31. Let's Get Divorced

1.9K 253 87
                                    

“Selebihnya kau bisa tanya ayahmu.”

 
Jung pikir kalimat yang ia sematkan dua minggu lalu itu akan menjadi penengah atau setidaknya membawa kabar baik bagi dirinya. Atau bisa jadi secercah harapan hadir manakala iya sangat ingin berdamai dan memulai semua dari awal lagi, itu pun jika Reina bersedia dan mengizinkan.

 
Meski tampaknya jauh dari jangkau padahal jelas di depan mata. Jung tidak akan memaksa siapa pun tetap tinggal bersamanya seperti dulu. Tuk saat ini selagi Reina tidak mengusirnya. Jung akan tetap berusaha.

 
Bagai petir yang tiba-tiba hadir tanpa mendung sebagai tanda, tepatnya dua hari selepas mereka beradu argumen lantaran Reina terus menghindari Jung tanpa alasan, itu nyaris menguras kewarasan Jung.

Sebab pagi tadi Reina tiba-tiba menangis histeris, setelah menerima panggilan yang entah dari siapa. Wanita itu hanya menghambur ke pelukannya bergumam meminta tolong, tanpa menjelaskan apa yang terjadi.

Menelan tiga jam perjalanan Jung belum juga menemukan jawaban ke mana tempat yang akan mereka tuju. Jung sama sekali tidak berani bertanya, melihat betapa frustasinya Reina ketika memandangi sesuatu dalam ponselnya.

Tangan Jung terulur mengusap pucuk kepala Reina penuh sayang , ia tidak tahu apa-apa. Hanya mencoba menenangkan dan membuat Reina menoleh dengan tatapan sayu , rautnya tergambar sendu ketika Jung berkata. “Aku disini Rey. Tidak apa, kau bisa melewati semuanya. Aku janji akan menemani.”

Satu jam sisa perjalanan. Reina masih enggan berbicara. Ia sempat memejam sejenak sebelum usapan dia pipi membuatnya terpaksa membuka mata. Jung baru saja kembali dari mencari toilet umum lalu menyodorkan roti matcha dan beberapa permen serta jus apel yang mungkin ia beli di minimarket sebelahnya.

“Aku tahu ini tidak menggugah selera saat seseorang merasa gelisah.” Jung membuka bungkus roti tersebut. “Perjalanan kita masih satu jam lagi. Dua potong saja, tidak akan susah seperti menelan obat pahit.”

Reina membenarkan posisi duduknya. Ia enggan menerima meski aromanya sangat sayang jika ditolak. Reina mengangkat dagunya mempertemukan tatapan mereka. Bisa dirasakan ketulusan dari sorot mata Jung. Suapan yang Jung suguhkan juga Reina terima dengan baik.

Di suapan kedua Reina mencoba memberanikan diri untuk berbicara setelah mulutnya lama terkunci.

Oppa.” Jung sukses terdiam, tubuhnya memaku lantaran itu terlalu mengejutkan untuk didengar setelah sekian lama.
 
Sementara Reina kembali menurunkan air mata tanpa aba-aba. Sapuan lembut dari ibu jari Jung pada pipinya serta bergumam sebagai sahutan membuat Reina hampir terisak. Tetapi ucapan Reina lebih dulu berhasil melencuskan hatinya.

 
“Setelah ini, a-ayo bercerai.”

 
****
 

Seorang wanita paruh baya menyajikan beberapa kudapan serta minuman hangat tepat setelah mereka sampai di sebuah rumah yang Reina tuju. Ia Jung hanya mengantarkan saja.

Sejak satu jam yang lalu pula Jung menulikan telinganya pada apa pun yang Reina ucapkan. Tentang berpisah. Tentang bercerai. Tentang fokus pada hidup masing-masing. Bahkan dia melemparkan tatapan ke sembarang arah ketika Reina memanggil hanya untuk menyuruhnya pulang.

“Rey. Kita sudah bicarakan ini tadi pagi.” Sang nenek menengahi dan Reina menundukkan kepala. “Mengendarai kendaraan dalam waktu yang lama tidak bagus untuk kesehatan pinggang." Jung mengangguk setuju.

 
“Jungkuk, boleh menemani Reina disini sampai situasinya kondusif.” Jung mengangguk lagi tetapi ia mengerjap untuk memahami kata kondusif. “Sebentar lagi kau akan tahu mengapa istrimu sekacau ini sejak aku menghubunginya.”

Husband Baby and Lil WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang