58. Bima Bumi Barameru

274 25 6
                                    

Sepulang dari tour bersama, Bima tak punya banyak kegiatan di sekolah. Ia hanya tinggal menunggu waktu masuk dengan status siswa kelas 12 SMA!

Agak aneh sih, ia merasa harus jauh lebih dewasa selepas ini. Sebab, satu tahun lagi ia akan lulus sekolah.

"Pikirin dari sekarang mau kuliah di mana. Satu yang pasti, kamu harus ambil jurusan bisnis."

Suara yang hampir beberapa bulan ini tak masuk gendang telinganya berdengung. Bima yang tengah menyantap makanannya pun melirik sang Ayah sekilas.

Hampir tak pernah merasakan kasih sayang, tiba-tiba si tua ini mencoba mengatur hidupnya. Sial, Bima jengkel. Namun, ia ingat pesan Erra untuk tak berlaku buruk pada orangtuanya.

"Bima mau kuliah teknik—"

"Kamu anak Papa satu-satunya, kamu tahu kan harus apa?" sela Bara, ayahnya. "Melanjutkan apa yang sudah Papa bangun."

Bima mengatur nafas. Sendok di tangan ia genggam begitu kuat. "Tapi Bima tertarik dengan ilmu—"

"Bima." Bara mencoba abai dengan wajah datar. "Papa nggak mau hal yang Papa usahakan dari nol malah diurus orang lain. Papa percaya sama kamu."

Deg

Sialan, entah mengapa kata-kata terakhir sang Papa malah membuatnya tertegun. Lebih dari itu, menembus hatinya yang selama ini merasa terkucilkan.

"Nanti Bima pikir-pikir lagi." sahut Bima, enteng. "Mama mana?"

Bara meneguk ludah, terlihat kesulitan berbicara. Tapi, tiba-tiba Bima sudah menyelanya dahulu sambil menyeringai.

"Kabur sama siapa?"

"Bima..." ucap Bara, menghela. "Kita sudah sepakat untuk tak—"

"Oke, oke, Pah." potong Bima, agak geli. "Tapi Papa jadi cerai?"

Sejenak, meski Bima mengatakan kelewat santai. Sambil membuka kulit jeruk, Bara tahu ia gagal menjadi suami dalam rumah tangganya. Ia yakin, Bima punya luka yang tak banyak ia ketahui. Menatapi putra semata wayangnya, Bara diam-diam malu. Ada rasa sesal dan beribu maaf yang ia sembunyikan.

Bima, anaknya. Menjadi korban kegagalannya dan sang istri. Bima adalah korban. Meski tak pernah terpikirkan dalam kondisi begini, Bara tak bisa berbuat apa-apa.

"Bima, Papa minta maaf." ujar Bara, menjatuhkan sendok di tangannya dengan lemah. "Papa sama sekali nggak pernah terpikirkan akan gagal menjadi suami dan seorang ayah."

"Jeruknya asem, Pah." kata Bima, tak koheren. "Dibeli dimana sih?" lanjutnya, namun tetap ditelan.

"Bima..." Bara hendak berucap panjang lebar, namun sang anak tiba-tiba mendangak ke arahnya dengan tawa kecil.

Bara tercekik. Ia bisa melihat Bima berusaha tegar dan biasa-biasa saja.

"Pah. Hidup itu kayak jeruk kan? Asam dan manisnya bakal tetap kita telan tanpa kapok." katanya, memasukkan buah tersebut dengan senyum geli.

"Kalau kalian mau pisah, silakan. Itu sudah keputusan kalian masing-masing. Bima yakin kalian sudah memikirkan ini matang-matang. Kalian nggak perlu tersiksa lebih lama lagi dengan memaksa bersama demi Bima. Kejar kebahagiaan sendiri dan jangan lupakan peran sebagai orang tua."

Ada getar di mata Bara yang coba lelaki itu tahan. Ada luka yang menganga di dalam dada, amarah juga sakit luar biasa. Namun, pertama kalinya Bara tertampar oleh sesuatu yang Bima katakan.

Ia merasa gagal segala-galanya menjadi ayah. Anaknya tumbuh sendiri, oleh karena itu ia sering kedapatan nakal tak ketulungan. Karena ia sebagai ayah pun tak pernah ada disisi Bima untuk mengarahkan.

MANTAN DOI ( TAMAT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang