51. Kesayangan

325 32 14
                                    

Nebula tahu Lasi akan sangat terpukul melihat Alta dalam kondisi begini. Namun dia tak menyangka anaknya itu akan histeris bahkan kala ia hanya melirik sekilas dari balik jendela.

Tangis Lasi yang keras membuat Galaksi kalang kabut. Dia mendekap anaknya yang jatuh lemas di depan ruang rawat Alta. Jeritannya membuat Nebula pilu. Lasi dibawa ke sofa oleh Galaksi untuk ditenangkan.

"Nggak mau, nggak mau, Alta nggak boleh gitu, papa..." rengek Lasi, terekam dalam ingatan segala kebaikan Alta. "Bangunin... bangunin Alta..."

Liora menggigit bibir bawahnya, nafasnya memburu mendengar isak Lasi yang tergugu.

"Sayang, jangan begini." Nebula mengusap kepala putrinya. "Kamu harus tegar, banyakin doa."

Lasi asik terisak-isak tanpa peduli sekitarnya. Galaksi memegang tangannya dengan erat, seolah menyalurkan kekuatan. Lasi ngeri sendiri melihat banyak sekali alat kesehatan di tubuh Alta, seakan Alta tak mampu bertahan tanpa alat itu.

"Kenapa bisa kayak gini?" tanya Lasi, ditengah-tengah tangisnya. "Siapa yang nabrak Alta?"

"Lebih baik kita doain Alta daripada memikirkan hal itu, Lasi." ucap Galaksi. "Papa yang bakal urus semuanya."

Lasi tak menyahut, dia menyeka air matanya seraya meminta izin untuk mendatangi Alta.

"Mau sendiri aja, Pah." ujar Lasi saat Galaksi hendak menemani.

"Jangan nangis terus ya?" Galaksi tersenyum tipis. "Papa mau nemuin dokter bentar."

Tangan Lasi dingin ketika dari awal pintu kakinya enggan mendekati Alta yang terbujur kaku. Ia meremas kaus yang dikenakan sebelum mengambil nafas panjang.

"Bang..."

Lasi terperangah melihat kondisi Alta dari dekat, wajah Alta penuh baret dan luka yang belum kering. Ia pun duduk di bangku tunggu, membersut hidung kala tangisnya tak kunjung mereda dan bertambah kuat setelah menyaksikan betapa tak berdayanya Alta.

"Lo buat ulah apa lagi sih, ta? Nggak bisa apa lo jauh-jauh dari bahaya?"

Tangan Lasi gemetar ketika ia menyentuh lengan Alta, mata terpejam Alta membuat Lasi kepikiran hal yang buruk.

"Sengaja banget bikin gue nangis ya, ta? Katanya mau hidup lebih baik, kenapa malah begini?" oceh Lasi kembali, sedikit cemas melihat grafik detak jantung Alta. "Lo nggak mau nyambut gue, bang? Jangan lama tidurnya ya."

Lasi mendapat cerita dari Liora mengenai Mama kandung Alta yang sampai detik ini tidak melihat putranya koma. Papa sambungnya pun tidak bisa diharapkan, apalagi Papa kandungnya. Lasi kesal pada mereka, ia marah sebab tidak terima Alta terus diperlakukan seperti orang terbuang.

"Capek ya, ta?" Lasi mengelus lengan cowok itu. "Istirahatnya nggak boleh lama-lama, Alta. Kalau mau rehat tuh bukan begini caranya."

Sudah tiga hari Alta kritis, kondisinya masih juga belum stabil. Lasi takut kehilangan Alta, isi kepalanya mulai hampa.

Menarik nafas, Lasi mencoba tersenyum. "Katanya sayang sama gue, kenapa kerjaannya bikin gue cemas terus sih? Bangun, ta. Lo sayang gue kan? Cepet sadar ya, cepet sembuh."

Kepala Lasi terjatuh di ranjang sisi Alta, matanya terasa lelah dan nafasnya masih tersendat-sendat.

"Gue udah maafin lo, ta. Mana bisa sih gue marah lama-lama sama lo?" lirih Lasi. "Gue maafin, ta. Jadi bangun, ya? Sayang banget sama lo."

Kelopak mata Lasi perlahan tertutup karena kantuk menyerangnya setelah lama menangis. Tangannya tetap di atas lengan Alta, dia tertidur pulas sampai tak menyadari pergerakan kecil di jemari Alta.

MANTAN DOI ( TAMAT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang