72

8.6K 324 8
                                    

Seminggu lebih sudah berlalu, selama itu pula Bita berdiam di rumah papa mamanya sendiri. Wajahnya yang selalu murung tak urung menjadi bahan pertanyaan ayahnya. Apalagi di tambah sang menantu yang tak kunjung datang menjemput putrinya. Leo semakin yakin kalau masalah dalam pernikahan anaknya itu tidak sesederharna yang dijelaskan istinya.

Pagi itu, akhirnya Bita berani menjelaskan semuanya tanpa satu pun yang ditutupi. Papanya sempat mengalami syok sebentar. Namun untungnya lelaki tengah baya itu berhasil menguasai diri. Kondisi Leo akhir-akhir ini cukup stabil. Dan sebelumnya dia sudah menyiapkan diri untuk mendengarkan cerita terburuk sekali pun.

“Terus keputusan kamu apa, Nak?” tanya Leo sambil menatap putrinya prihatin.

“Bita belum tau, Pa. Bita belum bisa memaafkan Briyan.”

“Tidak baik, nanti kamu dosa. Lagian di sini yang Papa tangkap Briyan itu nggak sepenuhnya salah. Hanya saja dia terjebak dengan keadaan.”

“Dia yang membuat dirinya sendiri terjebak, Pa.” Bita menghela napas panjang. Entah mengapa dirinya selalu naik darah ketika mengingat kecerobohan Briyan yang justru menghancurkan pernikahan mereka.

“Iya, Papa tahu. Tapi pikirkan juga Cerry. Toh, Briyan tidak benar-benar selingkuh. Papa hanya nggak mau nantinya kamu menyesal dengan keputusanmu sendiri.”

“Tapi Briyan memberi peluang untuk itu, Pa.”

“Papa boleh tau, kamu sebenarnya masih cinta Briyan nggak?”

Bita menggeleng pelan, “Aku nggak tau, Pa.”

“Kamu masih sayang dia?” tanya papanya lagi.

“Mungkin. Karena aku sama Briyan nggak sebentar. Terlalu banyak kenangan yang kami lewati bersama. Disetiap kebersamaan kita, Briyan selalu menjadi yang terbaik bagiku. Sampai pada kejadian ini, aku nggak nyangka dia bakal nglakuin ini ke aku,” tutur Bita lirih.

“Terus apa yang membuatmu masih ragu untuk memaafkannya?”

“Saat ini aku terlanjur sakit hati, Pa.”

Leo terdiam sejenak. Dina yang sedari tadi hanya diam memperhatikan percakapan anak dan bapak itu memijit-mijit keningnya. Di satu sisi dia tidak ingin Bita terluka lagi. Di sisi lain dia juga tidak ingin Bita jadi janda dalam usia semuda ini. Belum lagi memikirkan cucunya yang masih sangat kecil.

“Kalau aku minta cerai saja gimana, Pa?” tanya Bita tiba-tiba di sela-sela keheningan.

“Apa?” Dina tersentak kaget.

Leo juga langsung menatap tajam putrinya.

“Bercerai itu bukan keputusan main-main, Nak!” ingat Leo.

“Iya, Pa. Bita tahu,” jawab Bita sambil tertunduk lesu,

Bita akhirnya memutuskan masuk kamarkarena mendengar tangisan Cerry. Rupanya putri kecilnya itu sudah terbangun. Bita bergegas memangkunya dan memberikan ASI.

Di tengah lamunan, tiba-tiba suara ponselnya berbunyi sekejap. Bita menoleh pada benda pipih yang tergeletak di kasur tepat di sampingnya duduk. Sebuah nama tertera sebagai pengirim pesan.

[Ta, kita ketemu, yukkk hari ini. Atau aku boleh main ke rumah?]

Bita menghela napas panjang melihat pesan singkat Briyan.

[Mau apa?]

Bita membalasnya singkat saja.

[Aku kangen banget sama Cerry. Boleh, ya? Terserah mau di luar apa di rumah.]

[Nanti aku tanyain mama dia ada waktu senggang nggak buat ajak Cerry ketemu kamu.]

Bita belum ingin ketemu Briyan. Apalagi lelaki itu belum memberikan bukti dan penjelasan sama sekali. Sudah lama Bita berharap lelaki itu segera mengabulkan permintaannya. Namun yang dia rasakan lelaki itu justru terlihat enggan. Dalam seminggu terakhir pun baru ini Briyan mengirimkan pesan padanya. Itu pun hanya karena ingin bertemu Cerry.

[Aku maunya kamu sama Cerry, Ta. Sekalian ada yang mau aku sampaikan.]

[Oke jam sepuluh di taman dekat rumah.]

Bita segera memandikan Cerry dan menyiapkan beberapa keperluan bayi itu. Setelahnya dia sendiri yang mandi, Cerry digendong mamanya. Bita sudah bilang kalau akan bertemu dengan Briyan.

“Semoga kalian bisa menyelesaikan masalah kalian, ya. Dan keputusan yang kalian ambil tidak akan menyakiti satu sama lain,” pesan Dina ketika Bita pamit.

“Ingat, jangan gegabah, Nak. Jangan dalam keadaan emosi ketika kamu mengambil keputusan,” Leeo juga ikut menasehatinya.

Bita mengangguk.

Sesampainya di taman, Briyan rupanya sudah menunggu di bangku panjang bawah pohon rindang. Bita segera melangkahkan kaki menghapiri lelaki yang saat ini terlihat lebih kurus ketimbang dulu ketika mereka masih serumah. Bita sempat trenyuh sesaat, namun dia segera menepis pikirannya. “Mungkin dia sedang banyak urusan kantor saja,” batinnya menenangkan diri.

“Apa kabar, Ta?” sambut Briyan dengan senyum merekah. Tampak sekali kerinduan di kedua matanya. Sorot mata yang dulu selalu penuh arti bagi Bita. Namun lagi dan lagi Bita berusaha menampik bahwa Briyan sedang rindu.

“Baik. Kamu?” tanya Bita balik hitung-hitung basa-basi.

“Seperti yang kamu lihat. Semoga kamu segera memulihkan keadaanku,” jawab Briyan sambil terkekeh.

Bita hanya mengendikkan bahu sambil sedikit menarik garis bibirnya. Sedikit saja. Yang terpikir saat ini mengapa justru lelaki di hadapannya itu terlihat seperti tanpa beban. Tanpa rasa bersalah mengajaknya bercanda seolah-oleh tidak ada masalah apa-apa di antara mereka.

“Haiii Cerry! Uluh-uluh anak papa makin cantik aja.” Merasa Bita tidak menanggapi gurauannya, Briyan segera menyapa Cerry dan mengambil alih untuk menggendongnya. Nasib baik Bita masih mengijinkannya.

Briyan masih terus bercanda dengan Cerry. Bayi itu tampak kesenangan. Bibir mungilnya hampir tidak pernah luput dari senyum bahkan tawanya juga sering menggema. Bita sedikit merasa bersalah menyaksikan hal itu. Ada rasa haru dan rindu bersatu di dadanya melihat pemandangan itu.

Mungkinkah aku tega menyakiti Cerry dengan perpisahan kedua orangtuanya? Haruskah kuurungkan niatku memintai cerai?” batin Bita.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 04, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LIVE AFTER MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang