ー7

601 119 13
                                    

"pilih, mati di tanganku atau mikey?"

pria di depannya bergetar hebat, takut dengan sora yang sedang duduk di hadapannya.

sora bersandar lalu mengangkat bahu. "walaupun aku yakin mikey tak akan mau membunuhmu sih."

"j-jadi, aku tidak akan mati?"

iris biru itu berkilat sangsi. "kata siapa? kau kira aku tak bisa membunuh pengkhianat sepertimu?"

pengkhianat itu melebarkan mata. "apa—"

dak!

satu tendangan tepat mengenai dagunya. tak memberi jeda, sora kembali menendang perutnya. berkali-kali. sampai sang pengkhianat mengeluarkan darah dari mulutnya. sementara itu, korban yang ditendang tak bisa membalas karena tangan dan kakinya diikat.

sora berjongkok, menatap pengkhianat bonten dengan malas. "inilah akibatnya jika kau berkhianat."

kepalanya bergerak ke kiri, tempat berdirinya dua anggota yang menemani.

jari lentiknya menunjuk korban tendangannya, sudut bibirnya tertarik mengulas senyum. "aku yakin kalian lebih cerdas darinya. kalian tidak akan mau jadi seperti ini kan?"

keduanya segera menggeleng ribut. "t-tentu tidak, youma—"

"sora."

"a-ah iya, sora san."

sora mengangguk senang. ia bangkit berdiri, "otakmu itu gunanya untuk dipakai berpikir. setiap perbuatan, pasti memiliki konsekuensi. kau masuk bonten, kau sudah pasti dicap jahat. kau berkhianat, tentu saja kau akan mati."

perempuan itu melipat tangannya di belakang. "ada sebab tentu ada akibat, bukan begitu?"

setelah itu, ia bertepuk tangan, "jadi," tangannya menyingkirkan jas di sisi kanan. lalu menarik sebuah revolver dan menodongkannya. senyumannya melebar, "karena aku sedang malas untuk menghajarmu, pistol lebih cepat bukan?"

sang pengkhianat melotot. "t-tidak, m-maaf—"

"kesempatan kedua tidak pernah ada dalam bonten. sejak kau melakukan pengkhianatan, sejak itu pula lah kau menjadi musuh kami."

"s-sora san, tolong m-maafkan aku-"

"nu-uh. sudah kubilang kau tidak punya kesempatan kedua."

ibu jarinya menarik hammer revolver, pelatuk ditarik, dan,

dar! dar! dar!

darah terciprat kemana-mana. tidak ada suara teriakan karena korban langsung mati. hanya ringisan ngeri yang keluar dari dua orang anggota di sebelah kirinya.

sora mengusap pipinya yang terkena darah. ia mendesis kecil ketika melihat revolver kesayangannya juga terkena cipratan darah.

ia berbalik, "urus tubuhnya. jangan sampai polisi menemukannya." kedua anggota bonten itu menuruti perintahnya dan segera menyeret tubuh bersimbah darah itu.

sora membuka pintu dan mengangkat sebelah alisnya kala melihat orang yang terus menerus mengganggunya akhir-akhir ini berada di depannya "sedang apa kau di sini?"

ran tersenyum lalu mengulurkan sebuah sapu tangan. "menunggumu."

sora melirik sapu tangan berwarna biru itu dan mengambilnya. ia berjalan lebih dulu, "jangan harap aku akan mengatakan terima kasih."

sang pria tertawa kecil. "kau memakainya saja sudah cukup bagiku."

orang keempat bonten itu seketika merinding. ia melirik ran jijik, "apa, kau orang aneh ya?"

ran mengangkat bahu acuh. "aku hanya seperti ini padamu." sora melempar sapu tangannya tepat ke wajah sang eksekutif bonten. "jangan pernah mengatakan itu lagi! menjijikkan!"

tawa khas kembali terdengar, membuat sora berjalan lebih cepat.

ran mengejarnya lalu menggenggam tangannya, membuat sora berbalik. "lepas."

tak menanggapi ucapan perempuan di hadapannya, ran mengusap pipi sora dengan sapu tangan tadi.

sora mengernyit, sedangkan ran tersenyum. "ada darah di pipimu. kau lupa membersihkannya."

bukannya memberontak atau mengatainya seperti biasa, kali ini sora hanya diam.

entah mengapa ia merasa ada kehangatan yang tersalur padanya hanya karena pria yang sedang membersihkan darah di wajahnya ini mengusap pipinya dengan sapu tangan.

sudah berapa lama sejak ia terakhir kali merasakannya? sepuluh tahun lalu?

perlahan rasa panas menjalar ke kedua pipinya. ran yang melihat itu terkesiap. "ada apa? wajahmu tiba-tiba memerah. apa kau demam?"

ran menundukkan wajahnya dan mengadukan dahinya dengan dahi sora. tentu saja sora sontak mundur dengan wajah yang semakin memerah. "a-apa yang kau lakukan?!"

sebelah alis naik, bingung. "mengecek apakah kau demam?"

"tapi mengapa harus pakai dahi?!"

"pakai dahi lebih terasa."

"tidak ada cara lain memangnya?!"

"aku maunya pakai dahi."

sora menggertakkan gigi. kesal karena terus menerus dibuat bungkam tanpa bisa membalas oleh si haitani sulung.

"kau tidak demam. lalu kenapa wajahmu memerah? apa kau punya alergi?"

sora tersentak. ia segera melepas pegangan ran di pergelangan tangannya dan berlari pergi secepat mungkin.

"hei, tunggu-"

perempuan itu menghilang di balik dinding. ran menghela nafas. ia menyugar surai dwiwarnanya dengan jari-jarinya. "lalu dia kenapa?"

ia terdiam sejenak. berpikir kenapa sora tiba-tiba menjadi kepiting rebus setelah ia tanya sebelumnya.

"tapi kenapa telinganya juga ikut menjadi kepiting?"

satu pikiran melintas di kepalanya.

seulas seringai dengan cepat terukir di bibirnya. ia segera berjalan, menyusul sora.

"hei, kalau kau sudah menyukaiku bilang!"



tbc

edit : 12 jun 23

blue moon ー haitani ran [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang