Setelah mumet dengan soal UN kini semua anak kelas 12 IPA 2 dan para guru sedang masa perjalanan ke Jakarta, menyaksikan salah satu murid SMANIG melaksanakan pernikahan.
Semuanya ada dalam satu pesawat milik perusahaan TS Glow atau pesawat milik perusahaan Awan, ayah Mentari dengan biaya setengah dari harga aslinya, jika menggunakan pesawat umum seharga 417.000 maka biaya yang mereka bayar adalah 208,500.
"Tar, lo yakin kuat?" ledek Putra, teman sekelas mereka.
"Emang Langit harus gue gendong?" Mereka sedari tadi mengejek Mentari yang katanya takut nangis melihat Langit yang bersanding dengan cewek lain.
"Kalau gak kuat senderan sama pundak Mas ya, dek," sahut Adit dengan bercanda.
"Gila si Adit mau nikung temen sendiri."
"Nikung? Helloww Mas Adit anti nikung- menikung yah, kalau niat menikung kenapa gak nikung abangnya Mentari aja? Biar bisa bareng sama Dedek Safira." Adit menyenggol pelan tangan Safira yang kebetulan dekat dengannya. Safira melotot tidak menerima lengannya disenggol oleh Adit.
"Apa an! Lo nikung Abang gue, mati lo!" ucapan Mentari membuat Adit bepura-pura takut.
Perjalan yang memakan 1 jam 30 menit itu, sangatlah pendek ketika diisi dengan bercandaan.
🍉🌱🍉
"Kalau gak kuat bilang yah, biar gue siap mengangkat ponsel," bisik Putra kepada Mentari.
"Ngapain?"
"Kan biar viral, mantan hadir dalam nikahan mantan."
"Sialan," umpat Mentari memukul bahu Putra.
Acara akad telah dilaksanakan kemarinnya sebelum repsepsi, kini 12 IPA 2 berpisah ada yang langsung ke Langit untuk mengucapkan selamat ada juga yang langsung duduk mengambil makanan, seperti Arif dan Putra.
"Jangan malu-maluin napa," ujar Sifa kepada Arif dan Putra yang mengambil banyak kue.
Mereka adalah mereka dengan tingkah konyolnya, membuat semua orang tertawa dan kadang juga jengkel. Namun, ketika mereka pergi maka semua akan merasa kehilangan.
"Udah belum sih makannya? Ayok yang lain udah ngucapin!" seru Sifa yang sedikit sensi dengan Arif dan Putra.
"Iya tuan putri yang cantiknya mengalahkan Dasha Taran," puji Putra.
Dengan Mentari yang paling akhir membuat Putra mengangkat ponselnya saat Langit dan Mentari bersitatap.
"Maaf," kata Langit. "Maaf... maaf karena gue gak netapin janji, lo jangan sedih yah," ungkap Langit merasa bersalah sedangkan Clara dia hanya bisa menatap Langit dan Mentari.
"Satu kata yang mau gue ucapin."
"Apa?" tanya Langit penasaran.
"Gue...." Gantung Mentari. "Bodo amat, mau lo nikah sama janda anak satu pun gue gak peduli!" sarkas Mentari membuat hati Langit nyeri sedikit, ingat sedikit tidak banyak.
"Ohh iya, selamat ya Clara kalau dia macam-macam sunat aja, kalau dia marah atau mukul, lawan jangan takut, tapi dia gak pemukul kok... eh gak tau juga," saran tak bermutu milik Mentari diberikan kepada Clara.
"Iya, Tar. Gue minta maaf yah," ujar Clara.
"Gila! Berasa gue orang terlembut disini, semuanya minta maaf padahal lo gak ada salah sama gue." Setelah mengucapkan samawa Mentari turun.
"Kok gak ada drama nangis-nangis sih, padahal kamera gue udah siap merekam," cibir Putra merasa tidak menerima.
Mereka tidak langsung pulang ke Surabaya, mereka akan pulang keesokannya. Berlibur, menyegarkan otak setelah bekerja keras untuk menjawab soal UN.
Mentari dan teman akrabnya berpisah dengan yang lain, karena memang diperbolehkan pergi sendiri-sendiri.
"Kemana?" tanya Safira.
"Ra, pabrik skincare punya mertua lo ada disekitar sini yah?" Bukan menjawab pertanyaan Safira, Roket malah ikut bertanya.
"Iya,memang kenapa?" sahut Mentari karena Safira sedang menerima telepon dari sang suami.
"Gak, tanya aja."
"Gue sih gak mau ribet, gimana kalau makan lalapan aja tuh disana," tunjuk Adit pada angkringan didepannya. "Pas makan di pernikahan Langit lidah gue kurang cocok, mungkin lidah gue lidah kampung."
Semuanya mengangguk menyetujui saran dari Adit, selain kurang cocok dilidahnya porsinya juka kurang, karena tidak mungkin untuk menambah bukan?
"Put, kalau ditanya sama penjualnya nanti mau milih sayap atau bahu lo milih mana?" ujar Arif kepada Putra yang sedang membalas pesan Bundanya.
"Hah?"
"Ck, kalau dis...." Belum Arif mengulang pertanyaannya, Putra lebih dulu menyela.
"Gue mau milih sayap aja, biar terbang bersamanya meraih masa depan yang cerah." Arif menatap Putra terheran, bilang 'hah' tapi tetap bisa menjawab pertanyaannya,aneh.
"Bucin ditambah halu ya gini," cibir Arif.
"Hidup tanpa halu itu hampa, bestai." Putra mempercepat langkah kakinya, kini dia berada disebelah Mentari.
Arif memandang mereka berdua yang lagi tertawa. "Putra kek ngebet banget sama Mentari, gak ada Langit Putra pun jadi," gumam Arif dan menyusul mereka yang sudah sedikit jauh dengannya.
"Sayang ada dimana." Kini Angkasa dan Safira melakukan videocall dengan mesra membuaf Sifa mencibirk kelakuan temannya yang membuat jiwa jomblonya meronta ingin dilepaskan.
"Aku ada di warung lalapan nih, mau makan."
"Memang tadi gak makan, hmm?" tanya Angkasa yang sedang menggunakan jasnya, mungkin habis meeting.
"Udah, tapi yang lain mau makan lagi, yaudah aku mau juga."
"Cabenya jangan banyak-banyak sayang, nanti anak kita panas diperut kamu." Pernyataan Angkasa membuat teman Safira sekaligus Mentari menoleh sepenuhnya pada Safira.
"Apa!"
"Lo udah hamil, Ra? Gila... gila Abangnya Mentari hebat, perasaan baru aja nikah, mau satu bulan aja kurang satu minggu lagi," heboh Arif tak tau tempat.
"Belum," jawab singkat Safira.
Mereka makan sambil bercanda kadang juga bergibah, tak mempedulikan Safira dan Angkasa yang semakin lama semakin bucin itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari (END)
Ficção AdolescenteJangan lupa vote dan coment!! Mentari, gadis asli Surabaya itu memiliki sebuah kemampuan yang paling diinginkan oleh orang lain, yaitu bisa mendengarkan suara hati seseorang. jangan mencoba untuk berbohong kepada gadis itu, karena dia mendengar...