34

1.9K 103 0
                                    

Briyan baru saja sampai kantor. Dia melangkah lesu menuju kubikelnya. Pikirannya semrawut. Kalau boleh dia ingin bolos kerja saja. Sayang, dia hanya ikut orang. Perusahaan itu bukan miliknya, bukan juga punya keluarganya. Andai saja dulu dia menerima tawaran papanya. Ah, tapi dia tetap nggak bisa.

“Pagi, Mas Briyan!”

Erlita tiba-tiba saja sudah di ruangannya. Huft! Cewek itu lagi, batin Briyan kesal.

Briyan berlalu tanpa menyapa balik. Dia hanya tersenyum simpul demi kesopanan. Apalagi rekan-rekannya seruangan sudah menempati kubikel masing-masing.

“Ih, Mas Briyan sombong. Ngga jawab Erli,” rajuk gadis itu. Bibirnya manyun.

“Pagi,” jawab Briyan kemudian tanpa menatap wajah Erlita. Dia memilih menyalakan komputernya kemudian menyibukkan diri dengan benda itu.

“Makanya kalau udah punya istri itu jangan digodain lagi,”seloroh Bella. Mereka adalah teman dekat. Bekerja di satu perusahaan, namun beda bagian. Kebetulan Bella satu ruangan dengan Briyan, sedangkan Erlita berada di ruangan lain.

“Aku, kan, cuma mau nyapa aja. Sekaligus ngetes kesetiaan Mas Briyan. Hehehe...,” jawab Erlita nyengir. Suaranya sengaja di keraskan.

Briyan mengeryit. Merasa sedang dibicarakan. Atau mungkin disindir? Tapi lelaki itu enggan menanggapinya. Dia lebih memilih sesegera mungkin menyelesaikan pekerjaannya. Dan nanti bisa pulang cepat.

“Sudah sana kembali ke ruanganmu! Ini udah masuk jam kerja. Kamu mau dipecat?” usir Bella. Dia tahu betul sahabatnya itu menaruh rasa pada Briyan. Namun di sisi lain dia juga tahu kalau Briyan tak pernah tertarik pada Erlita. Cuma yang dia masih bingung sampai sekarang, kenapa sahabatnya itu masih yakin bisa mendapatkan Briyan.

***

Di rumah sakit Bita lebih banyak diam. Alya juga hanya sesekali saja mengajak ngobrol. Dia seolah-olah lebih memilih menyibukkan diri membolak-balik membaca buku yang tadi dia bawa dari rumah.

Jam makan siang tiba, perawat masuk membawakan jatah makan siang Bita.

“Ta, makan dulu, ya?” Alya membantu Bita bangun.

“Tapi aku nggak lapar, Ma.”

“Kamu harus makan demi ini,” sahut Alya seraya mengelus perut menantunya. Sebuah tendangan kecil dia rasakan. Senyumnya merekah. Keduanya berpandangan. Bita pun ikut tersenyum.

“Rupanya tahu omanya sayang banget sama dia,” ucap Alya.

Kemudian wanita itu mengambilkan makanan Bita. Bita menolak untuk disuapi. Lagian kondisinya sudah sangat membaik sekarang. Kata dokter, kalau siang ini hasil usg dan pemeriksaan lainnya baik dia sudah diperbolehkan pulang.

“Ta, boleh mama bicara?” tanya Alya setelah Bita menyelesaikan makannya.

Bita mengangguk. Dia nampaknya paham apa yang akan dibicarakan mertuanya itu.

“Kamu sedang berselisih dengan Briyan, betul?”

Bita lagi-lagi mengangguk.

“Karena Oliv mantannya Briyan?” tanya Alya lagi.

“Iya,” jawab Bita dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Dia tertunduk lesu. Dia selalu merasa sakit ketika mendengar nama itu.

“Kalau mama minta kamu untuk bertahan, kamu bersedia?” tanya Alya lebih hati-hati.

Bita mendongak. Memperhatikan wajah mama mertuanya. Dia tidak mampu menjawabnya. Yang ada hanya airmata yang perlahan tapi pasti mulai membanjiri kedua pipinya.

Alya segera memeluk menantunya itu.

“Mama tahu ini berat buat kamu. Tapi mama juga minta kamu untuk lebih bersabar. Mama bukannya membela Briyan. Tapi mama tahu betul siapa anak mama.”

Alya berhenti sejenak. Sementara Bita belum mampu membuka suara. Dia hanya mendengarkan dengan pandangan kosong.

“Mama tahu kalian menikah karena cinta. Dan sampai detik ini pun kalian masih sama-sama cinta. Oliv memang pernah menjadi bagian hidup Briyan. Tapi itu dulu. Dan sekarang yang Briyan punya adalah kamu. Cuma kamu.”

Bita menelan saliva, menunggu Mama Alya meneruskan ucapannya.

“Apa yang dilakukan Briyan saat ini adalah semata karena pekerjaan saja. Bukan lagi rasa cinta. Dia hanya ingin mencukupi kebutuhan keluarganya.”

Bita sebenarnya merasa tak terima dengan alasan ini. Dia sedikit merasa sakit hati dengan ucapan mamanya. Namun dia masih memilih untuk diam.

“Bertahanlah. Demi anak ini. Demi cinta kalian. Masih banyak di luar sana pasangan yang punya amsalah lebih berat dari kalian. Toh, Briyan tidak berselingkuh, kan? Biarkan saja kalau perempuan itu masih menyimpan rasa pada Briyan. Yang penting Briyan cintanya cuma sama kamu.”

Bita tercekat. Apa? Biarkan Saja? Perempuan itu bisa saja berbuat lebih. Dan jika Briyan terus-terusan bersama dia, bukankah suatu saat nanti bisa saja Briyan berpaling darinya. Memilih cinta lamanya. Mereka punya sejuta kenangan  tentunya. Dan itu bisa saja menjadi peluang bagi mereka untuk menumbuhkan rasa itu kembali. Batin Bita berteriak-teriak tak terima.

“Percuma kalau aku bertahan tapi Briyan tidak menghargaiku, Ma. Harusnya dia bisa meninggalkan perempuan yang membuat sakit hati istrinya.” Bita memberanikan diri mengungkapkan isi hatinya.

“Briyan cuma kerja, Ta. Mama nanti akan bicara sama dia, supaya setelah kontrak kerjanya selesai dia berhenti bekerja disana. Asalkan kamu mau memaafkan Briyan. Supaya masalah ini nggak berlarut-larut. Kamu harus fokus dengan kehamilanmu. Sebentar lagi anak kalian lahir.”

“Kenapa di tempat itu, Ma? Kenapa nggak di tempat lain? Atau di tempat papa?”

“Kamu, kan, tahu dari dulu dia nggak mau kerja sama papa.”

“Dan lebih memilih kerja sama mantannya?” Suara Bita meninggi.

Alya menghela napas.

“Maafin mama, Ta. Mungkin perkataan mama tadi menyinggungmu. Tapi mama mohon maafkan Briyan. Dengarkan penjelasan dia. Dan kalian kembali akur. Mama sedih melihat kalian begini. Saling mencintai tapi saling menyakiti.”

“Aku menyakiti apa, Ma?”

“Bukankah dari dulu dia memintamu berhenti bekerja, Ta. Mama tahu dia menginginkan istrinya lebih fokus jadi ibu rumah tangga saja. Itulah sebabnya dia mencari pekerjaan tambahan supaya kamu mau berhenti bekerja dan tidak mengkhawatirkan soal keuangan kalian.”

Bita menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sama sekali nggak habis pikir. Bukankah suaminya tahu dari dulu kalau dia suka bekerja. Dulu lelaki itu tidak masalah ketika harus sama-sama merampungkan pekerjaan rumah.

“Ta, mama sama sekali nggak membela Briyan. Mama juga ingin yang terbaik  buat kalian. Tapi mama juga tahu Briyan ingin kamu kelak fokus saja sama anak-anak kalian, sama suami. Bagaimana pun juga, seorang lelaki akan merasa senang jika dia dilayani dengan baik oleh istrinya. Istrinya punya banyak waktu untuk mereka,” nasihat Alya.

“Ya, Ma,” jawab Bita singkat.

“Mama janji mama akan berusaha membujuk Briyan supaya kerja saja di tempat Papa. Lagian papa sudah tua. Siapa yang akan meneruskan bisnisnya kalau bukan Briyan.”

LIVE AFTER MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang