21

2K 89 0
                                    

Bita terbangun tepat jam empat pagi. Tangan Briyan masih melingkar di perutnya. Tak pelak itu membuatnya tersenyum sendiri. Dia membalikkan badan. Menghadap Briyan. Memperhatikan lelaki itu lebih dekat. Sebenarnya dia ingin menanyakan sesuatu tadi malam. Tapi ia urungkan daripada merusak suasana.

“Hey, bangun!” ucap Bita perlahan sambil memainkan hidung suaminya.

“Hemmm.” Briyan hanya menguap tanpa membuka mata.

“Bangun, dong. Udah mau subuh, nih.” Kali ini tangan Bita pindah ke bibir lelaki itu.

“Ish, apaan sih, Ta?” Briyan menyingkirkan tangan Bita sambil membuka mata.

Yang pertama dia lihat adalah wajah cemburut Bita.

“Jangan gitu, nantangin tauk,” goda Briyan mengetahui perbedaan raut muka istrinya. “Apa mau lagi? Sini, sini!” seru lelaki itu lagi sambil menangkupkan kedua tangannya di pipi Bita.

Bita berontak sambil terkekeh. Sebelum akhirnya lelaki itu mengecupnya sesaat. Bita tersenyum. Tiba-tiba ketika ia hendak bangun, Briyan malah menarik wajahnya lebih dekat lagi. Kemudian melumatnya lebih dalam namun lebih lembut dari semalam.

“Sebentar, ya,” ucap Briyan dengan nada khas ‘biasanya’ yang membuat Bita tidak bisa menolak.

Bahkan kalau boleh jujur dia menyukainya. Mungkin menginginkannya juga. Walapun di pagi buta begini. Kedua saling berpagutan dan mengulang apa yang terjadi semalam.

“Sarapan pagi banget, Yan?” Bita terkekeh di sela hembusan napasnya yang masih naik turun

“Kan, kamu tadi yang memulai.” Briyan mencium puncak kepala wanita itu.

“Enak aja! Aku, kan, cuma  bangunin kamu,” sergah Bita tak terima.

“Tapi kamu suka, kan?” goda Briyan. Bita memberikan cengiran kudanya.

Setelah mandi mereka segera sholat subuh. Setelah itu Bita segera menuju dapur menyiapkan sarapan. Seperti biasa, bagi hari dia memilih menu yang simpel. Telur mata dua. Untungnya sebelum mandi tadi dia sempat menanak nasi di magicom dulu. Jadi, ketika telur goreng matang, nasinya juga sudah matang.

Briyan menghampiri istrinya. “Mau dibantuin nggak?” Lelaki itu menawarkan diri.

“Nggak, udah selesai kok ini. Duduk. Aku buatin teh dulu.” Bita bergegas mengambil dua cangkir kosong kemudian menyeduh teh hangat untuk keduanya.

Briyan memang jarang minum kopi pagi hari. Apalagi sejak ia punya istri, waniya itu tak pernah menyiapkan kopi untuk sarapan. Katanya kasihan perutnya, dan Briyan menurut saja karena ia pun tak pernah keberatan.

“Nih!” Bita mengulurkan tehnya lalu mengambil tempat duduk di sampingnya.

“Em, Yan?”

Briyan menghentikan kegiatannya menyeruput teh. Dia menaruh cangkirnya dan memandang wajah Bita. Nampaknya perempuan itu hendak membicarakan sesuatu, tapi setelah ia tunggu tidak ada kelanjutannya.

“Eh, nggak jadi. Kamu nanti pulang jam berapa?” Bita melanjutkan pertanyaanya.

Sebenarnya bukan itu yang hendak dia tanyakan, namun entah mengapa akhirnya dia urungkan lagi. Takut dikira dia nggak percayaan sama suami sendiri.

“Jam enam seperti biasa,” jawab Briyan santai sambil melanjutkan makan.

Bita manggut-manggut dan ikut melanjutkan makan.

Ponsel Briyan berbunyi. Sebuah panggilan masuk. Briyan mencermatinya sejenak kemudian berganti memandang Bita. Dia baru mengangkat telepon itu ketika Bita memperhatikannya.

“Halo… Oh, ya… ya… oke seperti biasa, ya.” Briyan menutup teleponnya.

“Ta, maaf nanti aku jadinya pulang telat, ya… Paling jam delapan udah sampai rumah,” ucap Briyan perlahan.

“Eh, udah jam setengah tujuh. Yuk, berangkat nanti telat,” ucap Briyan lagi sebelum Bita sempat bertanya.

Briyan buru-buru mengambil tasnya ke kamar. Sementara Bita berjalan lesu membawa piring dan cangkir kosong mereka berdua ke tempat cucian.

“Nih, tas sama HP kamu. Udah nggak ada yang ketinggalan, kan? Ini kunci mobilnya juga.” Tiba-tiba Briyan sudah di belakang Bita yang malah diam melamun.

“Yukkk!” ujar Briyan lagi sambil mengandeng tangan Bita keluar rumah.

LIVE AFTER MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang