37

2K 90 0
                                    

“Makan bakso, yuk! Katanya tadi lapar,” ajak Briyan.

“Kalau makan baksonya untuk sogokan supaya nggak marah lagi aku nggak mau!”

“Aku kira udah selesai marahnya.”

“Aku maunya steak. Ya, kali… tiap marah dikasihnya bakso mulu. Rendah banget harga kemarahanku.”

“Hahaha, siap!”

Briyan segera melajukan mobilnya ke restoran steak terdekat.

“Yan, jujur aku masih kecewa sama kamu,” ucap Bita. Keduanya tengah duduk di restoran sambil menunggu pesanan mereka datang.

“Iya, maafin aku, Ta. Apa masih ada yang ingin kamu tanyakan lagi?”

“Kamu masih meneruskan kerja sama Oliv?”

Briyan diam sejenak. Sedangkan Bita harap-harap cemas. Dalam hati kecilnya dia ingin Briyan menyudahi kerja samanya. Walaupun mungkin ada biaya ganti rugi. Bita bersedia membantu membayarnya kalau mantannya itu memang tega. Kecuali wanita itu memang masih berniat mendekati suaminya.

“Sebenarnya aku masih ada kontrak satu pemotretan lagi,” jawab Briyan hati-hati.

“Kapan?”

“Belum tahu tanggal pastinya. Tapi kemungkinan akhir bulan ini. Oliv sedang mencoba resep barunya. Katanya butuh beberapa testing dulu sebelum dipasarkan.”

“Oh,” jawab Bita singkat.

“Kamu nggak setuju, ya?”

“Boleh, tapi aku ikut setiap kamu kesana. Nggak boleh kesana diam-diam apalagi nggak ngabari aku,” putus Bita akhirnya.

Briyan tersenyum.

“Makasih, ya, istriku yang suka banget ngambekan, tapi paling sayang juga sama aku,” ujar Briyan sambil mencubit hidung Bita.

Bita memonyongkan bibirnya sebagai tanda protes.

Namun ternyata dua pasang mata tengah memperhatikan mereka dari kejauhan. Sedangkan Bita dan Briyan tak menyadarinya.

“Kok, jadi gini, sih?” ucap salah satunya sebal. Kecemburuan tengah memuncak, namun wanita itu tak bisa berbuat apa-apa.

***

“Pagi, sayang! Udah bangun aja?” Suara serak Briyan masuk ke gendang telinga Bita. Namun perempuan itu tahu suaminya sedang tidak berbicara kepadanya.

Siapa lagi saingan Bita sekarang? Tidak lain tidak bukan adalah anaknya sendiri yang masih dalam perut. Terbukti laki-laki itu udah bermain-main saja di perutnya yang tengah bergelombang. Sepertinya kesayangannya di dalam juga lagi seru main sama papanya.

“Bobok lagi, ayooo!” rengek Bita sambil melirik jam kecil di nakas. Masih menunjukkan pukul setengah empat. Namun seperti biasa yang di dalam perut sudah asyik nendang di jam dimana waktu ternikmatnya tidur.

“Tuh, mamamu masih ngantuk katanya. Bilangin, kalau mau bobok, bobok aja. Kamu mainan sama papa,” bisik Briyan masih terus mengelus perut istrinnya. Mengejar-ngejar bagian yang terus bergerak.

“Mana bisa tidur!” protes Bita sambil menguap.

“Yaudah aku jenguk dedeknya aja, ya?” goda Briyan.

“Apaan, sih, Yan---“

Belum sempat Bita menyelesaikan protesnya Briyan sudah mencium tengkuknya dari belakang. Oke, kali ini Bita kalah. Dia nggak mau jadi istri durhaka.

***

“Hari ini kamu masih ambil libur, kan, Ta?”

Briyan menghampiri istrinya yang tengah menyiapkan sarapan di meja makan. Lelaki itu sudah berpakaian lengkap.

“Iya. Tapi aku nanti mau jenguk papa, ya?” ijin Bita.

“Boleh. Eh, tapi gimana dahi kamu?” tanya Briyan. Istrinya masih diperban kecil di dahi sampai lukanya benar-benar kering.

“Nggakpapa, nanti aku bilang aja kepentok. Makanya kemarin nggak bisa jenguk. Kamu nggak ngabarin mereka kalau aku opname, kan?”

“Enggak, kok. Yakin udah sehat kamu”

“Iya, Yan. Aku udah nggakpapa. Buktinya tadi pagi udah nemenin kamu jenguk dedek,” ledek Bita. Briyan tertawa terbahak-bahak.

“Berangkatnya barengan, ya. Mobil kamu masih di bengkel,” ajak Briyan.

“Nggak usah. Aku naik taxi aja. Lagian, kan, rumah sakit masih jauh dari kantor kamu. Nanti kamu telat.”

“Beneran, nih, nggak mau dianter? Biasanya merengek minta dianterin,” seloroh Briyan.

Bita hanya mencebikkan bibirnya dan menyuruh lelaki itu segera menghabiskan sarapannya.

***

“Pagi, Bita!”

Seseorang menyapa Bita di lorong rumah sakit. Bita tertegun sejenak lalu membalikkan badannya.

“Eh, Lucky?”

Pria berseragam dokter itu tersenyum ke arah Bita.

“Nggak nyangka, ya, kita bakalan ketemu disini,” ujar lelaki itu, yang tak lain adalah dokter yang memeriksa papanya kemain lusa.

Bita hanya tersenyum canggung.

“Kemarin aku nggak lihat kamu kesini. Dan…, itu keningmu kenapa?”

“Luka dikit aja, kepentok. Makanya kemarin nggak kesini.”

“Yakin, nggakpapa? Suamimu mana? Nggak lagi berantem, kan? Karena pas papamu masih belum sadar kemarin aku lihat dia pulang duluan ninggalin kamu.”

Bita mengeryit. Buat apa lelaki ini ingin tahu banyak kehidupannya.

“Ada urusan mendadak kemarin. Aku keruangan papa dulu, ya,” pamit Bita lantas berlalu meninggalkan dokter muda itu.

LIVE AFTER MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang