54

2K 105 0
                                    

Minggu pagi rumah Briyan sudah ramai. Abas dan Alya datang pagi-pagi katanya kangen cucu. Bita sebenarnya senang karena dia jadi ada yang bantuin jagain Cerry. Apalagi mama mertuanya itu telaten banget kalau ngurus bayi. Tapi di satu sisi Bita harus memendam semua pertanyaannya dulu.

“Tang kin tung kin tang kin tung.” Terdengar suara Alya bersenandung sambil memakaikan baju Cerry. Bayi itu baru saja mandi. Tentunya Alya dengan senang mengambil alih bagian Bita. Sedangkan Bita memilih menyibukkan diri masak di dapur.

“Ta, tehku mana?” Briyan tiba-tiba muncul. Laki-laki itu habis mandi, wajahnya tampak segar dan masih meneteskan sedikit air.

“Iya, aku buatin dulu,” sahut Bita. Gadis itu tengah mencuci berbagai macam sayuran.

“Aku di teras, ya, nemenin papa.” Briyan melangkah ringan.

Bita segera meletakkan sayuran yang sudah dicuci ke wadah tersendiri. Kemudian dia mengambil mug dan menyeduh teh untuk Briyan sebelum melanjutkan memotong sayuran.

Bita berjalan menuju teras dengan satu gelas teh. Papa mertuanya tadi sudah lebih dulu dia buatkan kopi. Padangannya melirik ke kamarnya. Mama mertuanya tengah memakaikan bando Cerry. Bita tersenyum simpul dan melanjutkan langkahnya.

“Jadi kamu sudah jujur sama Bita soal kebakaran itu?” sayup-sayup terdengar suara Abas dari balik tembok.

Bita berhenti sebentar. Ragu untuk melanjutkan langkahnya. Kebakaran? Apa yang tidak dia tahu?

“Belum, Pa. Mungkin malah enggak. Nggak tahu Pa. Aku bingung. Aku pikir lebih baik kejadian itu nggak usah diungkit lagi. Aku nggak pengin dia salah paham.” Lalu suara Briyan terdengar gusar.

“Justru Bita akan salah paham kalau kamu nggak ngomong.” Suara abas terdengar sedikit kencang.

“Pa… Bita baru aja melahirkan. Dan kita lagi adem ayem. Aku nggak mau merusak ini semua. Toh aku juga udah nggak kontekan lagi sama Oliv.” Briyan memelankan suaranya, namun masih bisa didengar oleh Bita yang hanya berbatas tembok.

Oliv? Jadi kebakaran itu ada hubungannya dengan Oliv? Kapan? Bita terus bertanya-tanya.

“Kalau Oliv dengar dari orang lain gimana?” Abas bertanya.

“Nggak mungkin. Kecuali papa yang ngasih tahu. Nggak ada yang tahu kejadian itu.” Briyan menyanggah.

“Papa kemarin ketemu Om Erlan. Dia menanyakan apakah kamu juga menanam modal di kafe itu. Soalnya dia melihat kamu di sana waktu kejadian. Tapi tidak sempat menyapa,” info Abas.

Briyan tercekat. Dia tidak menyangka salah satu petugas pemadam kebakaran yang datang adalah Om Erlan.

“Terus Papa jawab apa?”

“Punya temenmu, kebetulan kamu lewat.”

“Syukurlah.” Terdengar desahan lega.

Sementara di balik tembok, mata Bita berkaca-kaca. Kenapa Briyan tidak cerita. Apa susahnya ngomong kalau dia nggak sengaja lewat toko kue dan kebakaran. Toh, Bita tidak akan marah. Atau ada hal lain yang disembunyikan Briyan?

“Ta, ini Cerry mau nenen.” Alya tiba-tiba muncul.

Bita tersentak kaget, “Ah, iya, Ma. Aku anter teh Briyan dulu.”

Bita segera melangkah tanpa melihat mertuanya lebih lama. Dia berusaha menghapus airmata di pelupuknya yang sudah terkumpul banyak.

“Ini, Yan.” Bita meletakkan cangkir itu kemudian berlalu.

Briyan sedikit mengeryit, bingung dengan tingkah istrinya.

Abas memberi kode pada Briyan seakan bertanya apakah Bita mendengar obrolan mereka. Briyan yang tidak tahu pasti hanya menjawab dengan mengendikkan bahunya.

Di ruang tengah Bita menerima Cerry dan memberinya asi.

“Kenapa, Ta? Kok mata kamu merah?” tanya Alya menyadari wajah Bita tampak murung.

“Eh, nggakpapa, Ma. Ini, anu, apa tadi? Iris bawang merah.” Bita berusaha menyembunyikan perasaannya.

“Yaudah Mama aja ya yang lanjutin masaknya.” Alya bangkit dari sofa.

“Nggak usah, Ma. Nanti Bita aja. Ini Cerry nenennya nggak lama kok biasanya.”

“Nggakpapa, Mama aja.”

“Tapi, kan, Mama tamu di sini. Masa Mama yang masak,” jawab Bita merasa tidak enak.

“Heh, jadi kamu nganggap Mama ini cuma tamu?” gertak Alya dengan nada bercanda lalu tertawa lebar. Perempuan tengah baya itu kemudian melangkahkan kakinya ke dapu.

“Mana bawang merahnya?” Alya bingung tidak mendapati potongan bawang merah di sana. Masih dalam bentuk kupasan namun sudah dicuci bersih.

“Oh, Bita ini sensitif banget ya sama bawang merah, cuma ngupas aja langsung nangis,” gumam Alya sambil tertawa geli. Inget ponakannya yang juga benci banget sama namanya bawang merah.

LIVE AFTER MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang