Jantung Nasha seakan ingin keluar saking kencangnya berdentum saat mendengar kabar jika Bara terserempet mobil. Kabar tersebut ia dapat dari Papa yang dihubungi oleh Pak Salim. Apalagi saat Nawang datang memberitahu jika kepala hingga kaki Bara terluka.
Maka perasaan Nasha semakin tidak karuan.
Tapi, saat Bara telah tiba di rumah. Nasha akhirnya bisa bernafas lega. Yang membuatnya kesal, hanya lengan kiri tergores panjang juga pelipis Bara. Katanya terkena kaca spion.
Masuk ke kamarnya. Ia merasa sia-sia cemas pada pria itu. Kenapa Papa dan Nawang sangat berlebihan, Membuatnya cemas saja.
"Sha..."
"Udah tau gak biasa kerja gitu, malah sok-sok'an kerja!" ujar Nasha sinis. Melampiaskan kekesalannya karena Bara membuatnya khawatir. Harusnya Nasha tidak perlu khawatir pada pria itu. Menyebalkan sekali.
"Ya... gak enak aja. Aku tinggal di sini, gak ngasih duit buat Mama. Aku tinggal di sini gak gratis, kan?" ujar Bara lemah. Meski tubuhnya terasa remuk dan perih di pelipis dan lengannya, ia tetap berdiri di depan pintu yang tertutup di belakangnya tersebut. Menjaga jarak dari Nasha. Karena istrinya itu masih merasa mual jika berdekatan dengannya. Pun ia yang bau matahari.
"Punya rasa 'gak enak?' Selama bertahun-tahun gue biayin hidup lo, lo gak pernah tuh ngerasa gak enak," balas Nasha membuat Bara bungkam.
Terjadi keheningan beberapa saat. Mereka bertatapan dalam diam dan Nasha memutuskan untuk membuang pandangannya.
Bara menghela nafas pelan. Ia melebarkan karpet di bawah, juga mengambil bantal yang ditaruh di atas bantal. Memilih merebahkan badannya. Meski semakin terasa tidak nyaman karena permukaan lantai tersebut.
Nasha sendiri melirik Bara. Menggigit bibirnya kesal, ia turun dari ranjang. Sebelum keluar, ia berujar, "Mending lo tidur di atas ranjang."
Tapi Bara tetap tidur di bawah. Tidak ingin nantinya jika sikap berubah, maka ia ditendang ke bawah. Lebih baik mengantisipasi.
Keluar dari kamar, tentu Nasha langsung mencerca Papa. "Kan, aku udah bilang, Bara gak biasa kerja gitu, Pa!"
"Tapi kan kejadiannya Bara pas gak anter dangan Pak Salim, dia udah mau balik ke rumah. Mau nyebrang eh itu orang bawa mobil gak lihat. Makanya terserempet."
"Suami lo aja yang manja," sahut Sena mencibir. Ia istirahat sejenak untuk makan siang. Pulang ke rumah. Daripada makan di luar, nanti uang yang ia dapatkan dari ngojek berkurang.
"Ngaca Bang. Gak usah songong lo. Gak dapet penumpang tau rasa lo!" desis Nasha kesal.
"Gak boleh berantem di meja makan!" tegur Mama seraya menaruh ayam goreng di atas meja. Duduk di kursi plastik, ia berdehem pelan. "Em... panggil suami mu makan siang."
"Dia tidur," ujar Nasha malas. Ia mengambil nasi juga lauk yang banyak membuat Sena menegur.
"Banyak amat Sha..."
"Siapa yang beli?!" tanya Nasha kesal. Sena bekerja, setiap harinya hanya memberikan Mama uang lima puluh ribu. Tidak pernah membeli kebutuhan makanan. Kalau saja Papa tidak bekerja menjadi tukang bersih masjid dan ia yang tidak memiliki tabungan, mungkin mereka tidak makan seperti ini kalau hanya mengharapkan Sena.
Menyisakan sebagian lauk tersebut untuk Bara. Usai makan, ia menyuruh Nawang untuk memanggil Bara. Duduk di depan televisi sambil mengemil buah anggur.
"Bang Bara kenyang, Kak," ujar Nawang membuat Nasha mendongak. "Tuh makanan buat gue aja ya?"
"Lo kan udah makan!"
"Laper lagi." Meski Nasha belum menjawab, Nawang tetap masuk ke dapur. Memakan bagian Bara yang disiapkan Nasha tadi.
Nasha menatap pintu kamarnya. Lalu berdiri. Masuk ke dalam. Menatap Bara yang tidur di atas karpet.
Tatapannya tertuju pada uang seratus ribu dekat ponselnya.
Mata Nasha memanas.
Hanya demi uang seratus ribu, Bara rela bangun pagi-pagi. Terus pulang terserempet mobil. Pelipis dan lengannya luka...
Nasha mencebikkan bibir sedih. Ia berdecak pelan seraya mengusap kedua matanya.
Keluar dari kamar tersebut.
Kenapa ia menjadi cengeng begini sih?
Menyebalkan saja!
***
Saat Nasha bangun, waktu telah menunjukkan pukul sepuluh lebih, ia tidak menemukan sosok Bara. Kata Papa, Bara pamit untuk pergi wawancara.
Mengangguk pelan, ia memutuskan untuk mandi.
Rasa cemas menghantui Nasha, kalau...
Kalau Bara mendapat pekerjaan, apakah Bara akan meninggalkannya? Apalagi perlakuannya pada pria itu semenjak mereka menikah. Pun anggota keluarganya yang menunjukkan ketidaksukaan pada Bara, kecuali Papa dan Nawang tentunya.
Nasha menggeleng pelan. Kalau pun Bara memutuskan meninggalkannya. Biar saja. Ia tidak peduli.
Sementara itu Bara telah mengikuti wawancara di sebuah perusahaan. Di ruangan tersebut, bersama dua calon karyawan sama sepertinya.
Usai di wawancara, ia ke toilet untuk membuang air kecil. Berharap akan di terima karena dua calon karyawan tadi, masih lulusan S1. Bukannya sekarang lulusan S2 yang paling dicari? Juga Bara yang telah memiliki pengalaman pekerjaan.
Saat hendak keluar, dari bilik toilet tersebut, ia mengurungkan niatnya saat mendengar nama lengkapnya disebut. Ia pun mengingat suara pria itu. Salah satu pria yang bersamanya saat di wawancarai tadi.
"Iya. Namanya Rusydan Sambara. Lulusan S2, terus udah punya pengalaman pekerjaan. Aku lupa dia pernah kerja di mana. Tapi perusahaannya itu terkenal Pa."
Bara diam mendengarkan. Merasa heran kenapa pria itu menyebutnya.
"Jadi, aku gak perlu khawatir gitu? Oke. Oke. Tanya Om Beni ya, Pa. Sambara sama Rudi di coret aja."
Kedua tangan Bara terkepal kuat. Tapi ia hanya mampu diam.
Sepertinya Bara melupakan satu hal.
Orang dalam sangat penting dalam hal apapun. Apalagi jika menyangkut dunia pekerjaan.
***
Poor Bara🙃
Lama" Nanas ga tega ama nih laki🥺See you the next chapter
Salam manis dari NanasManis😉
15/09/21
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Promise
Romance•Bittersweet Series 3• _____________ Berjanji untuk saling setia. Berjanji untuk saling menjaga. Berjanji untuk saling mengerti. Apalah jadinya jika itu hanya sebuah kata 'janji'. _____________ start: 17/08/21 end: 04/10/21 _____________ Copyright...