41

1.9K 98 0
                                    

“Mau dikirim siapa Er?”

Erlita menurunkan ponselnya seraya menoleh ke belakang. Mimik mukanya panik. Di balik tubuhnya ternyata sudah berdiri Bita yang tidak tahu sedari kapan.

“Eh, e-anu, maaf Mbak Bita, hehe,” sahutnya gelagapan sambil nyengir kuda.

“Mau dikirim ke Bella lagi?” sindir Bita.

“Iya, Mbak. Maaf, ya,udah jadiin Mas Briyan bahan gosip kita-kita. Habisnya udah ada Mbak Bita masih aja deketin cewek lain,” tuka Erlita setelah mengatur napasnya beberapa saat.

Bita hanya mengendikkan bahunya. Tidak berniat membalas ucapan cewek di hadapannya kini. Tadi, begitu keluar dari kamar mandi, dia memergoki Erlita seperti sedang mengintip. Akhirnya, diam-diam dia pun ikut mengikuti kegiatan Erlita. Teryata cewek itu tengah berusaha memotret kemesraan suaminya dengan mantan pacar.

Bagaimana perasaan Bita? Tentu saja ikut kecewa karena dia tadi juga melihat dengan jelas pemandangan itu. Namun dia harus bisa menahan emosinya. Apalagi ada Erlita. Bagaimana pun Erlita masuk dalam kategori perempuan berbahaya. Karena dia juga mengincar suaminya dari dulu.

Jadi, dia memilih untuk kelihatan tenang. Supaya Erlita tidak menggunakan kesempatan tersebut. Karena jujur, setelah dipikir-pikir, kejadian waktu lalu itu bukan salah kirim. Nampaknya Erlita memang sengaja mengomporinya. Mungkin juga tadi dia juga berniat yang sama pada dirinya.

“Mbak Bita di sini juga?” tanya Erlita setelah cukup lama tidak mendengar jawaban atau komentar Bita.

“Iya, diajak Briyan. Kenapa?”

“Oh, ngakkpapa kok, Mbak. Cuma Mas Briyan sama cewek itu berani juga, ya? Hati-hati, ya, Mbak,” ucap Erlita sambil tersenyum penuh arti.

“Oke,” jawab Bita singkat lalu beranjak menghampiri meja Briyan.

Bita kembali ke tempat duduknya di samping Briyan. Kedua orang di dekatnya sudah dalam posisi normal. Briyan sendiri masih fokus dengan laptopnya. Sementara Olivia hanya duduk sambil menyeruput jus alpukatnya.

“Udah?” tanya Briyan sambil menoleh sebentar lalu kembali fokus pada kerjaannya.

“Heem.” Hanya itu yang keluar dari mulut Bita. Perempuan itu masih berusaha menahan emosinya. Sambil sesekali melirik perempuan di depannya.

Akhirnya semua hanya terdiam, sibuk dengan kegiatan masing-masing.

***

“Mau makan apa, Ta?” tanya Briyan. Kini mereka sudah dalam perjalanan pulang.

“Apa aja, deh,” sahut Bita.

“Kamu kenapa?” Briyan merasakan ada kejanggalan dengan istrinya.

“Suntuk aja,” jawab Bita belum mau mengaku.

“Maaf, ya, agak lama. Kenapa tadi nggak bilang kalau capek?”

“Terus kamu bakalan anterin aku pulang, terus balik lagi kesana, terus lanjutin lagi kegiatan kalian?” Suara Bita nnaik satu oktaf.

Briyan mengeryit. Apakah wanita itu melihat kejadian tadi? Briyan mencoba menerka-nerka maksud pembicaraan Bita.

“Lain kali kalau mau bermesraan lihat-lihat tempat. Kamu itu suami orang. Akan sangat riskan bermesraan secara terbuka dengan wanita lain,” ujar Bita semakin kesal dengan diamnya sang suami.

“Kamu melihatnya? Dia yang mulai, dan aku juga nggak memberikan respon.” Akhirnya Briyan paham kenapa istrinya tiba-tiba berubah sikap.

“Bukan cuma aku. Erlita juga melihatnya. Bahkan dia mengambil gambar kalian berdua.”

“Erlita? Ngapain dia di sana?”

“Suka-suka dia. Itu kan tempat untuk umum. Bukan hotel privat yang kalian sewa buat berdua aja.”

Briyan menghela napasnya kasar. Dia bingung kenapa justru kalimat itu yang muncul. Padahal jelas-jelas istrinya dalam posisi marah. Erlita harusnya bukan menjadi bagian penting dari isi pembicaraan mereka. Tapi, entah mengapa, Briyan merasa ada yang aneh dengan Erlita. Seperti dejavu.

“Kita makan di situ mau?” tanya Briyan menepikan mobilnya.

Bita melihat sebuah restoran bergaya klasik di tepi jalan. Ada berbagai macam menu ayam di sana dengan ayam kampong sebagai menu andalannya. Bita mengangguk. Dia sudah sangat lapar. Ada baiknya makan dulu sebelum melanjutkan marahnya pada Briyan.

Briyan segera melajukan kembali mobilnya ke tempat parkir di depan resto.

“Ta, aku minta maaf, ya. Setelah satu produk ini, aku bakalan berhenti ambil kerja di sana, kok. Maafin aku juga udah bikin kamu kecewa lagi. Jujur itu di luar kendaliku. Tapi nggakpapa kalau kamu memang marah sama aku,” ujar Briyan panjang lebar setelah istrinya sama sekali tak bicara.

Pelayan datang mebawakan minuman. Bita mengucapkan terima kaih dan mengambil lemon tea miliknya. Kemudian segera menikmatinya dalam diam. Bahkan dia tak menatap wajah Briyan meskipun dia tahu lelaki itu tengah menanti jawabannya.

“Tapi marahnya jangan lama-lama, ya. Ini makanannya aku yang traktir, deh. Boleh nambah, kok,” lanjut Briyan berusaha menghangatkan suasana.

Bita menoleh ke arah Briyan. Memandangnya dengan tatapan aneh. Udah tanggung jawabmu kasih makan aku, omelnya dalam hati.

“Bercanda, Ta. Udah dong marahnya. Iya aku salah. Tapi beneran dia yang nyosor duluan, Ta. Janji deh bentar lagi selesai kerjaan aku udah gak contact sama dia lagi. Lagian awal bulan aku udah ngomong sama papa kalau bakal ikut andil di perusahannya,” jawab Briyan dengan tatapan memohon.

Bita sekali lagi menatap Briyan.

Pelayan kembali datang membawa pesanan makanan mereka. Bita langsung saja menyambar piringnya dang menikmati ayang panggang pesanannya dengan lahap. Briyan melongo menatap itu. Bita kayak orang nggak makan tiga hari, batin Briyan.

LIVE AFTER MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang