Sisi 18

5.2K 507 50
                                    

Bayu merunut satu per satu prioritasnya hari ini. Pertama, menelepon Dokter Indira dan membuat janji periksa pagi ini jam delapan. Kedua, menelepon bagian Kepegawaian kampus dan meminta izin tidak masuk kerja. Ketiga, memesan Grab Car. Dan keempat, menenangkan istrinya yang tak kunjung berhenti menangis.

"Tenang ya, Sayang. Semoga Dedek nggak apa-apa. Kita harus positive thinking." Sebenarnya Bayu juga cemas. Kalau sampai bayinya kenapa-kenapa, semua itu karena kesalahannya yang tidak bisa menahan nafsu.

Suasana di sekitar meja makan diselimuti kecemasan. Gita yang turun dari kamarnya saat mendengar tangisan Ratna juga ikut cemas. Tak seorang pun dari mereka bertiga yang ingat bahwa mereka sama sekali belum sarapan. Rasa lapar seakan menguap pergi begitu saja.

"Tapi darah yang keluar banyak. Aku takut," isak Ratna. Banyak hal yang membuatnya takut. Bagaimana jika ia keguguran lalu tidak diberi kesempatan hamil lagi? Beberapa wanita mengalami hal tersebut: Kehamilan pertama yang gagal lalu gagal pula mengupayakan kehamilan berikutnya meskipun segala cara telah dicoba.

"Sekarang darahnya masih keluar?"

Ratna menggeleng. Ia sudah tidak merasakan adanya cairan merembes. Terakhir kali ia mengecek, hanya ada bercak darah di celana dalamnya dan Ratna pun memutuskan untuk memakai panty liner.  "Tinggal flek aja."

"Semoga itu pertanda bagus ya."

Ratna mengamini dengan membuat anggukan kecil. Dalam hati ia terus memanjatkan permohonan semoga janinnya baik-baik saja.

"Mbak Ratna nggak kerasa mulas atau nyeri di perut, kan?"

Ratna menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan adik iparnya.

"Semoga nggak apa-apa ya, Mbak."

Bunyi klakson mobil menandakan Grab Car pesanan Bayu sudah datang. "Git, nanti kalau kamu berangkat kantor jangan lupa kunci pintu. Kuncinya kamu bawa aja. Aku udah bawa kunci serep," pesan Bayu pada adiknya.

"Ya, Mas," jawab Gita. "Mas Bayu nanti kabari aku ya," imbuhnya cepat.

Bayu mengangguk dan menuntun Ratna keluar rumah. Mobil melaju cepat menuju kawasan Jalan A. M. Sangaji, tempat Dokter Indira membuka praktek. Mereka tiba bersamaan dengan sedan putih sang dokter memasuki pelataran parkir.

Dokter Indira keluar dari mobil dan menyambut Ratna dengan senyum lembut. "Jangan panik dulu, Mbak."

Ratna diperiksa tekanan darah dan berat badannya terlebih dulu. Lalu dokter memintanya berbaring untuk dilakukan pemeriksaan USG abdomen.

"Denyut jantung janin masih baik, Mbak. Plasenta juga baik. Tidak ada yang perlu dicemaskan," ucap Dokter Indira sambil mengawasi layar monitor USG.

"Tapi kenapa berdarah, Dok?" Meskipun sudah sedikit lega, Ratna masih merasa khawatir.

"Darah yang keluar seperti apa?"

"Awalnya merah segar, lalu kehitaman seperti darah haid. Fleknya juga agak hitam."

Dokter Indira mengangguk. "Kita lihat dengan USG trans-vaginal ya." Ia memberi kode pada asistennya. "Tolong dibantu, Mbak."

Bidan asisten meminta Ratna melepaskan celana dalam dan duduk di kursi khusus untuk pemeriksaan trans-vaginal. Sama seperti tadi, dokter memeriksa kondisi rahim Ratna, raut mukanya serius, tetapi sekali lagi Dokter Indira meyakinkan bahwa janin dalam kandungan Ratna tidak dalam kondisi terancam. Bayu dan Ratna akhirnya sama-sama bisa mengembuskan napas lega.

"Apa pendarahan karena saya ejakulasi di dalam, Dok? Tadi pagi kami baru saja berhubungan," tanya Bayu setelah Ratna kembali duduk di sampingnya.

Dokter Indira tersenyum. "Sperma memang bisa memicu kontraksi, tapi beda ibu hamil, beda reaksi juga. Mbak Ratna tidak mengalami kontraksi. Diagnosis saya, perdarahan disebabkan adanya infeksi di mulut rahim. Penyebab infeksi ini sendiri bisa karena ketidakseimbangan bakteri baik dan bakteri jahat di vagina. Saat hamil, tubuh perempuan jadi lebih sensitif, Mas."

Wah, Bayu baru tahu itu. Ia kira cuma perasaan ibu hamil saja yang jadi lebih sensitif.

