44

1.8K 102 1
                                    

Bita sendirian di ruangan. Briyan tadi pulang sebentar untuk mandi dan mengambil beberapa potong baju. Lelaki itu memutuskan untuk ijin dari kantor esok hari. Karena Bita memang masih harus dalam pengawasan dokter saat ini. Kalau kondisinya baik, baru besok siang dia diperbolehkan pulang.

“Hai, Ta,” sapa Lucky yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.

Bita kaget dengan kehadiran lelaki itu. Tadinya dia pikir Briyan sudah sampai rumah sakit lagi.

“Kok kamu ada di sini?” tanya Bita.

“Ya, kan, aku kerja di rumah sakit ini,” jawab Lucky sambil tersenyum.

Bita hanya membalas senyum itu dengan cengiran kuda. Dia lupa kalau Lucky adalah salah satu dokter di sini. Apalagi lelaki itu mengenakan jas kebanggaan, tentu dia sedang dapat sift.

“Kamu gimana? Ada keluhan?”

“Kok kamu tahu kalau aku dirawat di sini?” tanya Bita lagi. Kedua alisnya hampir menyatu. Ada kebingungan. Lucky tidak di dampingi perawat atau siapa-siapa. Jadi jelas Lucky tidak sedang ingin memeriksanya, bukan?

“Tadi ada yang bilang ke aku,” jawan Lucky santai.

“Emang temen-temenmu di sini tahu kalau kamu kenal aku?”

“Eh---itu, ada yang ingat pernah melihat kita ngobrol beberapa kali waktu papamu di rawat,” jelas Lucky.

Bita ragu. Tapi kemungkinan itu bisa juga. Kebetulan yang patut diacungi jempol mungkin.

“Kamu udah baikan?” tanya Lucky lagi karena pertanyaan itu tak kunjung di jawab sedari tadi.

“Baik,” jawab Bita.

“Kenapa bisa jatuh?”

Bita tertegun kembali, sebelum akhirnya dia menjawab, “aku juga nggak begitu yakin, semua terjadi tiba-tiba.”

“Oh, gitu. Lain kali hati-hati. Apalagi dengan kondisimu yang lagi hamil tua. Kurasa suamimu harus lebih ekstra menjagamu,” ujar Lucky.

“Iya, makasih. Kebetulan Briyan aku minta buat beliin minum tadi,” jawab Bita tak mau suaminya disalahkan.

“Sekarang nggak ada yang jagain kamu?”

“Nanti Briyan. Dia baru pulang sebentar ambil ganti.”

Are you happy?” tanya Lucky sambil memandang lekat-lekat wanita di hadapannya.

Bita tak mengerti kenapa Lucky justru menanyakan hal itu.

Happy.”

Sure?”

“Siapa yang nggak bahagia bisa menikah dengan orang yang kita cintai sekaligus mencintai kita?”

Lucky hanya manggut-manggut.

“Aku harus balik kerja lagi. Jaga diri baik-baik, ya,” pamit Lucky.

“Makasih,” jawab Bita setelah mengangguk singkat.

Lucky membalikkan badan dan berjalan ke arah pintu. Ada sesak di dadanya. Ada penyesalan. Ada rasa bersalah. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Karena lelaki itu selalu berusaha menampik penglihatannya. Dia selalu meyakinkan dirinya, bahwa Bita tak akan bisa bahagia dengan Briyan. Namun yang dia lihat justru Bita selalu terlihat bahagia sejak pacaran dengan Briyan. Bahkan di hari pernikahan mereka. Lucky merasa hampir tidak kuat melihat senyum bahagia sahabat lamanya itu.

Dan ketika beberapa hari yang lalu dia memergoki perempuan itu tengan menangis karena suaminya, dia semakin yakin kalau Bita hanya pura-pura bahagia.

Bita memperhatikan punggung lebar Lucky yang mulai menjauh. Tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang aneh. Seperti…

“Ngapain lo di sini?” Tiba-tiba Briyan sudah di depan pintu.

“Ini rumah sakit. Dan saya kerja di sini,” jawab Lucky tenang.

“Ngapain di kamar istri gue? Gue rasa ini bukan jam observasi pasien?” tanya Briyan lagi dengan nada tak senang.

“Salah kalau saya memastikan keadaan sahabat lama saya?” tanya Lucky dengan senyum yang tak bisa ditebak.

Briyan mendengus sebal. Dia melemparkan tatapan tajam pada Lucky. Kemudian berlalu melewati lelaki itu.

“Lain kali yang bener jagain istri. Saya sudah mengalah merelakannya untuk anda,” ujar Lucky lirih namun masih bisa terdengar sampai telinga Briyan.

Briyan mengepalkan kedua tangannya.

LIVE AFTER MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang