"Sebenarnya pilihanmu gampang, kok. Terapi ke dokter spesialis infertilitas atau nurut saran ibu mertuamu. Minum jamu."
Fifi mencerocos setelah Ratna selesai bercerita tentang kunjungan mertuanya. Di matanya, saran dari Endah sama sekali tidak salah. "Kenapa sih kamu takut banget ke dokter?" selidik Fifi.
Ratna menimang Faiz yang sedang ia gendong. Bayi laki-laki itu sangat montok. Berat badannya sudah naik dua kali lipat dari beratnya saat lahir. Faiz mengulum ibu jari sampai liurnya belepotan di pipi.
"Kamu nggak ngerti sih, Fi. Kalau aku ternyata mandul, gimana? Nggak bisa kasih anak ke suami itu rasanya kayak gagal sebagai istri. Jadi wanita nggak sempurna."
Perempuan yang tidak punya masalah dalam hal kesuburan pasti tidak mengerti perasaan itu. Ratna bahkan sering merasa iri pada wanita-wanita yang hamil di luar nikah. Mereka berbuat dosa, tetapi Tuhan justru menganugerahkan bayi. Lihat bagaimana para pezina itu memperlakukan anugerah Tuhan! Bayi-bayi yang tak bersalah digugurkan, atau dilahirkan kemudian dibuang. Yang paling buruk, mereka dibunuh dengan keji.
"Itu anggapan masyarakat primitif, Rat. Lagian ilmu kedokteran sekarang udah maju. Banyak metode untuk mengatasi kasus infertilitas. Optimis dong."
Oh, Ratna tahu. Ada metode inseminasi buatan dan bayi tabung. Kedua metode itu tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bagus jika langsung berhasil, tetapi jika gagal, masyarakat menengah sepertinya mana bisa berkali-kali mencoba tindakan bayi tabung. Uang dari mana?
"Ikhtiar mendapatkan anak itu bukan cuma kalian bercinta sampai ranjang patah," lanjut Fifi. "Kalau kamu memang nggak mau terapi ke dokter ya dinikmati aja masa-masa berduaan sama Bayu. Malah badanmu bisa tetep kencang. Kalau punya anak kan payudara dipastikan nggak akan seindah dulu. Belum lagi pinggul bakalan melebar."
"Masa kebahagiaan karena kehadiran anak dibandingin sama hal-hal kayak gitu, Fi."
"Kamu belum tahu gimana susahnya ngilangin lemak pasca melahirkan." Fifi mencubit lipatan lemak di perutnya, sebelum berdiri dan mengambil alih Faiz dari tangan Ratna. Bayi itu sepertinya ingin menyusu.
"Tapi bener lho. Diagendakan pergi ke dokter. Paling nggak, kamu bisa ngecek kondisi rahim. Kalau ada penyakit kan bisa ketahuan. Teman kantorku ada yang lama belum hamil juga, setelah ke dokter ternyata dia ada kista." Sekali lagi Fifi berusaha meyakinkan sahabatnya.
Ratna bergidik. Semoga kondisinya tidak seburuk itu. "Nanti deh aku pikirin lagi."
"Ojo kesuwen le mikir. Selak tuwo." (Jangan terlalu lama berpikir, keburu tua.) Fifi tanpa rikuh membuka kancing daster dan mulai menyusui Faiz, bersamaan dengan terdengarnya bunyi langkah berlari dari arah kamar.
"Tante, aku udah bisa nulis angka satu sampai sepuluh, lho." Farah, kakak Faiz, menghambur ke pangkuan Ratna dan mengacungkan selembar kertas yang dipenuhi angka berwarna-warni.
"Wah, Farah pinter banget," puji Ratna, meskipun ia lihat angka tiga menghadap ke arah yang salah dan angka delapan ditulis dengan cara menumpuk dua huruf O kecil.
"Tante, bilang sama Om Bayu ya... ikan cupang yang dibeliin Om Bayu mati. Aku mau minta dibeliin lagi."
Ratna membelai rambut keriting Farah. Gadis empat tahun itu benar-benar nge-fans pada Bayu. "Nanti Tante sampaikan ke Om Bayu, ya. Mau dibeliin berapa?"
"Lima." Farah mengacungkan kelima jari tangan kanannya disertai senyum lebar. Menggemaskan sekali.
"Oke, deh," sahut Ratna menyetujui. "Sekarang Tante pulang dulu, ya. Supaya bisa bilang sama Om Bayu." Ratna meraih tasnya di meja lalu pamit pada Fifi. "Aku balik sekarang, belum beresin kamar buat Gita nih. Nanti malam dia datang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Sisimu
RomanceSekuel Tiga Sisi Warning: Baca ini jangan ngamuk, karena bab sudah tidak lengkap. Perjalanan rumah tangga tidak mungkin tanpa ujian. Apa yang kita lakukan di masa lalu, akan kita tuai akibatnya di masa depan. Lima tahun menikah dengan Bayu, Ratna...