Bagian 18 : Penyesalan

7.2K 621 16
                                    

"Jarak lima meter!"

Bara tersentak saat baru masuk kamar Nasha berteriak padanya. Diam membatu di depan pintu menatap Nasha yang sepertinya ingin mengganti pakaiannya.

Merasa diamati membuat Nasha menoleh. Memberikan tatapan tajam pada Bara. "Ngapain lihatin? Mending lo keluar deh, Bar. Gue mau ganti baju."

"Kita kan udah nikah Sha. Terus juga kamu kenapa manggil aku, 'lo'? Nanti ada yang denger, mereka bisa ngatain kamu gak sopan sama suami," ujar Bara lembut. Tatapannya begitu teduh. Tapi Nasha tidak akan luluh.

"Sana keluar!"

Bara pun keluar. Mengalah. Tidak ingin ditegur orang tua Nasha, juga tetangga yang mendengar suara teriakan Nasha.

Memilih duduk di kursi teras, menatap lurus ke depan.

"Eh Bar, Nasha udah pulang?" Bara menoleh menatap Papa yang duduk di kursi lainnya. Ia tersenyum tipis seraya mengangguk pelan.

"Iya Pa. Baru aja."

"Wang! Nawang!" teriak Papa memanggil Nawang. Anak bungsunya itu langsung keluar.

"Kenapa Pa?"

"Nih kamu pergi beli gorengan sama martabak." Papa memberikan uang pada Nawang.

"Uang jalannya Pa?" Nawang menegadahkan tangannya membuat Papa memberinya uang dua puluh ribu.

Segera Nawang berangkat menggunakan sepeda.

"Ma, bikinin kopi. Buat Bara juga!" Papa kembali berteriak, kini untuk istrinya.

"Eh enggak usah Pa."

"Kamu mau teh?"

Bara kembali menggeleng. Tapi Papa tetap berteriak.

"Mama lagi nonton! Sha, bikinin Papa mu kopi, sama teh buat suami mu!" Kini Mama berteriak, lalu mengeraskan suara televisi agar tidak ada yang menganggunya menonton sinetron.

Nasha keluar dari kamar dengan ekspresi masam. Segera ke dapur. Membuat kopi. Hanya kopi.

Lalu keluar membawanya.

"Lho kok kamu gak bikinin suami mu?"

"Dia punya tangan sendiri," ujar Nasha ketus.

"Sha!" tegur Papa, hendak memanggil Nasha lagi yang masuk ke dalam rumah, tapi Bara melarang.

"Gak usah Pa. Lagian aku juga gak mau kok." Bara tersenyum menenangkan.

"Jangan ambil hati ya sikapnya Nasha. Emang ibu hamil itu suka gitu. Marah-marah terus. Makin bawel. Pokoknya sensian." Bara hanya mengangguk pelan. Ia menatap lekat Papa yang meneguk kopi.

"Pa-Papa kenapa gak benci sama aku? Maksudnya setelah apa yang aku lakuin ke Nasha?" Bara tidak menyangka jika Papa Nasha masih bersikap seperti biasa. Kecuali hari itu, saat ia mengaku menghamili Nasha, Papa terlihat marah. Lalu kembali seperti semula. Beda dengan Mama Nasha yang kurang lebih seperti Nasha tidak menyukainya.

"Karena kamu, Papa bakal punya cucu," jawab Papa seraya tersenyum tipis.

Bara menunduk, merasa malu dan bersalah. Tentu saja perasaan itu masih ia rasakan setelah perbuatannya. Mengkhianati Nasha, kemudian menghamili Nasha.

"Setiap orang pernah lakuin kesalahan. Dan setiap orang bisa diberi kesempatan. Lewat kesalahan yang kamu perbuat kemarin, jadikan pembelajaran. Oke?"

Bara tersenyum seraya mengangguk.

Sejak kecil ia tidak merasakan figur seorang ayah karena ayahnya meninggal. Om-nya hanya sebatas membiayai hidupnya. Tidak berperan layaknya seorang ayah, begitu pun istri Om-nya karena mereka punya anak juga.

Pacaran dengan Nasha, ia bisa merasakan hal tersebut. Bahkan saat masih sekolah dulu, Papa kerap kali memberinya uang jajan. Juga Mama yang selalu membuatkan bekal untuknya.

Bara memang sebajingan itu...

Harusnya ia bersyukur memiliki Nasha, orang tua Nasha. Tapi karena keserakahannya, ia mengkhianati Nasha.

Hanya karena jenuh dengan hubungan mereka yang sudah terjalin lama.

Kesenangan sesaat merusak segalanya.

Bahkan melukai seseorang yang menemaninya selama ini.

***

Bara masuk ke dalam kamar, ia melihat Nasha yang sedang bermain game di ponsel. Melangkah ke arah ranjang, Nasha langsung memberikan tatapan tajam padanya.

"Mau ngapain lo?!"

"Ambil bantal," jawab Bara pelan, mengambil bantal lalu melebarkan karpet di dekat lemari. "Aku matiin lampu?"

Nasha hanya berdehem tanpa menatapnya.

Bara pun memadamkan lampu lalu merebahkan tubuhnya.

"Tuh ada selimut di atas keranjang," ujar Nasha ketus. Menaruh ponselnya lalu tidur membelakangi posisi Bara.

Bara kembali bangun, ia mengambil selimut lalu kembali tidur.

Terjadi keheningan di dalam kamar tersebut, tapi mereka belum tidur.

"Tadi aku udah masukin CV-ku di tiga perusahaan. Doain ya biar salah diterima di salah satunya," ujar Bara.

"Terus kalau udah punya kerja lagi.  Bakal selingku,  kan?" sahut Nasha sinis, tidak mengubah posisi tubuhnya. "Bahkan ninggalin anak kamu nanti?"

"Sha, kok kamu ngomong gitu?" Bara beringsut duduk menatap punggung Nasha. "Sebegitu bencinya kamu sama aku, Sha?"

"Lo sendiri yang bikin gue benci lo, Bar."

Bara diam.

"Gue yang cinta sama lo! Yang muja lo! Lakuin apapun buat lo, tanpa mikirin diri gue, masa depan gue! Karena yang gue mikirin lo! Masa depan kita." Nasha kembali meledak, kini suaranya berubah bergetar. Meski ia berusaha ingin melupakan pengkhianatan yang Bara lakukan, tapi tetap saja ia tidak bisa. "Lo janji... janji buat masa depan kita, tapi yang gue dapet janji lo itu busuk."

Nasha menghirup nafas dalam, lalu menghembuskannya. Sesak yang ia rasakan di dadanya.

"Coba posisi kita di balik, Bar. Pasti lo bakal susah maafin gue. Atau malah gak mau maafin gue."

"Jadi kamu gak mau maafin aku?" tanya Bara sendu. Pertanyaannya tidak diacuhkan. Membuatnya menghela nafas kasar. Ia kembali merebahkan tubuhnya.

"Gue mau makan nasi goreng."

Bara yang baru memejamkan mata kembali membukanya. Ia menatap Nasha yang masih di posisinya. Membelakangi dirinya.

"Anak lo pengen nasi goreng."

"Tunggu." Bara segera keluar.

Sedangkan Nasha menghela pelan lalu mengelus perutnya. Menunduk. "Kamu kenapa sih mau nasi goreng di waktu yang enggak tepat? Bikin harga diri Mama merosot tau gak," gerutu Nasha pada anaknya.

***

HAHAHA anaknya ga suka kalau Mama-Papa nya berantem🤭

See you the next chapter
Salam manis dari NanasManis😉
12/09/21

Bittersweet PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang