19. pergi

26 6 0
                                    

Sore hari sepulang sekolah, Langit mendapatkan panggilan dari Denis katanya ada tawuran yang cukup serius. Baru pertama kali Lioner memiliki musuh, Raflesia nama geng musuh pertama Lioner. Awalnya Langit shock medapat kabar bahwa Lioner telah memiliki musuh yang sebenarnya.

"Udah siap?  Untuk tawuran kali ini bukan membentuk solidaritas seperti sebelumnya, namun kali ini kita harus serius menanggapi musuh utama kita, sehabis tawuran kita ajak mereka berdiskusi, kenapa, mengapa bisa menjadi musuh Lioner. Selesaikan masalah, Lioner dibentuk bukan untuk memiliki musuh. Kalin paham?" petuah Denis dengan serius. Karena lawannya saat ini bukan sebagai teman tetapi sebagai musuh.

"Paham." Mereka menjawab dengan serempak.

Berjenis- jenis motor milik anggota Lioner menempuh perjalanan. Banyak yang melihat kearah mereka karena bisa dibilang kini Lioner mengambil setengah jalan. Dengan membawa semua peserta yang berisi 85 orang Lioner yakin bahwa mereka akan membawa kemenangan.

"Si banci datang guys," teriak lawan ketika melihat bendera Lioner yang bertuliskan huruf L&W berkibar diterpa angin sore.

"Gue kira kalian bakal bersembunyi di markas lusuh kalian," ejek Arman si ketua Raflesia.

Para Lioner berdecak malas, ini tidak enaknya ketika tawuran, apa lagi jika sang ketua lawan banyak bicara dan mencemooh terlebih dahulu. "Heh bunga bangkai, banyak omong lu tampar dikit aja pasti pingsan," ejek balik Arif yang merasa kesal sedari tadi.

"Kita pingsan? Hahah ya kali." Arman tertawa mendegar perkataan Arif. Memang apa an pingsan cuman ditampar, pikir Arman.

Salah satu anggota Lioner maju kedepan anggota Raflesia yang memiliki tubuh kurus kering.

Plakk

"Yahh pingsan," ucap anggota Lioner itu.

Lioner tertawa, ucapan sombong Arman teryata tidak valid.

"Banyak cincong kalian." Setelah dipermalukan Arman langsung menyuruh anggotanya menyerah Lioner. Suara pukulan,teriakan saling bersahutan.

Lionet terkenal dengan visual, wajah datar, namun siapa sangka dibalik muka datar ada humor yang sangat rendah yang melekat disifat mereka, jika ditanya kehebatan mereka disaat berkelahi? Mereka sangat hebat, Lioner memiliki sebuah ekstrakurikuler seperti sekolah.

Ekstrakurikuler yang dimiliki Lioner seperti; Hafalan surah al-quran( bagi yang muslim), karate yang dilatih oleh pelatih bayaran yang sudah memiliki pengalaman, memanah maupun menembak yang dilatih dengan orang yang profesional.

"Ngapain duduk, lo," ujar Sangkar anggota Raflesia kepada Langit yang sekarang mengatur nafas.

"Capek juga," jawab Langit mengusap peluhnya yang berada diwajah.

"Segitu aja capek."

Langit menolehkan kepalanya ke cowok tersebut, sambil mencebikan bibir, julid. "Ceilahh kalau gak capek ngapain lo duduk disitu weh."

"Ya gak pa-pa. Gue cu...." ucapan Sangkar berhenti ketika bunyi ponsel Langit.

"Halo kenapa, Pa?"

"Cepet pulang, Bundamu telah pergi." Lima kata yang didengar Langit meruntuhkan semangat Langit, dengan tergesa gesa Langit segera berlari ketempat motornya berada.

Motor yang dikendarai Langit sangat cepat melebihi batas normal. Sesampainya dirumah dia segera menghampiri mayat Ibunya yang sudah ditutupi kain.

"Bunda ninggalin Langit? Kenapa Bunda, Bunda gak sayang Langit," Langit terus bertanya  beruntun dengar air mata yang terus mengalir, kehilangan orang tua perempuan adalah hal yang sangat sangat menyakitkan bagi seorang anak.

"Bunda, Langit belum sukses tapi Bunda udah ninggalin Langit duluan. Langit gak mau ditinggal Bunda." Anak yang dicap ramah oleh tetangga, kinu menangis tersedu-sedu sambil memeluk mayat Bundanya.

"Udah, Nak. Sekarang kamu ambil wudhu gih, ngaji, jangan nangis." Kakek dari Ibunya memberikan petuah kepada Langit.

Langit menuruti ucapan kakeknya, dia segera mengambil wudhu dan mengambil al-quran,membaca dalam hati.

Penguburan Bunda Langit telah selesai, sedari tadi Langit tidak melihat Papinya. Kemana orang itu, pikir Langit.

"Om, ada dikamarnya," ujar Mentari memberi tahu Langit. Mentari segera hadir ketika mendapatkan info di grup kelasnya.

"Tari, Bunda udah gak ada. Gak ada yang sayang dan dukung Langit lagi, Langit gak mau ditinggal bunda." Langit kembali menangis sambil memeluk nisan Bundanya. Tidak seharusnya Langit kembali menangis itu menjadi penghalang Bundanya untuk tenang, tapi apa daya kenangannya semasa kecil sampai kini terus berputar dalam memori otaknya.

"Bunda topi Langit mana."

"Ini apa? Makanya nyari pakek mata."

...

"Bunda, Langit gak suka sama perkataan Papi, Papi maksa Langit terus."

"Udah yahh, jangan nangis jagoan Bunda, kata Papi itu yang terbaik kok buat Langit ."

"Udah jangan gitu, Langit mau Bunda sedih disana, Mentari aja gak nangis ditinggal Mama," ucap Mentari menenangkan.

Langit mendongak menatap Mentari. "Iya Kamu kan gak tau gimana rasanya punya Ibu makanya gak nangis," ucap Langit membuat Mentari sedih, iya dia memang tidak tau rasanya punya Ibu.

Dia memang tidak tau rasanya dimanja Ibunya, dia tidak tau gimana rasanya masakan Ibunya, dia tidak tau hangatnya pelukan Ibunya, tapi  bisakah Langit tidak mengucapkan itu?.

Langit sadar jika ucapannya tadi membuat Mentari sedih dan terluka. "Tari maafin Langit."

Mentari tersenyum teduh." Iya, Tari gak pa-pa kok. Yaudah kita pulang yah."

Sebelum beranjak dari kuburan Bundanya, Langit maupun Mentari kembali berdoa. Langit mencium nisan Bundanya dengan salam pamitan. "Bunda Langit pergi dulu yah, besok Langit janji akan datang Ke rumah baru Bunda. Jangan lupa mampir kedalam mimpi Langit. Langit sayang Bunda."

🌻🌿🌻

Mentari  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang