunjuk yang bisa Bayu tangkap.
"Besok saja ya? Kamu istirahat saja hari ini." Bayu mencoba membujuk. Ia takut, secara psikis, Ratna belum siap bertemu Yuna. Meski hanya pusaranya saja.
"Aku udah banyak istirahat selama di rumah sakit," kukuh Ratna. "Please, Bay...," pintanya memelas. "Aku sama sekali belum pernah ketemu Yuna. Bahkan saat dia dikeluarkan dari perutku pun, aku dalam keadaan nggak sadar."
Pada akhirnya, Bayu tak berdaya menolak permintaan itu. Ia lalu membelokkan mobil ke kompleks pemakaman, membeli sekeranjang bunga pada seorang pedagang di depan pintu gerbang, lalu menuntun Ratna menuju kuburan kecil yang tanahnya masih basah dan menggunung.
Langkah Ratna terseok, lututnya mendadak kehilangan kekuatan. Ia duduk bersimpuh di samping batu nisan anaknya. Air mata luruh begitu saja ketika membaca tanggal lahir dan tanggal kematian Yuna adalah satu tanggal yang sama. Putrinya dilahirkan dalam keadaan tak bernyawa.
"Yuna, ini Mama." Hanya itu yang terucap dari bibir Ratna. Selebihnya, ia terus menangis di atas pusara anaknya.
***
"Bay, wajah Yuna seperti apa?"
Pertanyaan yang dilontarkan Ratna menjelang mereka tidur, sedikit mengejutkan. Bayu merentangkan lengan kiri, isyarat agar Ratna merapatkan tubuh padanya.
Ratna bergeser, lengan kokoh Bayu menjadi bantalan bagi kepalanya. Cuddling selalu menjadi aktivitas yang menentramkan. Momen bagi mereka untuk bertukar cerita tentang apa saja, biasanya tentang hal-hal yang menyenangkan. Ini kali pertama, pillow talk mereka diisi oleh kenangan yang memilukan.
Bayu memejamkan mata, mencoba mengingat detail wajah mendiang putri kecil mereka. Tidak ada foto yang mengabadikan sosok mungil Yuna. Lagipula, peristiwa semenyedihkan itu, memang tidak seharusnya dikenang berlebihan. Lebih baik cepat dilupakan agar tidak membebani langkah ke depannya.
"Yuna sangat cantik," ucap Bayu pada akhirnya seraya membelai rambut Ratna. "Hidungnya kecil dan mancung. Kulit Yuna putih, sama seperti kamu. Rambutnya masih sedikit, tapi warnanya hitam legam. Dia sempurna, persis mamanya."
"Dia pasti akan jadi gadis yang cantik. Seandainya saja usianya lebih panjang," bisik Ratna dengan suara tersekat. Ratna membenamkan wajah di dada Bayu. Sebentar saja, Bayu merasa kausnya basah oleh air mata istrinya.
"Katanya, janin yang gugur atau bayi yang meninggal itu bisa membawa orangtuanya ke surga, menjadi tameng bagi orangtuanya dari api neraka. Yang harus kita lakukan hanya bersabar. Tabah karena Tuhan sedang menguji kita. Yuna akan jadi bidadari bermata jeli yang menyongsong kita di surga. Insyaallah."
Mungkin Bayu tidak sesaleh para uztad yang sering muncul di layar kaca, atau para artis yang telah hijrah dengan dahi kehitaman dan jenggot menghias dagu, tetapi Bayu pernah mendengar hadis yang meriwayatkan demikian. Mereka harus ikhlas dalam menerima qada dan qadar Yang Maha Kuasa.
Ikhlas. Satu kata sederhana yang nyatanya sulit sekali dilakukan.
"Sabar kan sulit, Bay." Suara Ratna serak, diwarnai isakan.
"Aku tahu. Tapi kita lalui ini bersama-sama. Banyakin berdoa, supaya Tuhan mengganti kesedihan ini dengan kebahagiaan yang berlipat di masa depan. Suatu saat, duka ini pasti akan hilang," ujar Bayu meyakinkan.
Kehidupan nyata tidak akan sekejam cerita sinetron, bukan? Di mana kesedihan dan kemalangan datang bertubi-tubi. Bayu yakin ada hikmah di balik kehilangan ini, yang akan mereka pahami kelak di waktu yang tepat.
----------
Masih mewek, gaes. 🥲
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Sisimu
RomanceSekuel Tiga Sisi Warning: Baca ini jangan ngamuk, karena bab sudah tidak lengkap. Perjalanan rumah tangga tidak mungkin tanpa ujian. Apa yang kita lakukan di masa lalu, akan kita tuai akibatnya di masa depan. Lima tahun menikah dengan Bayu, Ratna...