"Nanti saya beri antibiotik dan obat penguat kandungan. Bed rest tiga hari, ya." Dokter Indira beranjak ke mejanya, menuliskan resep dan memberi Ratna surat keterangan sakit.  "Sampai infeksinya hilang, jangan berhubungan suami istri dulu."

***

"Eh, eh, Mbak. Mau ke mana? Tiduran aja." Gita berseru saat melihat Ratna keluar dari kamar.

Bayu sedang mengajar sampai sore. Kelas tambahan, mengganti pertemuan yang di-cancel saat harus mengantar Ratna ke dokter karena perdarahan tempo hari. Jadi, Gita-lah yang diamanahi menjaga Ratna di rumah. Sudah dua hari ini Gita cepat pulang begitu jam kerjanya berakhir.

"Aku udah dua hari tiduran terus," bantah Ratna. Pada dasarnya, ia memang bukan tipe orang yang suka rebahan. Dua hari terus-terusan berbaring, meskipun di kamar sendiri yang nyaman dan ditemani novel kesukaan, tetap membuatnya bosan.

"Sekarang aku cuma mau nyuci baju, Git. Tinggal pencet tombol doang. Cucian udah numpuk. Bajumu juga belum dicuci, kan?"

Bukan hanya pakaian Gita, bahkan seprei bekas Ratna dan Bayu bercinta terakhir kali juga masih anteng berdiam di dalam keranjang pakaian kotor. Mencuci baju dengan mesin cuci tidak akan menguras tenaga dan menimbulkan lelah.

"Kita laundry aja, Mbak. Nanti aku yang kirim ke laundry-nya."

"Masa daleman juga di-laundry, Git. Malu, ah. Aku udah nggak nge-flek lagi kok."

Ratna tetap menuju ke ruang kecil di sebelah dapur, tempat mesin cuci berdiri. Ia membuka kran dan menuang detergen. Gita mengikuti di belakang.

"Waktu ngekos dulu, Mbak cuci sendiri juga?"

"Iyalah. Biar hemat. Kalau laundry kan mahal, Git."

Gita diam. Selama ini ia hanya diwajibkan mencuci pakaian dalam saja, sedangkan pakaian lainnya dicuci dan disetrika oleh Mamanya. Mama Endah adalah tipe ibu yang senang memanjakan, ia tidak keberatan melayani segala keperluan anak-anaknya. Baik Bayu maupun Gita, sama-sama baru disapih di usia empat tahun, lalu masih makan disuapi hingga kelas 4 SD. Gita lebih parah lagi. Ia masih tidur ditemani Mamanya sampai kelas 9 SMP.

Kekeraskepalaan Ratna untuk tetap melakukan pekerjaan rumah tangga membuat Gita sadar betapa tidak mandiri dirinya. Bahkan selama tinggal di rumah Bayu pun, Gita sama sekali tidak pernah membantu Ratna mengurus rumah. Paling mentok, ia hanya mencuci sendiri piring dan gelas bekas ia pakai.

"Aku aja yang nyuci, deh. Mbak Ratna kasih instruksi aja."

"Instruksi apa? Nyuci itu yang penting dipisahin berdasarkan warna baju. Yang warna putih jangan digabung sama yang berwarna, nanti bisa kelunturan. Terus kalau ada bagian yang bernoda, ya dikucek dulu. Seperti kerah leher, ujung lengan kemeja, bagian bawah kaus kaki." Ratna langsung mencontohkan dengan mengucek bagian kerah kemeja Bayu.

"Mbak dulu nikah sama Mas Bayu usia berapa sih? Aku lupa."

"25. Kenapa?" Mesin cuci mulai berputar. Ratna memandang adik iparnya dengan tatapan bingung.

"Aku udah hampir 26, tapi belum bisa ngapa-ngapain. Masak nggak bisa, nyuci baju gak bisa, apalagi setrika. Barangkali bajuku bakal bolong kalau aku setrika sendiri. Ngenes amat."

"Ya makanya, sekarang saatnya belajar. Emang sih, Git, jadi cewek itu nggak wajib bisa masak. Sekarang semua serba ada penyedia jasanya. Ada restoran, katering. Asal punya duit aja, segalanya beres.  Tapi life skill itu tetep perlu. Karena kita nggak tau apa yang akan terjadi di masa depan. Nggak selamanya roda kehidupan kita ada di atas, bergelimang harta, bisa bayar ART. Bisa jadi suatu saat kita yang ada di bawah. Kalau kita nggak terbiasa mandiri, gimana caranya bertahan."

"Iya ya, Mbak." Makanya banyak cewek yang rela jual diri, open VCS atau BO di Instagram supaya bisa dapat duit cepat untuk foya-foya. Ih, amit-amit. Gita bergidik. Walaupun ia manja, tapi ia juga ogah dapat duit dari cara haram seperti itu.

Petuah Ratna terus menjejali kepala Gita, membuatnya merenung dan akhirnya tiba pada satu keputusan.

"Mas, aku mau ngekos aja," ucap Gita penuh keyakinan pada Bayu beberapa hari kemudian.

Di Sisimu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang