60

3.4K 159 11
                                    

Bita semalaman tidak bisa tidur nyenyak. Sebentar-sebentar dia terbangun. Kadang dia terbangun karena Cerry menangis meminta asi. Kadang mimpi buruk melintas sehingga dia terbangun dengan wajah ketakutan. Akibatnya, pagi hari Bita menemukan matanya terlihat bengkak dan ada lingkar kehitaman di sana.

“Makanya jangan ngambekan. Dibilangin Mama nggak percaya, sih,” tegur Dina di meja makan.

“Ada apa, Ta, sebenarnya. Papa nggak pernah ngajarin kamu jadi istri durhaka, lho!” sahut Papa Leo.

Bita hanya mengendikkan bahu. Enggan memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia pikir lebih baik menyelesaikannya sendiri.

“Makan dulu, Pa.” Dina mengambilkan nasi suaminya. Keduanya kemudian menikmati sarapan sambil bercanda ringan. Bita iri melihat pemandangan di depannya.

“Mama sama Papa kenapa bisa akur banget, sih?” tanya Bita setelah papanya berangkat kerja.

Dina yang sedang mencuci piring bekas sarapan mereka menghentikan kegiatannya sejenak. Wanita paruh baya itu menoleh ke arah Bita yang sedang menggendong Cerry yang baru saja terbangun.

“Nggak selamanya sebuah hubungan itu akan baik-baik saja, Ta. Pasti ada naik turunnya. Begitu pun Papa sama Mama. Ada masanya kami bertengkar, saling mendiamkan, atau bahkan sampai berteriak kesal. Namun, ada waktunya pula kita untuk saling meredam emosi masing-masing. Saling memikirkan apakah yang kita lakukan ke pasangan itu benar atau keliru. Dan yang penting, di setiap pertengkaran harus ada yang mengalah. Karena kalau keduanya sama-sama keras, maka akan sulit membangun hubungan yang harmonis.” Dina menatap lembut putrinya.

“Apalagi ada anak. Bukan berarti anak sebagai tameng. Cuma kalau dirasa masih saling sayang dan masih bisa saling mempertahankan, mengapa tidak dicoba.”

Dina melanjutkan mencuci gelas. Sementara Bita hanya termenung. Memikirkan apakah sikapnya semalam benar-benar kelewatan. Memang Briyan sedang capek, sedang banyak-banyaknya lemburan. Demi dia dan anaknya. Tapi, kata-kata Briyan seakan tidak peduli dengan perasaannya. Apalagi Briyan lah awal dari pertengkaran ini.

“Menurut Mama apakah aku harus meminta maaf duluan?”

Dia terdiam sejenak. Tangannya yang sedang menaruh piring dan gelas di rak sempat tertahan beberapa detik.

“Minta maaf duluan lebih baik. Minta maaf bukan berarti salah. Minta maaf juga bukan berarti kalah. Tapi menunjukkan kita sebagai istri yang berusaha menghargai suami,” jawab Dina sembari merampungkan pekerjaannya.

Bita membuka pintu rumahnya. Sebenarnya dia berniat pulang nanti sore saja. Namun Cerry sudah kehabisan popok karena terlalu sering mengompol di luar perkiraannya. Sedangkan Mamanya mengomel terus, melarang dengan keras memakaikan Cerry pampers. Menurutnya sangat tidak perlu kecuali dalam kondisi mendesak. Dan menurut Mamanya itu, kondisi saat ini bukan kondisi mendesak. Tinggal memilih mementingkan ego atau memberikan yang terbaik untuk anak. Sedangkan kalau beli popok baru harus dicuci dulu dan tidak mungkin langsung kering dalam sekejap.

Bita heran kenapa lelaki selalu ceroboh soal mengurus rumah. Bahkan lampu depan, lampu ruang tengah belum ada yang dimatikan. Bita juga melihat lampu kamarnya belum dimatikan. Pintunya sedikit terbuka.

Bita segera memasuki kamar hendak menaruh Cerry supaya posisi bayi itu lebih bebas. Namun yang terjadi justru Bita disuguhkan pemandangan yang menusuk matanya hingga berair.

“Yan?” Bita membekap mulutnya. Airmata sudah tidak mampu terbendung lagi. Perempuan itu mengurungkan niatnya untuk mengistirahatkan Cerry. Bita memilih berbalik dan lari dengan Cerry yang masih dalam gendongannya.

“Ta, tunggu!” Briyan segera mengejar istrinya dengan kalut. Dia tidak menyangka kalau kebodohannya akan disaksikan oleh istrinya sendiri.

Bita menghentikan taxi yang kebetulan lewat depan rumahnya. Dia segera meminta sopir segera melajukan kendaraannya tanpa memedulikan sosok laki-laki yang sudah berlari tergopoh mendekati mobil. Untung Pak Sopir mengikuti perintahnya. Sekilas sebelum benda roda empat itu berjalan, Bita melihat sesosok perempuan berdiri di ambang pintu rumahnya. Perempuan yang baru saja dilihatnya di kamar mereka, kamar Bita dan Briyan.

LIVE AFTER MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang