19

1.8K 83 0
                                    

Bita membuka pintu pagar kemudian memarkinkan mobilnya. Belum ada mobil Briyan di sana. Jelas saja, mana mungkin suaminya pulang sebelum jam lima sore. Kebetulan jalanan tidak begitu macet. Bita bisa lebih cepat sampai rumah. Tepat pukul lima dia sudah menginjakkan kaki di ruang tamu.

Perempuan itu menyimpan tasnya di kamar. Kemudian menuju dapur hendak mencuci piring kotor bekas sarapan tadi pagi. Setelah selesai, dia menyambar handuk dan segera membersihkan diri.

Bita sudah berganti pakaian rapi. Jam menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit, rupanya cukup lama tadi dia memilih baju yang pantas. Badannya sudah mulai melebar, sedangkan dia belum sempat membeli baju baru. Lebih tepatnya bingung mau beli apa tidak. Takut tidak terpakai nantinya setelah ia melahirkan. Dipoleskannya bedak tipis-tipis di wajah, lalu dia hanya menggunakan liptint saja di bibir supaya nggak kelihatan pucat. Bita melirik ponsel, tidak ada notifikasi dari Briyan. Tapi belum ada tanda-tanda juga suaminya pulang. Padahal perjalan ke rumah sakit memakan waktu tiga puluh menit.

“Jadi, nggak, sih?” gerutunya sebal karena sudah hampir telat. Akhirnya dia memutuskan untuk mencoba menghubungi nomor Briyan. Baru hendak memencet tombol panggil, sayup-sayuo terdengar suara mobil masuk gerbang. “Itu dia,” tebak Bita.

“Maaf telat, jalanan macet banget.” Briyan tergopoh-gopoh masuk rumah. “Yuk, berangkat sekarang,” lanjut pria itu.

“Kamu nggak mandi dulu?”

“Nanti aja habis dari rumah sakit.” Briyan meletakkan tas kerjanya dan menyelipkan dompetnya di balik saku.

“Nggak apa-apa kalau mu mandi dulu, Yan. Aku tunggu. Kamu pasti gerah banget.”

“Nggak, nanti aja. Yuk!” ajak Briyan yang langsung jalan ke depan. Mobilnya masih terparkir di halaman. Bita mengutit di belakang. Mengulum senyum samar.

Tiba di rumah sakit mereka segera menuju ruang tunggu dibagian KIA. Mereka terlambat lima belas menit. Dan nomor pendaftara Bita sudah dilewati satu pasien di belakangnya. Bita berbicara dengan perawat di bagian pendaftaran, tak lupa meminta maaf atas keterlambatannya. Selang beberapa menit akhirnya mereka dipersilakan masuk.

Briyan selalu ikut masuk ke dalam, dia selalu antusias pengen melihat perkembangan calon anaknya. Begitu pun kali ini, tak urung hal itu membuat Bita kembali menyunggingkan senyum. Hatinya terasa menghangat melihat itu.

“Bagus, Buk. Kandungannya normal, detak jantung janin juga bagus. Berat badan dan ukurannya juga sesuai, kok. Sudah nggak mual-mual lagi, kan?” tanya dokter sambil mengarahkan alat usg ke perut Bita. Bibir Briyan tak henti tertarik melengkung ke atas menyaksikan monitor di depannya.

“Nggak, Dok. Cuma kadang kalau pagi pas gosok gigi aja,” jawab Bita sambil ikut menyaksikan layar. Briyan di sampingnya ikut mendengarkan percakapan keduanya. Iya, dia baru saja sadar akhir-akhir ini jarang mendengar Bita muntah-muntah. Memang, sih, dia tidak di rumah siang hari. Namun biasanya setiap bangun pagi atau sarapan Bita selalu bolak-balik kamar ini, tapi sekarang memang tidak lagi.

“Oh, itu wajar, Buk. Nanti lama-lama akan hilang dengan sendirinya,” jawab dokter sambil menjelaskan hal-hal lainnya. Bita memperhatikan dengan seksama, sementara Briyan masih asyik melihat monitor USG.

Kini mereka sudah di dalam mobil perjalanan pulang ke rumah. Jalanan lengang. Memang sudah hampir pukul sembilan malam. Tadi di rumah sakit mereka antre lumayan lama untuk mengambil vitamin dan obat penambah darah.

“Mau makan apa, Ta?” tanya Briyan memecah keheningan. Sebenarnya dia baru aja mendengar perut Bita merengek. Tapi tampaknya perempuan itu tak menghiraukannya. Dia sibuk menatap jalanan depan. Entah apa yang membuatnya asyik, Briyan sendiri tidak tahu.

“Pengen bakso, sih,” jawab Bita. Setelah sepuluh menit perjalanan, baru ini keduanya berbicara. Cukup miris. Bita tak sadar menggigit bibir bawahnya. Tapi memang dari tadi dia tidak ingin memulai pembicaraan. Seolah takut tanggapan Briyan kurang enak didengar. Daripada merusak suasana happy habis melihat calon bayinya, mendingan dia diam.

“Oke, tempat biasa ya,” sahut Briyan tepat di persimpangan menuju penjual mie ayam dan bakso favorit mereka sejak pacaran. Mobil pun berbelok ke kanan, kebetulan lampu hijau masih menyala.

LIVE AFTER MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang