39

661 57 19
                                    

Netta menyeruput bobanya dengan sebal ketika Prisci tak henti-hentinya meminta penjelasan. "Gua juga nggak tau gimana hubungan gue sama Irvin."

Prisci menjitaknya. "Jadi, lo balikan atau enggak?!"

Satu-satunya jawaban yang diberikan Netta adalah mengedikkan bahu. Sungguh, dia juga bingung dengan statusnya. "Abis sih Irvin belom ngajak gue balikan. Tapi, tingkahnya tuh udah kayak dulu lagi. Gimana dong Pris?"

"Nggak tau lah. Pusing gue sama masalah percintaan kalian." sahut Prisci, mulai jengah. "Ego kalian masih sama-sama tinggi sih. Lo juga, net. Masih kebayang-bayang sih Bima aja!"

Netta langsung bangkit dari duduknya, dia menatap nyalang Prisci dan menunjuk perempuan itu lurus-lurus. "Gue udah move on ya!"

"Tapi masih nggak bisa lupain kenangannya kan?"

Diam, mendadak Netta membisu. Wajahnya memerah dan jadi salah tingkah. "Kalo soal itu. Jujur, nggak akan pernah lupa." sedetik kemudian tubuhnya kembali bersemangat. "Tapi gue beneran udah lega kok!"

Prisci tertawa pelan, lalu melempar tubuhnya diranjang. Netta mengikuti tak lama kemudian. Keduanya saling menarik nafas panjang. "Akhirnya lo lepas juga dari si bangsat Bima ya."

"Nggak bangsat juga kali, pris. Tiap orang pasti ngerasa protagonis di pandangannya sendiri. Dan menganggap orang lain antagonis kan? Barangkali, gue juga jadi sumber luka buat Bima."

Menghela nafas, mau tak mau Prisci menyetujuinya. Kalau dilihat-lihat, Bima memang pintar menyimpan rahasia dan deritanya sendiri. Bagaimana Raung membela Bima mati-matian, sudah membuktikan kalau Bima juga tak sepenuhnya salah.

"Tapi gue penasaran deh, net. Kenapa Bima sampe ngerelain segala macam kebahagiaannya demi Erra. Dia punya kesalahan yang besar banget ya?"

Netta tersenyum sendu, setelah dapat kejelasan dari Raung, netta jadi tau masa lalu Bima. "Bima itu emang selalu menggenggam bara ditangannya. Meskipun bara itu ada ditangan orang lain, dia bakal menanggung bebannya sendirian."

Kening Prisci berkerut, dia ingin bertanya lebih sebelum umpatan lirih keluar dari mulut Netta.

"Ya ampun. Gue baru sadar kalo Bima sebego itu. Ck! Dasar Bima Bumi Barameru, lo selalu keliatan iblis di kehidupan orang ya..." lalu, netta melanjutkan dengan pelan. "Walaupun sebenarnya enggak."

***

"Lo baru sembuh tapi udah babak belur aja. Kepengen banget mati atau gimana?"

Alta yang baru pulang tengah malam ke apartemennya menghela nafas. Kulkas yang tadinya ia buka segera didorong untuk menutup kembali. Saat membalikkan tubuhnya, wajah datar Biru menyambut. "Lo masih disini?"

"Ngusir gue?" sinis Biru, mengambilkan baskom dan handuk kecil untuk membersihkan luka Alta.

"Gue pikir lo nggak mau liat wajah gue lagi." Alta menatap air dibaskom yang diletakkan Biru tepat di meja makan. "Thanks."

Biru menarik kursi disebelah Alta kala cowok itu hanya duduk diam menatap air yang tenang. Dia berdecak dan mencelupkan handuk kecil itu sembari bersungut-sungut.

"Lo ya. Udah bego! Goblok! Bodoh! Seenggaknya punya sedikit semangat hidup biar nggak kayak mayat berjalan!"

Alta meringis ketika Biru menekan lukanya cukup kuat. Itu pasti disengaja, dia sudah menduganya. Namun lagi-lagi, alta kehilangan kepedulian terhadap dirinya. Alta merasa tak masalah jika ia mati sekalipun. "Lo kenapa malah ngobatin gue?"

MANTAN DOI ( TAMAT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang