38

1.7K 95 0
                                    

“Pagi, Pa?” sapa Bita sambil melangkahkan kakinya menuju ranjang Papanya.

Lelaki itu sedang makan buah ditemani istrinya. Keduanya menoleh dan tersenyum ke arah Bita.

“Ta, itu kenapa?” Dina justru balik bertanya.

“Ah, ini kemarin tiba-tiba bangun tidur pusing. Eh, malah kepentok. Jadinya gini, deh!” ujar Bita tersenyum berusaha meyakinkan.

“Beneran?” tanya Dina memastikan sekali lagi.

“Iya, Ma. Aman. Sekarang udah nggakpapa, kok. Maaf, ya, kemarin jadi nggak bisa kesini jengukin papa. Oh, ya, gimana keadaan papa?” Bita mengalihkan pembicaraan.

“Papa baik, Nak. Semoga bisa cepet pulang. Papa bosan di rumah sakit terus,” keluh Leo.

Bita terkekeh. Dia baru saja mengalaminya. Memang membosankan sekali berdiam diri di rumah sakit. Belum lagi rasa makanan yang terlalu sulit diterima lidahnya.

Ketiganya lalu mengobrol seolah lama tidak bertemu. Bita memang tidak membicarakan masalahnya dengan Briyan. Dia tidak ingin membuat kedua orangtuanya khawatir. Terlebih papanya baru dalam masa pemulihan. Lagian masalahnya dengan Briyan juga udah kelar. Yah, walaupun Bita belum sepenuhnya yakin, tapi biar bagaimanapun dia harus mempertahankan pernikahannya yang baru seumur jagung itu.

Pukul dua belas siang jam kunjung usai. Bita berpamitan dengan mama papanya. Lalu dia keluar ruangan sambil memesan taxi online. Dia pengin cepet-cepet sampai rumah. Rasanya punggungnya mulai susah diajak kompromi sekarang.

Bruk!

“Aduh,” jerit Bita. Ponselnya terjatuh sebelum dia sempat menyelesaikan pesanannya.

“Eh, maaf, Mbak. Saya nggak sengaja,” ujar seorang lelaki seraya memungut ponsel dengan softcase bunga-bunga kuntum bernuansa peach.

“Aku yang minta maaf, jalan nggak lihat-lihat,” jawab Bita.

“Bita? Kamu rupanya?”

Keduanya kini saling bertatapan.

Bita menerima uluran ponselnya dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Namun sial, ponselnya mati. Entah rusak karena jatuh atau kehabisan baterai. Dia lupa kapan terakhir kali mengecasnya. Sepertinya semalam dia memang tidak mengisis daya benda tersebut.

“Yah,” gumam Bita.

“Kenapa? Mati ya? Aduh maaf, aku nggak sengaja.”

“Kayaknya habis baterai aja,” jawab Bita.

“Kamu mau pulang?”  tanya Lucky.

“Iya.”

“Naik mobil sendiri lagi hamil tua gini?”

“Tadinya mau naik taxi online, cuma ternyata ponselku keburu mati. Yaudah nanti cari taxi di depan aja.”

“Suamimu? Masak tega banget ngebiarin kamu lagi hamil gini?”

“Dia kerja. Lagian ini atas dasar kemauanku.

“Aku antar aja, ya?” Lucky menawarkan diri.

“Nggak usah repot-repot. Kamu kan juga lagi kerja,” tolak Bita sopan.

“Nggak ada yang repot buat kamu, kamu tahu itu dari dulu.”

Bita menyipitkan mata. Dia benar-benar tidak ingin terjebak terlalu lama dengan laki-laki ini. Walaupun tahu Lucky adalah lelaki yang baik, teramat baik malah. Namun dia tidak ingin berhubungan lagi dengan lelaki itu.

“Ayo! Mumpung aku baru istirahat!” ucap Lucky yang tanpa permisi langsung menggandeng tangan Bita.

Bita terperangah. Berusaha melepaskan diri namun genggaman lelaki itu lebih kuat. Pengin berteriak tapi ini rumah sakit. Sedangkan lelaki itu sudah melangkahkan kakinya. Sehingga mau tak mau Bita mengikuti langkah itu daripada terseret.

Tepat ketika mereka membelok di sebuah lorong, mata Bita bertemu tatap dengan Briyan. Bita buru-buru berusaha kembali melepaskan diri. Karena Lucky pun tiba-tiba berhenti. Maka lebih mudah bagi Bita untuk keluar dari cengkeraman tangannya. Namun sayangnya Briyan sudah melihatnya dulu sebelum tangan Bita sempat terlepas.

Lucky dengan sadar diri melepaskan pegangannya.

“Yan, kamu ngapain kesini?” tanya Bita gugup.

Briyan hanya diam memandang tajam sosok dokter di hadapannya.

“Maaf, saya tidak bermaksud apa-apa. Bita teman baik saya. Ponselnya mati sebelum dia berhasil memesan taxi online. Jadi saya memaksa untuk mengantarnya,” jelas Lucky.

Lelaki itu tak mau ada salah paham. Bagaimana pun Bita adalah perempuan baik-baik. Dia pantas mendapatkan yang terbaik pula.

“Ayo ikut!” perintah Briyan sambil menarik tangan Bita. Lelaki itu sama sekali tak menggubris perkataan dokter tadi.

Sementara Lucky menghela napas berat melihat kepergian dua sejoli itu. Tangannya mengusap wajahnya dengan kasar. Dia sadar dirinya sudah menyia-nyiakan sebuah kesempatan.

LIVE AFTER MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang