Ratna mencium takzim punggung tangan Jati, ayah mertuanya. Lalu melakukan hal yang sama pada Endah, ibu mertuanya. Sepasang suami istri itu baru saja tiba di rumahnya setelah tujuh jam perjalanan dengan kereta dari Jakarta.
"Masuk, Ma. Istirahat dulu, Ratna buatkan minum."
Bayu tadi menjemput orangtuanya di Stasiun Tugu dengan taksi online. Suami Ratna itu kini sibuk menurunkan barang bawaan Jati dan Endah dengan dibantu driver taksi. Ada tiga koper besar dan beberapa kantung plastik berisi oleh-oleh. Bayu membawa koper-koper orangtuanya ke dalam kamar tamu.
Tak lama, Ratna muncul kembali dengan membawa baki berisi teh hangat dan pisang goreng. Menyuguhkannya di meja ruang tengah, di mana kedua mertuanya duduk melepas lelah.
"Papa mau langsung mandi?" tanya Ratna.
"Boleh," jawab Jati.
"Mama juga, deh. Setelah Papa. Gerah banget. Oya, Ratna...itu oleh-olehnya yang satu plastik buat Mamanya Gian, ya." Endah menimpali.
"Iya, Ma. Nanti biar Bayu yang antar ke rumah Budhe."
"Jangan. Biar Mama dan Papa yang antar ke sana, setelah makan malam nanti."
Orangtua Bayu kemudian bergantian membersihkan diri. Merasa segar setelah mandi, barulah mereka kembali ke ruang tengah menikmati kudapan yang disiapkan Ratna. Bayu ikut bergabung bersama orangtuanya, menanyakan kondisi kesehatan mereka dan kesibukan di Jakarta.
"Omong-omong, Papa Mama di Jogja dua hari, tapi kopernya kayak orang mau naik haji aja. Banyak banget," sindir Bayu dengan nada bercanda.
"Koper Mama dan Papa cuma satu. Dua sisanya punya Gita." Jati menjumput sehelai tisu dan membersihkan tangannya dari minyak yang menempel.
"Gita? Ngapain Papa bawa barang-barang Gita?" Bayu jelas bingung. Gita, adiknya, bahkan tidak ikut dalam perjalanan ini, mengapa barangnya dibawa?
Jati tidak langsung menjawab pertanyaan putranya. Lelaki dengan rambut yang hampir memutih seluruhya itu menegakkan tubuh. "Bay, ada yang mau Papa bicarakan. Panggil Ratna sekalian."
Dengan kening berkerut, Bayu berjalan ke dapur, memanggil Ratna. Pria itu hanya mengangkat bahu ketika Ratna bertanya apa ada masalah yang serius.
"Apa sih, Pa? Kelihatannya serius banget." Bayu tak kuasa lagi menahan rasa penasarannya. Pasalnya, Jati memasang tampang serius yang membuat jantung berdebar. Pria lima puluh tujuh tahun itu bahkan menarik napas panjang sebelum mulai berbicara.
"Gita, adikmu itu... dia diterima bekerja di sini. Di Jogja." Jati memulai.
Itu berita bagus, pikir Bayu. Namun, sesuatu yang tak menyenangkan biasanya disampaikan dengan didahului kabar baik. Jadi, Bayu menunggu kelanjutannya.
Jati menoleh pada sang istri. Endah memberi anggukan kecil. "Nah, maunya Mama kalian, daripada Gita indekos, lebih baik kalau dia tinggal di sini bersama kalian."
"Di rumah Bayu?"
"Iya, kamar atas kan masih kosong, Bay. Bisa dipakai Gita selama tinggal di sini," serobot Endah, seolah takut suaminya tak mampu meyakinkan sang putra sulung untuk meloloskan keinginannya.
"Kapan Gita mulai bekerja, Ma?" Ratna bertanya hati-hati.
"Minggu depan."
"Boleh kan, Bay? Gita itu adikmu satu-satunya lho. Perempuan lagi. Masa kamu tega ngelepas dia di Jogja yang notabene kota asing bagi dia." Endah kukuh mendesak.
Bayu menoleh ke arah Ratna, meminta jawaban. Berbagi rumah dengan orang lain tentu memiliki sisi positif dan negatif. Rumah mereka juga tidak besar, bukan seperti rumah artis yang lebih luas dari lapangan bola. Privasi Ratna dan Bayu pasti akan berkurang jika Gita ikut tinggal serumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Sisimu
RomanceSekuel Tiga Sisi Warning: Baca ini jangan ngamuk, karena bab sudah tidak lengkap. Perjalanan rumah tangga tidak mungkin tanpa ujian. Apa yang kita lakukan di masa lalu, akan kita tuai akibatnya di masa depan. Lima tahun menikah dengan Bayu, Ratna...