13

692 53 18
                                    

WARN: This story is mature content. There are strong adult language, explicit scene & graphic violence. Please be aware.

"HAPUS air matamu, Romeo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"HAPUS air matamu, Romeo. Super-hero tidak menangis. Ayo kita pulang sekarang!"

Empat belas tahun Romeo mengabaikan desisan ayahnya. Dua lututnya bertumpu di atas tanah, tangannya meremas gumpalan tanah di bawah lututnya.

"Apa kau mendengarku, Romeo?" Jacopo Constantino mendesis di belakang punggung Romeo, "Pulang sekarang!" tegasnya, mulai kehilangan kesabaran.

Romeo tetap berlutut di tempat, menenggelamkan wajah di balik lutut dan menangis sesegukan.

"Romeo!" Jac menarik kasar kerah bagian belakang kemeja Romeo, menarik paksa remaja itu berdiri. Ia mencengkeram kedua lengan Romeo, membuat Romeo menghadap padanya, lalu melebarkan mata nyalang begitu melihat wajah Romeo, "Idiot!" umpatnya, menepuk kesal pipi Romeo.

"Hapus air matamu, idiot! Kau lelaki, bukan pussy!" geram Jac lagi, menangkup kasar rahang Romeo, "Hapus!" bentaknya.

Romeo menghempas kasar tangan ayahnya, menatap marah ayahnya, "Mama layak ditangisi."

"Dia sudah mati, idiot. Tangisanmu takkan membangunkannya. Berhenti menangis dan pulang sekarang atau hukumanmu akan jauh lebih berat dari yang sudah kupikirkan melihatmu menangis di sini," ancam Jac.

Romeo melirik makam ibunya, mengernyit ngilu membayangkan ibunya tidur sendirian di bawah tanah.

"Aku akan menemani Mama di sini," cetus Romeo, kembali menatap nyalang ayahnya.

BUG.

"Pussy!" Jac lagi-lagi mengumpat, "Aku membesarkanmu untuk menjadi Superman, bukan Barbie. Hapus air matamu sekarang sebelum aku mencongkel matamu dengan pisauku dan membuangnya di atas makam ibumu. Kau tetap bisa menjadi bos dengan satu mata," desisnya.

"Aku akan tetap di sini bersama Mama," balas Romeo dingin, menyeka darah yang mengalir di hidungnya.

Jac menyipitkan sebelah mata, "Menantangku, Romeo?"

Romeo mengangkat tinggi dagunya, menatap berani ayahnya, "Congkel mataku dan biarkan aku mati di sini menemani Mama."

Bola mata ayahnya memancar amarah, rahang ayahnya mengetat, pun bibir ayahnya menipis tajam. Kepalan tangan ayahnya terangkat ke udara, Romeo menunggu-nunggu pukulan-terlalu-sering-ayahnya-padanya.

"Paman."

Jac menggeram, terganggu dengan tarikan celananya.

"Jangan pukul Romeo."

Romeo mengikuti arah pandangan muram ayahnya, pada satu-satunya gadis yang memeluk kaki ayahnya.

"Gelitik saja Romeo jika dia nakal," kata gadis itu dengan senyum.

THE DARKEST OBSESSION (The Darkest #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang