5

3.4K 145 0
                                    

"Udah makan belum, Neng? Aku bawain martabak ini!" seru Briyan sambil meletakkan bungkusan plastik putih di meja makan. Briyan baru saja pulang kerja. Sedangkan Bita sudah sampai rumah kurang lebih satu jam yang lalu, tepatnya sebelum adzan maghrib.

Bita yang baru duduk santai sambil memainkan ponselnya di ruang tengah menoleh sebentar kearah Briyan yang beranjak menuju kamar untuk bebersih diri dan ganti pakaian. Lalu mata Bita tertuju pada bungkusan di atas meja. Sejujurnya dia pengen banget segera melahap martabak itu. Bagaimana tidak, martabak adalah makanan favoritnya. Hanya saja ada ragu, dia kan sekarang sedang dalam mode ngambek sama Briyan. Kalah dong nanti kalau langsung nyosor aja Cuma gara-gara martabak pinggir jalan.

Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. Briyan tak kunjung keluar kamar. "Ngapain aja, sih? Lama banget," umpat Bita lirih. Enggak tahu memang dia yang udah kelaparan atau suaminya yang jadi terasa lama banget mandinya.

"Martabak spesial, Neng. Kesukaanmu, nggak usah kelamaan mikirnya. Keburu cacing-cacingmu protes." Briyan tiba-tiba aja udah ada di meja makan sambil membuka bungkusan putih itu. Mengeluarkan box wadah martabak lalu memindahkan isi-isinya ke dalam piring.

"Beneran nggak mau, nih?" tanyanya lagi sambil mengambil piring kosong lalu mengisinya dengan nasi hangat. Memang sudah jadi favorit keduanya sejak pacaran makan martabak telur sama nasi panas. Rasanya udah kayak makan telur dadarnya Chef Juna. Walaupun belum pernah nyobain juga, sih. Nggak tahu juga itu chef pernah bikin ceplok telur apa nggak level.

"Yaudah kalau nggak mau, aku makan sendiri," lanjut Briyan. Mulutnya yang dipenuhi nasi dan martabak itu bergerak perlahan-lahan. Tampak menikmati sekali hidangan sederhana mala mini. Bita yang melihat pemandangan itu dari ruangan sebelah hanya diam sambil mengerucutkan mulut. Antara lapar dan dongkol jadi satu. Harusnya kan Briyan membujuknya dulu, atau gimana layaknya pasangan yang tengah marahan dan mencoba mencairkan suasana. Lha ini suaminya itu malah asyik makan sendiri.

"Briyan kamu itu peka nggak, sih? Istri lagi ngambek kamu diamin!" seru Bita sebal.

"Kamu ngambek? Kok aku nggak tau?" Briyan masih terus mengunyah. Nasi di piringnya kini tinggal separuh saja.

"Hihhh... Kamu, tuh, ya..." Bita menghentakkan kakinya, namun beranjak juga kearah meja makan.

"Udah sini makan aja, daripada marah-marah nggak jelas gitu. Lagi pms, ya?"

"Auk, ah!" Bita mengambil nasi juga akhirnya. Perutnya udah nggak bisa diajak kompromi lagi.

"Nah, gitu, dong. Ngapain sih udah gedhe masih ngambek-ngambek aja kayak anak kecil."

"Suapin!" rengek Bita.

"Nggak mau! Makan sendiri. Orang aku juga lagi makan."

"Ya Allah Briyan, kamu itu benar-benar, ya... Udah salah, nggak minta maaf, nggak membujuk atau gimana, diminta suapin istrinya aja nggak mau. Hitung-hitung permintaan maaf gitu."

"Ya udah, nih, buka mulut!" perintah Briyan sambil menyodorkan sendok yang berisi nasi penuh tanpa lauk.

"Kasih martabaknya dong!"

"Mau nggak? Kalau nggak mau ya udah." Briyan ingin menurunkan tangannya ketika akhirnya Bita membuka mulut juga. Hap. Nasi berhasil masuk ke mulut Bita dilanjutkan lengkingan keras.

"Briyaaan...!" Bita buru-buru lari mengambil air putih dan meneguknya hingga tuntas. Mulutnya masih terasa panas sekali. Ternyata Briyan diam-diam menaruh potongan cabai rawit di balik nasi tadi. Sementara Briyan sudah kabur menuju kamarnya. Dan Bita benar-benar dibuat kesal oleh tingkah suaminya itu.

LIVE AFTER MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang