30. Between Truth and Falsehood

2.2K 331 119
                                    

Haii kalian lagi apa?
Yang sedang lelah semoga ini bisa menjadi perontok suntuk.

Terbangun dalam keadaan mual serta pening menguasai. Kepalanya terasa berat—ditambah sayup-sayup kebisingan  terpaksa menggugah kesadarannya penuh.

Aroma parfum dari hoodie yang membungkus tubuh agaknya tengah menyampaikan sesuatu yang kurang bagus untuk di jadikan topik pagi.

Eh—maaf tapi ini sudah siang. Hampir saja salah kaprah. Terik lembut matahari tertutup rindangnya dedaunan setelah hujan menyegarkan akar-akar mereka.

Tunas hijau juga ikut pengintip wajah bodoh Reina dari sela kikisan dinding kayu kala kebingungan bertandang, apa sih yang sedang di ributkan orang-orang di bawah sana. Suaranya melengking sekali—curut got mungkin terkejut juga mendengar teriakan mereka.
Jadi ingin menyarankan mereka buat grup soprano.

Pertama-tama sebelum Reina memastikan apa yang tengah terjadi di bawah sana—sebab namanya baru saja disebut seseorang dengan lantang.

Sekilas ia mengulas apa yang terjadi pada dahinya sendiri hingga ia merasa kepala di sisi kanannya terdapat benjolan, membekak dan rada ngilu.

Jika di ingat-ingat lagi malam itu benar-benar kebodohan yang mengalir sampai ke DNA. Iya, Reina berakhir tertidur dalam pelukan Jung dengan tangis yang enggan berkesudahan akibat tragedi memalukan, untung saja gelap.
Hoodie milik Jung yang terlampir di tubuhnya baru saja merosot jatuh ketika ia beringsut guna mengintip dari celah lubang pintu. Sekarang Reina tahu suara lantang yang sejak tadi mengganggu pendengarannya adalah milik Seokhan. Namun yang membuat Reina aneh akan situasi tersebut, beberapa orang penduduk desa mengumpulkan kedua tangan Jung di belakang.

“Kau di larang keras masuk daerah ini, apalagi untuk menemui Reina. Sekarang bisa-bisanya kau, menjebaknya disini.” Seokhan menunjuk geram wajah Jung yang sejak tadi hanya menatap remeh, menampakkan gigi sembari bersiul tanpa mengidahkan ucapan sang lawan.
Warga di sekitar tentu percaya pada apa yang Seokhan sampaikan, tatkala Seokhan dan Reina sudah bisa di katakan penduduk tetap, bukan pendatang seperti Jung maupun Jimin.

“Aku yang dilarang... atau kau yang takut aku kembali menemui Reina lagi.” Sahut Jung masih dengan ekspresi penuh ejekan. Ia tahu Seokhan semakin panas. “Tapi—bagaimana ya. Semesta yang memberikan kami momen seromantis ini. Hujan-hujanan, tidur bersama dengan alas seadanya. Reina ku cerdas sekali memilih tempat. Sayangnya lalat keburu datang.”

Seokhan menggeram, tangannya mengepal dikedua sisi tubuh. Gerutukan dari gigi yang saling beradu serta rahang yang mengetat menggambarkan betapa terbakarnya Seokhan saat ini dan Jung puas akan reaksi tersebut.
 Sementara Jimin menahan napas sesekali, ia ingin memperingati jika Seokhan benar, mereka hanya dua orang yang akan bekerja disini. Kalau Seokhan berhasil memprofokasi penduduk, proyeknya bisa saja di gusur. Setidaknya jangan berulah untuk beberapa waktu ke depan. Jimin takut Jung tidak dapat menahan diri untuk tidak memanas-manasi Seokhan, kemudian berujung di rundung warga.
Kini Seokhan menyunggingkan senyum sombongnya, seolah ingin memberi pemahaman bahwa ialah yang lebih unggul di sini.

“Percaya diri sekali—kau lupa siapa yang bersama Reina saat masa-masa sulitnya.” Napas panjang lolos begitu saja, seolah semakin sengit aduan ini semakin bersemangat bagi Seokhan. “Aku yang setiap hari mendengar bagaimana wanita itu sangat muak dan tidak ingin bertemu denganmu.”

“Dan sepertinya kau juga lupa, kalau tabiat manusia bisa saja berubah bahkan hanya dalam waktu nol koma dua detik.” Imbuh Jung. “Kau tidak bisa menggaris bawahi satu tahun untuk memahami sifat asli istriku.”

Husband Baby and Lil WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang