25

2.1K 90 0
                                    

“Ta,” panggil Briyan pelan.

“Hem,” sahut Bita.

Keduanya kini tengah menikmati libur kerja. Bersantai di rumah didepan layar televisa menjadi pilihan mereka. Bita duduk bersandar sambil melihat-lihat majalah fashion. Sedangkan Briyan seperti biasa memainkan game online. Sambil sesekali mengelus-elus perut istrinya.

“Gimana kalau minggu depan kita liburan?”

“Liburan kemana? Lagian lagi hamil gini repot, cepet capek.” Bita mengalihkan perhatiannya dari balik buku.

“Kemana, kek. Kita ke pantai misalnya. Terus kita berangkat dari jumat sore sekalian nginep di resort. Pulangnya minggu pagi. Gimana?”

“Mau,” jawab Bita cepat. Matanya berbinar. “Tumben?” lanjutnya.

“Tumben apa?”

“Ngajak aku jalan-jalan. Biasanya perlu aku yang merengek dulu.” Bita mencibir.

“Halah, mau nggak ini jadinya?”

“Mau, dong.”

“Biar kamu seneng. Akhir-akhir ini kita bertengkar mulu. Heran, deh. Baru mau punya anak aja galaknya udah gini. Apalagi besok kalau udah lahir, huh bisa-bisa kayak singa,” ledek Briyan sambil menjulurkan lidahnya.

“Biarin,” balas Bita sembari mencubit perut Briyan.

“Sakit, tauk! Tuh, Nak, mamamu suka banget marah-marah, hobi ngambek,  tapi begitu papa udah minta maaf masih dicubitin juga,” seru Briyan sambil mengelus kembali perut Bita.

“Eh-eh… Ta?” Briyan melongo.

Satu tendangan kecil dia rasakan dari perut istrinya itu. Ini untuk pertama kalinya lelaki itu merasakan ada yang bergerak di dalam perut Bita.

“Kenapa, sih? Sakit?” tanya Briyan khawatir.

“Ini namanya dedek bayinya lagi main-main, Yan. Beberapa hari ini dia sudah mulai aktif nendang-nendang gitu. Kayaknya dia nggak suka deh tadi kamu ngomong gitu, makanya kamu ditengdang,” jelas Bita sambil tertawa.

Wanita itu memang sudah beberapa kali merasakan tendangan bayi di kandungannya. Tepatnya ketika dia tengah diam-diaman dengan Briyan beberapa waktu lalu. Dan hal itu lah yang membuatnya kuat selama ini. Yang sering menghapus kesedihannya. Walaupun kalau dipikir-pikir sebenarnya dia dan Briyan tak perlu bertengkar seperti itu. Mereka sudah menikah, bahkan sebentar lagi punya anak, harusnya mereka berbahagia. Bukannya sibuk mencari masalah. Mungkin jiwa mudinya masih tersisa, makanya dia jadi sering berpikir kurang dewasa.

“Eh, sayang, jangan keras-keras nendangnya, kasihan mama. Besok kalo lahir kita langsung main sepak bola aja di luar,” ujar Briyan. Kali ini diciumi perut istrinya.

“Yeee, mana bisa bayi lahir langsung diajak main bola,” cibir Bita. Tapi pipinya bersemu merah. Tak bisa dibohongi, dia sangat senang dengan momen kebersamaan ini.

“Ya, kalau udah besar, Ta,” balas Briyan. “Kamu kenapa nggak ngomong kalau dia udah bisa nendang?” tanya Briyan.

“Gimana mau ngomong, orang kamunya diemin aku terus,kok. Lupa?” sindir Bita.

“Iya, iya. Maaf. Aku sebenarnya nggak niat diemin kamu, Ta. Aku lagi capek aja, makanya nggak mood bicara sama kamu. Takutnya kamu sewot lagi. Aku udah nggak punyak tenaga untuk berantem. Udah, ah, jangan dibahas lagi. Sekarang kita damai, ya?”

Bita hanya mencebikkan bibirnya. Tak mau memperpanjang masalah. Dia kembali fokus pada majalahnya.

“Papa lanjut game dulu, ya,” ujar Briyan sambil mengelus perut Bita. Berharap bayi mungil di dalamnya menjawabnya dengan tendangan lagi. Namun nihil.

“Yaaah, udah bobok dianya,” seru lelaki itu kecewa.

“Makanya sering-sering di rumah, nemenin istrinya,” ledek Bita.

“Ini juga di rumah, Ta. Aku liburan juga banyak di rumahnya. Kalau keluar seringnya juga sama kamu,” sergah Briyan.

“Kalau yang nggak sering? Yang cuma kadang-kadang sama siapa?” ledek Bita.

“Mulai lagi, kan,” keluh Briyan.

“Enggak, enggak. Tapi besok kalau aku udah nggak kerja kamu nggak boleh nge-game mulu, ya!”

“Kenapa?”

“Yan, kalau aku nggak kerja artinya aku bakal jenuh banget di rumah terus. Nah, kalau kamu pulang kerja terus cuma main game, aku siapa yang nemenin ngobrol?” rengek Bita.

“Ya.” Cuma itu jawaban Briyan.

LIVE AFTER MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang